Setahun kemudian ....
St. Petersburg, Rusia
Juni, 2019
_________________
Leonard mengatupkan bibir. Rahangnya mengeras sementara tangannya mengepal dengan sangat kuat. Sebuah kabar menggemparkan datang dari New York, tempat kediaman Van Der Lyn.
"Tuan, pesawatmu sudah siap." Seorang pria paruh baya yang merupakan tangan kanan dari sang bos kini menghampiri Leonard yang tengah termenung sambil memegang secarik kertas.
"Tuan," panggil pria itu lagi namun, Leonard tak kunjung menggubrisnya. Terdengar kertakkan gigi dari rahang yang mengetat itu. Sedetik kemudian dia menggeleng. Kesadarannya telah kembali dia pun mendongak.
"Edgar?" tegurnya.
"Ya, tuan," jawab pria paruh baya itu.
Terdengar hembusan napas panjang dari pria yang tengah duduk itu. Ia kembali memalingkan wajah. Menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
"Dia benar-benar telah hancur oleh ketamakannya," ucap Leonard. Rahangnya semakin kuat mengeras ketika wajah sang ayah kembali terbayang.
"Tuan besar telah mempercayakan Anda untuk meneruskan bisnisnya. Anda juga tidak perlu khawatir sebab sindi-," ucapan Edgar terhenti saat Leonard tiba-tiba memutar wajah, menatap pria paruh baya itu dengan tatapan dingin. Wajahnya tak berekspresi dan itu sanggup membuat Edgar diam. Lagi-lagi Leonard mendesah berat.
"Seperti sifatnya, misinya, namanya pun tak boleh di sebutkan. Organisasi gelap itu telah menemukan kehancuran mereka. Ayahku ...." Leonard mengepalkan tangannya dengan sangat kuat. Kembali terdengar kertakan gigi yang semakin kuat darinya. Urat-urat di wajah dan lengannya mengetat, pertanda jika pria itu tengah menahan pergulatan batin yang begitu melelahkan. Menyita semua perasaannya selama tiga tahun belakangan ini.
"Ini belum terlambat, Tuan. Kita masih bisa menyelamatkan yang tersisa," tutur Edgar.
"Caranya?" tanya Leonard. Raut wajahnya masih tidak berekspresi.
"Kasus yang menimpa tuan besar saat ini, tidak serta merta bisa menjatuhkannya. Pemerintah tidak bisa menyita aset dan propertinya sebab dia sudah lebih dahulu mewariskan semuanya pada Anda," jelas Edgar.
"Cih!" Leonard terkekeh sinis. "Dia bisa menyelamatkan semua asetnya. Dia sudah memperhitungkan semua itu sejak lama tapi, dia tidak bisa menyelamatkan nyawa ibu dan adikku." Leonard menggelengkan kepalanya. Matanya tiba-tiba perih hingga dia perlu memalingkan wajah. Tangannya yang mengepal memukul pelan bibirnya. "Sial!" Dia mengumpat saat sesuatu tiba-tiba mengingatkannya.
Dengan cepat pria itu kembali memutar wajah. Menatap Edgar dengan wajah yang bergetar.
"Aku bersumpah jika dia bukan ayahku, sudah lama aku melenyapkannya!” tegasnya. Edgar hanya menunduk. Dia tidak berani menatap bosnya.
Fredricksen Van Der Lyn akhirnya menemukan kehancurannya. Setelah peristiwa tiga tahun yang lalu yang menghancurkan keluarga Van Der Lyn, Leonard tidak lagi bisa mendengar kabar kakaknya, Letty Van Der Lyn. Ibu dan adiknya, entah dimana mereka berada dan sekarang. Leonard menerima kabar jika identitas asli dari sindikat mafia yang telah menjadi pusat perhatian dunia selama empat tahun belakangan ini, sudah di pastikan jika ketuanya adalah Fredrick Van Der Lyn.
Semua bukti menjurus padanya. Bahkan anak buahnya yang paling loyal sekalipun nyatanya mampu menghianati si pemimpin yang paling di takuti di dunianya itu.
Ironisnya, setelah sekain lama kini Fredrick tidak lagi menyangkal satupun tuduhan FBI dan CIA padanya. Semua media mempertontonkan wajah murung Fredrick. Pria itu tampak tidak b*******h sekedar untuk menyangkal tuduhan yang di lontarkan padanya di ruang persidangan.
Fredrick seolah telah pasrah dan menerima akhir dari kisahnya. Namun, bagaimana dengan Leonard?
"Tuan, apakah untuk waktu dekat ini kita jangan dulu melakukan transaksi apa pun?" tanya Edgar.
Leonard menarik napas panjang untuk kesekain kalinya. Perlahan dia membawa punggunya di sandaran kursi. Dia mengangkat wajah lalu menutup matanya rapat-rapat. Jarinya mengetuk di tempat sandaran tangan, menimbulkan bunyi berirama. Leonard mempertahankan posisi itu beberapa lama. Otakknya hendak memikirkan sesuatu.
"Produksi harus terus berjalan. Kita sudah menerima uang darinya. Akan bermasalah jika kita berhenti bekerja sama dengan orang paling berkuasa di Korea Utara itu," ujar Leonard. Dia masih mempertahankan posisinya.
"Lalu, bagaimana dengan misi dari Presiden?"
"Hmm ...." Leonard menggeleng. "Katakan jika aku tidak akan menerima misi untuk sementara waktu. Fokus saja pada transaksi barang. Aku tidak berburu, dalam waktu dekat," ucap Leonard.
Edgar mengangguk lagi. "Kalau begitu bisa kita ke New York sekarang?"
Leonard menarik napas dalam-dalam. Perlahan, matanya mulai terbuka. Dia menepuk paha sebelum kedua kaki akhirnya menyentuh lantai. Leonard merapikan jaket kulitnya lalu kemudian dia mengangguk, memberi isyarat pada Edgar.
Edgar balas mengangguk saat mengerti isyarat itu. Dia membiarkan tuannya berjalan di depannya.
"Lou, siapkan mobilnya, tuan akan segera berangkat," ucap Edgar sambil memegang sebuah alat yang menempel di telinganya.
"Ed," panggil Leonard sambil setengah mengangkat tangannya. Dia memberi isyarat pada anak buahnya untuk memberinya sesuatu dan Edgar tahu persis apa yang diinginkan tuannya.
Edgar mengeluarkan kaca mata hitam dari balik saku jas potongan panjang yang dia kenakan lalu di berikannya kepada Leonard.
Leonard meraih kaca mata hitam itu lalu segera memakainnya. Mereka berjalan menuju pintu keluar. Disana, sebuah mobil SUV sudah menunggu mereka.
"Tuan." Anak buah Leonard menyapanya sambil menundukan kepala.
"Stevan," Edgar kembali menelepon seseorang. "Siapkan pesawatnya, tuan sedang menuju ke bandara," ucap Edgar.
Mobil SUV itu pun melaju dengan cepat meninggalkan kediaman Leonard di St. Petersburg menuju ke New York.
*****
Hampir delapan jam di dalam pesawat pribadi, akhirnya Leonard pun tiba di New York.
"Tuan, apa kita langsung ke rumah saja?" tanya Edgar.
Leonard menggeleng. "Aku akan menginap di hotel," ucap Leonard.
"Kalau begitu saya akan buatkan reservasinya," ucap Edgar lagi. Leonard mengangguk. Dia tidak menjawab lagi. Matanya terlalu sibuk memandang sekeliling.
Mata Leonard tak mau lepas memandangi pemandangan sore hari di New York. Sudah lama sekali dia ingin kemari. Sesuatu mengingatkannya pada masa remajanya yang menyenangkan. New York, tempat kelahirannya. New York, tempat dimana pria itu di besarkan.
"Mom," gumam Leonard sedetik kemudian dia berdecak kesal. "Ck!" Leonard membawa kepalan tangannya di depan bibirnya.
‘Jika kalian sedang berdiri di suatu tempat, berpeganglah pada sesuatu. Bertahanlah, aku akan datang. Aku akan datang untuk mengambil kalian dan membawa kalian ke rumah.’ Leonard merintih didalam hatinya. Bahkan tanpa sadar, matanya berair. Walau dengan cepat Leonard menghapusnya namun, semua itu tidak bisa menghilangkan kesedihan di wajahnya.
"Kita sudah sampai, Tuan.”
Leonard mengangguk. Dia segera turun dari mobilnya tanpa menunggu Edgar membukakan pintu mobil untuknya.
Leonard tiba di sebuah hotel megah di New York. Dia langsung masuk dan menuju lift bangunan. Leonard tidak perlu melakukan reservasi lagi sebab Edgar telah mengurus semuanya. Lift berjalan dengan cepat dan membawanya ke lantai paling atas bangunan ini.
TING
Pintu lift terbuka.
Leonard pun keluar dari sana. Edgar sudah memberitahu dimana kamar suite room yang akan di tempati Leo. Jadi di tinggal menempelkan kunci ke pintu kamar namun anehnya pintu itu telah terbuka sebelum Leonard menempelkan kartu. Leonard sempat mengerutkan dahi. Tanpa berpikir lagi, Leonard langsung mendorong pintu di depannya.
Sebuah kamar dengan fasilitas mewah tepat berada di depan Leonard. Jendela kaca yang terhubung langsung dengan balkon luar. Leonard langsung membuka jaket kulit potongan panjang yang sejak tadi dia gunakan. Dia berjalan menuju jendela kaca, membuka pintu penghalang itu lalu betapa melegakannya dia ketika udara sore menyambar kulit wajahnya.
Leonard pun meraih besi penyanggah teras. Dia berpegangan disana sambil matanya sibuk menatap pemandangan di sekelilingnya.
Puas dengan itu, Leonard pun memilih untuk kedalam. Air hangat akan menghilangkan lelahnya. Ya, perjalanan selama hampir delapan jam nyatanya memang tidak membuat pria itu mengalami jetlag namun, tetap saja dia butuh mandi untuk menjernihkan pikirannya.
Tanpa berpikir lagi, Leonard pun langsung menanggalkan pakaiannya dan menuju ke kamar mandi dan setibanya di sana,
"Aaa ...."
"Owh, s**t!" Leonard mengumpat. Dia sangat terkejut. Jantungnya bahkan ingin melompat sekarang juga.
"What the f*****g you doing!" Seseorang berteriak di depan Leonard. Dia seorang gadis, dan hal yang lebih gila dari itu dia sedang bertelanjang bulat. Jelas dia bertelanjang bulat, sebab dia tengah asik berendam di dalam bath up.
"Who are you?" gumam Leonard sambil memicingkan matanya.
"Apa yang kau lihat, bastard?!" pekik gadis itu. Ia memegang dadanya sambil menaikan kedua kaki. Dia bisa saja menghampiri pria itu dan mematahkan lehernya namun, keadaannya tidak memungkinkan bagi gadis itu untuk melakukan apa pun. Dia hanya bisa berdiam diri di sana dan berharap pria itu akan pergi dari pintu kamar mandi dan berhenti melototinya.
"Out!" teriak wanita itu.
Leonard tersentak. Entah apa yang terjadi pada pria dengan insting buas itu. Seketika ia menarik pintu dan sambil memegang dadanya ia mendesah berat.
"f**k!" umpat Leonard. "Sial!" lanjutnya. Dia berdecak. Buru-buru dia meraih jaket kulit di atas ranjang lalu merogoh ponselnya dari sana.
"Ya, tu-"
"What the hell are you doing, Edgar? Mengapa ada gadis di kamarku?" ucap Leonard dengan nada tinggi.
"Maaf, tuan. Saya ingin bertanya anda di mana,"
"What?!" pekik Leonard. Dia meremas dahinya. "Tentu saja di kamarku!” ucapnya dengan nada menyentak.
"Maaf tuan, tapi saya berada tepat di depan kamar anda sejak tadi dan saya menunggu anda."
Leonard semakin bingung. Dahinya mengerut lalu dia kembali menatap pintu di belakangnya. "Memangnya kamarku dimana, hah?" Kali ini suara Leonard mengecil, bahkan hampir berbisik.
"302, tuan."
Leonard menarik napas. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Dia menatap pintu itu sekali lagi dengan was-was lalu kakinya perlahan mulai berjalan keluar.
"Sial!" Leonard menepuk jidatanya, cukup kuat. "Foolish!" umpatnya. Betapa kagetnya dia ketika melihat papan nomor kamar di depannya.
"Tuan, apa anda baik-baik saja?" tanya Edgar.
"Sialan, aku ingin mati sekarang." Leonard berlari kedalam ruangan ketika dia menyadari bahwa dia sedang tidak memakai pakaian. Buru-buru dia memakai kembali pakaiannya dan dengan cepat dia meninggalkan kamar 203 itu.
Sementara di dalam kamar mandi.
"Sialan, dari mana datangnya pria itu?" Gadis itu masih memeluk dadanya. Keningnya mengerut cukup kuat lalu dia kembali berucap, "Apakah aku tidak mengunci pintu?" Dia menggigit bibir bawahnya. Kejadian tadi memang sangat membuatnya terkejut namun, dia juga mempertimbangkan sesuatu. Mungkin juga kesalahannya.
Dia berdecak. "Hah ... sialan. Victoria, rencana untuk menikmati waktu sendirimu tampaknya sia-sia. No … no … no." Gadis itu menggeleng. "Aku Victoria McLean, aku harus tenang." Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia menyapu d**a, membuat jantungnya kini berdetak normal lagi. Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan sambil membuka mata pelan-pelan.
"Aku harus bisa memanjakan diriku hari ini sebab besok aku harus bertemu CEO Van Der Lyn Group yang baru," gumam gadis bernama Victoria itu.
Di tempat lain, bangunan hotel megah ini ....
"Tuan?"
"Sialan!" Leonard tiada henti mengumpat sepanjang perjalanannya mencari kamar 302. "Kenapa kau tidak bilang dengan jelas kalau kamarku 302, hah?" teriak Leonard. Ia menatap Edgar dengan tatapan keras.
Edgar hanya menunduk sambil menggumamkan kata maaf. Dia bahkan tidak berani menegur bosnya saat di lihatnya resleting celana milik bosnya tidak terpakai sempurna.
_____________
To be Continue.