7. Meet With New Boss

1685 Kata
Leonard menikmat kopi paginya di teras hotel. Kejadian semalam benar-benar membuatnya sedikit merasa kesal tapi juga, dalam hati dia penasaran Entah apa yang terjadi pada pria berdarah dingin itu sampai-sampai semalam dia kesulitan untuk memejamkan mata. Kepalanya di penuhi wajah gadis di dalam bath up yang ia temui kemarin. Wajah itu seperti tidak asing lagi baginya. Entah dimana, dia terlalu banyak berjumpa dengan wanita namun, Leonard begitu yakin jika dia pernah bertemu wajah itu namun entah dimana, dia pun lupa. "Selamat pagi, Tuan." Edgar menyapa tuannya. Leonard hanya mengangguk lalu melanjutkan menikmati kopinya. "Tuan, jajaran direksi dan investor ingin segera bertemu dengan Anda. Persiapan peluncuran produk terbaru dari Cardenaz Jawerly sudah siap dan tinggal menunggu kesiapan Anda," tutur Edgar. Leonard menyesap kopinya. Manik berwarna hazel itu masih sibuk memandangi pemandangan pagi New York. "Kapan rapat di mulai?" Leonard akhirnya membuka suara. "Para direksi dan investor telah siap. Mereka hanya tinggal menunggu kabar Anda. Menurut nona Delinda, mereka akan menunggu kesiapan Anda. Kapan pun Anda siap hadir dalam rapat,” ujar Edgar. Leonard meletakan cangkir kopinya. "Siapkan mobilku. Aku ingin mengunjunginya," ucap Leonard. Edgar mengangguk. Dia segera menekan alat yang tersemat di telinganya yang langsung terhubung dengan semua anak buah Leonard. "Lou, siapkan mobil," ucap Edgar. Jawaban dari seberang sambungan telepon hanyalah ‘Ya’ lalu Edgar kembali menekan tombol untuk mematikan telepon. Leonard menarik napas panjang. Dia berjalan kedepan, maju beberapa langkah lalu dia memeluk tubuhnya. Pikirannya melayang kemana-mana. "Fredrick harus punya sesuatu untuk menjelaskan semua ini," gumam Leonard. "Mobilnya sudah siap, Tuan." Edgar menginterupsi tuannya. Leonard berbalik. Dia mengangguk dan memberi isyarat dengan kepalanya, pertanda Edgar harus lebih dulu keluar. Leonard meraih jaket kulit potongan panjang berwarna hitam yang sejak kemarin di gunakannya. Dia berjalan perlahan keluar dari suite room menuju lift. Satu hal yang sempat mengganggu pikirannya saat berjalan menuju lift, yaitu pemilik kamar 203. Tiba-tiba saja Leonard teringat gadis itu. Yah, memang sepanjang malam dia mengingatnya namun, kejadian kemarin seolah membekas meninggalkan perasaan yang membuatnya begitu penasaran. "Tuan," panggil Edgar namun Leonard tidak menyahut. "Tuan," lagi panggil Edgar. Tuannya masih melamun padahal pintu lift sudah terbuka. "Tuan." Kali ini Edgar memberanikan diri untuk memenyentuh lengan Leonard dengan tangannya. Leonard akhirnya bergeming. "Oh, yah ...." Sedikit merasa terkejut. Leonard menggelengkan kepalanya. "Mari." Edgar menjulurkan tangan kedepan. Leonard mengangguk. Ia segera keluar dari dalam lift. Bergegas mereka menuju beranda hotel dan mendapati mobil milik Leonard sudah menunggu mereka. Edgar dan Leonard segera naik. Setengah jam dalam berjalan, akhirnya mereka tiba di sebuah lapas di New York, Rikers Island. Lou, nama supir pribadi Leonard memarkirkan mobil mereka di halaman parkir lalu Edgar turun dengan cepat untuk membukakan pintu mobil bagi tuannya. Leonard dan Edgar berjalan cepat menuju kedalam lapas. Edgar harus lebih dulu sebab dia harus mengurus sesuatu agar tuannya tidak perlu menunggu terlalu lama. "Silahkan tunggu di ruang kunjung," ucap Sipir penjara kepada Edgar. Edgar lalu menuntun tuannya hingga tiba di sebuah ruangan. Sebuah ruangan yang hanya di isi oleh beberapa kursi yang di hadapakan di depan dinding transparan terbuat dari kaca kaca lalu gagang telepon di samping kanan. Leonard memilih tempat duduk di sudut paling kiri. Ada seorang pengunjung lagi, namun ketika Leonard duduk di sana jam kunjung orang itu hampir habis. Pintu dari seberang berbunyi. Seorang pria paruh baya muncul dengan pakaian berwarna oranye. Janggutnya tumbuh sangat lebat dan dia tampak lesu. Pria paruh baya itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum saat melihat siapa yang telah mengunjunginya. Pria itu duduk di depan Leonard, mereka saling menatap dan butuh beberapa saat sebelum akhirnya Leonard mulai meraih gagang telepon begitu pun dengan pria di hadapannya. "Bagaimana kabarmu, Nak?" ucap pria di seberang. Leonard menarik napas dalam-dalam sambil terus menatap pria di depannya. "Apa semua ini, Dad?" ucap Leonard. Dad? dia memanggil pria itu dengan sebutan ayah? Pria itu hanya tersenyum. "Lama tidak bertemu, Leonard." Lagi ucap pria itu. Leonard mendengus. "Apa sekarang kau puas?" desis Leonard. Senyum di wajah pria yang di panggilnya ayah itu memudar. "Bagaimana kau akan menjelaskan semua ini, Dad, katakan padaku." Pria di hadapan Leonard terus diam. Perlahan tatapannya mulai turun diikuti gelengan kepala namun tak satupun kata keluar dari mulutnya. "Argh!!" Leonard membanting punggungnya ke sandaran kursi. Dia membuang muka dengan kasar lalu kemudian kembali berucap, "Pertama kau menghancurkan kakakku. Kau buat dia jadi kaki tanganmu. Kau biarkan dia jadi petarung. Kau paksa dia menjadi seperti keinginanmu. Lalu, sekarang dimana dia? Apa kau bisa memastikan keberadaannya?" "Leo," "Akibat perbuatanmu ibu dan adikku juga harus mengalami hal buruk. Bisa kau beritahu aku dimana mereka, agar aku bisa kesana dan menjemput mereka?" ucap Leonard. Rahangnya mengetat kemudian. Pria di depannya terus saja diam. Tak ada apapun yang bisa ia katakan. Leonard memajukan wajahnya. "Sekarang tinggal aku, bukan?" bisiknya. "Fredrick," panggilnya. Pria itu mendongak saat namanya di sebutkan oleh putranya. "Aku bersumpah jika aku tidak bisa menemukan ibu dan saudara-saudaraku, aku akan kemari dan menghabisimu,” tegasnya. Wajah Leonard bergetar. Rahangnya mengeras sempurna dan sorot matanya berubah, tajam, menakutkan. Menyala bagai api yang siapa melahap. "Leonard, maafkan aku," lirih pria di depannya. Leonard menggelengkan kepala. "Sudah terlambat. Semuanya sudah hancur. Kau hancur!" Tidak ada kata lagi setelah itu. Dia membanting gagang telepon dengan kasar. Leonard memberi tatapan kerasnya kepada Fredrick sebelum tubuhnya berbalik sempurna meninggalkan ayahnya. "Leonard …," seru Fredrick namun Leonard tidak mempedulikan panggilan itu. Ia terus melangkah. Kedua tangannya telah mengepal dengan kuat dengan wajah yang terus bergetar. Pria itu benar-benar ingin sekali memukul wajah ayahnya namun, ia masih punya sedikit rasa hormat –sedikit saja. Hal sekecil itu mencegahnya untuk tidak melakukan hal bodoh. Leonard menapakki koridor lapas dengan kedua tangan yang masih mengepal dengan kuat. Ada perasaan sedih alam hatinya ketika melihat ayahnya berada di dalam sana. Ingat saat dulu ayahnya dipenuhi kehangatan, Leonard bahkan menjadikan ayahnya sebagai inspirasi dalam hidupnya namun … semua itu berubah ketika Fredrick memasukan Leonard kedalam pelatihan militer dan memperkenalkan Leonard pada sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan namun, sebagaimana Fredrick menjebak putrinya Letty, ia pun menggunakan siasat yang sama kepada putranya. Kini, Fredrick harus membayar derita yang dialami Leonard juga anggota keluarga Van Der Lyn yang lainnya. Pria paruh baya itu pantas berada di dalam sana karena dialah dalang di balik semua kekacauan ini. "Tuan," sapa Edgar. Leonard langsung melewati Edgar tanpa menyahut panggilan pengawalnya. Edgar langsung mengerti perubahan suasana hati tuannya. Bergegas dia menyusul tuannya menuju ke mobil. "Siapkan pertemuanku dengan para investor dan petinggi perusahaan," ucap Leonard. "Baik Tuan," sambut Edgar.   *****   Mobil SUV Leonard berhenti di depan sebuah bangunan tinggi bertuliskan Van Der Lyn Group Company. Seorang petugas keamanan berjalan dengan cepat ke arah mobil dan membukakan pintu mobil. Leonard turun dari mobil. Seperti biasa dia menarik kerah jaket dan merapikanya. Semua pasang mata tampak memperhatikan pria dengan balutan serba hitam itu. Dia lebih terlihat seperti seorang preman dari pada seorang CEO. Yah, memang dia seorang preman. Jangan lupa jika ia juga seorang mafia. "Selamat datang, Tuan." Salah seorang karyawan menyapa Leonard. Dia seorang gadis berpenampilan modis. Leonard meliriknya kecil lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke lift. "Saya Cassie,  saya ditunjuk untuk menjadi sekretaris Anda, tuan." Leonard masih tak bergeming. Pintu lift telah terbuka dan Leonard segera masuk. Edgar juga ada di sana dan gadis bernama Cassie itu tak mau ketinggalan. "Tuan, para Direksi telah menerima jadwal pertemuan yang di berikan tuan Edgar. Anda di jadwalkan akan menghadiri rapat setelah jam makan siang."     TING Pintu lift terbuka dan mereka segera keluar dari sana. Lantai lima puluh tiga merupakan kantor ayahnya yang sekarang menjadi kantornya. Hanya ada beberapa ruangan di sini. Ruangan milik Fredrick dan ruangan milik Lucas. "Sebelah sini, Tuan." Cassie menuntun Leonard ke sebuah ruangan bertuliskan PRESIDENT DIREKTUR Room's. Leonard terkesiap ketika kakinya melangkah melewati pintu besar itu. Sebuah meja bundar terbuat dari batu pasir, kursi goyang dan kaca besar di belakangnya. Dia berjalan pelan sambil matanya terus memperhatikan sekeliling ruangan. Cassie berdiri di belakang Leonard, gadis itu sibuk memperhatikan penampilan bosnya. Mata gadis itu menyelidik dari ujung kaki hingga kepala. ‘Sepatu boots, celana jeans, kaos hitam, jas kulit hitam? astaga ... apa benar dia anak tuan besar?’ batin Cassie. Seketika itu juga Leonard berbalik. "Oh!" Cassie terkejut saat matanya bertabrakan langsung dengan manik berwarna cokelat milik Leonard. "Ehem!" Cassie lanjut berdehem lalu membuang muka kesembarangan arah. "Apa menu sarapanku?" Setelah menunggu lama, Leonard akhirnya mengeluarkan kata. "Ah … maaf soal itu, Tuan. Saya belum tahu menu sarapan Anda, bisakah Anda beritahu makanan apa saja yang harus saya sediakan?" tanya Cassie. "Aku bisa makan apa saja," ucap Leonard. "Baik, Tuan. Akan saya siapkan sarapan Anda," ujar Cassie. Leonard mengangguk. Dia kembali berbalik dan berjalan menuju dinding kaca di depannya. "Tuan," panggil Cassie lagi. Leonard tidak menjawab. Cassie memutar tubuhnya. Dia menatap Edgar dengan tatapan was-was. Gadis itu sangat gugup, entah dia harus mengatakannya tapi, dia harus melakukannya. "Tu, tuan ...." Ternyata tidak gampang bagi Cassie. Ia kembali menatap pria yang sejak tadi berdiri tidak jauh darinya, Edgar. Pria itu seolah mengerti apa yang hendak di katakana Cassie hanya dengan melihat gerak-gerik dan mata gadis itu yang menatap resah penampilan bosnya. Jujur saja, Edgar juga ingin mengatakan hal yang sama namun, ia terlalu takut menyuarakan isi pikirannya. Edgar hanya bisa mengandalkan gadis di depannya. Ia mengangguk kecil lalu menggerakkan kepalanya menunjuk kepada Leonard yang masih berdiri memunggungi mereka. “Ehem!” Butuh keberanian bagi Cassie untuk bisa berkata jujur jadi dia perlu berdehem. Gadis itu meraih ujung jas kasual yang ia kenakan dan sambil menarik napas ia pun berkata. "Apakah Anda mau berganti pakaian?" Wanita muda itu sangat gugup hingga dia harus menutup matanya. Beberapa detik terasa hening. Lalu mulai terdengar hembusan napas kasar dari Leonard yang membuat Cassie refleks membuka matanya. "Maaf, jika saya bersikap tidak sopan—," "Ambil baju terbaik. Aku tidak pintar memilih pakaian jadi kau saja yang pilihkan," ucap Leonard. "Baik, tuan. Saya segera laksanakan," ucap Cassie. Dia berbalik dengan cepat. "Fyuh ...." Hembusan napasnya menggema dan dia menggeleng. "Hampir saja," gumam Cassie. Dia bergegas meninggalkan ruangan bosnya. Edgar yang melihat tingkah gadis itu, tak bisa menahan bibirnya. Ia terkekeh pelan.     "Edgar," panggil Leonard." Edgar langsung bergeming. "Ya Tuan," sahutnya. "Apakah aku terlihat seperti mafia?" "Hah? eh?!" __________________________ To be Continue …  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN