5. How To Kill The Enemies

2342 Kata
PERHATIAN : Bagian ini memuat adegan kekerasan. Jika pembaca tidak nyaman, bisa menunggu part selanjutnya. happy reading :) ___________________________________________ VIRGINIA — USA • • • • • • • • • • • • • Ketukan sepatu boots, begitu berat melangkah menyusuri koridor gelap yang membentang dengan luas di mansion megah milik salah satu Senator Amerika. Angin malam meniup dengan kencang. Gemuruh hujan, kilatan petir dan sambaran kilat menggelegar mengiri langkah kaki pria yang baru saja di lepas dari kandangnya itu. Langit malam bahkan tidak bisa menyembunyikan kilatan api yang membara di matanya. Rahangnya mengatup dengan sangat kuat. Alam seolah mendukung rencananya malam ini. "Bos, dia berada di ruang kerjanya. Semuanya aman. Area sekeliling sudah di bereskan." Seseorang memberikan instruski lewat sebuah alat yang disematkan pada telinga sang pria. "Siapa disana?" Seseorang bersuara. Membuat Langkah kaki dari pria misterius itu sempat terhenti ketika mendengar suara barusan. "Hei, siapa kau?" tanya suara itu lagi namun, pria itu tidak mau beranjak dan tidak juga berbalik. Dengan cepat orang yang sejak tadi memanggilnya itu menghampiri pria yang sedang mematung di depan. Tangannya telah siap mengenggam revolver lalu bidikannya tepat di kepala pria itu namun, naasnya, belum sempat dia menarik pelatuk, jantungnya telah lebih dulu menerima sesuatu yang tajam. "Akkhh …." Pria itu meringis kesakitan. Dia jatuh sambil memegang dadanya. Satu detik, bukan. Mungkin sepersekian detik. Bagaimana pria di hadapannya bisa memutar dengan cepat dan melempar sebilah pisau, lalu bagaimana dia bisa membidik jantung lawannya dengan sangat akurat. Semuanya terjadi hanya dalam hitungan detik. "Cih!" Terdengar suara berat dari kerongkongannya sebelum dia kembali menggerakkan kaki, melangkah semakin dekat menghampiri targetnya.      BUK Sesuatu yang berat mendarat di tengkuk pria itu. Namun, apa yang terjadi? "Sial!" Seseorang mengumpat. Sepertinya dia yang baru saja melemparkan balok di kepala pria itu tapi kenapa dia mengumpat? ‘Ubiystvo’. Sesuatu berbisik di telinga pria yang baru saja menerima pukulan keras itu. Sebuah mantra yang sudah tak asing lagi di telinganya. ‘Kill him and bring his head to me.’ Kalimat itu mengeluarkan sisi buas dalam diri pria itu, Leonard Van Der Lyn. "Bunuh!" gumamnya. Dia berbalik dan segera meraih tubuh orang yang baru saja melemparinya dengan balok. Dia tidak menginginkan pertarungan jadi dia hanya mengangkat tubuh pria itu. Tubuh yang melayang di udara itu lalu di lemparkannya keluar, menembus jendela kaca.       PRANG .... Bunyi suara pecahan kaca menggema di seluruh mansion megah milik salah satu Senator Negara bagian. Entah apa yang sudah di perintahkan Fredrick pada putranya namun, terbesit teka-teki di dalamnya yang jelas hanya bisa di pecahkan ketika Leonard bertemu langsung dengan pria yang gambarnya berada dalam foto yang diberikan Fredrick.      TE .... KKK Bunyi suara pintu menggema. Leonard tampak begitu santai memasuki sebuah ruangan. Jejeran buku tertata rapi di sepanjang rak yang berbaris di ruangan ini.      DOR !      DOR !    Bunyi tembakan pun terdengar. "Si- siapakah kau?" Rupanya seorang pria paruh baya. Dia memegang pistol namun, nampaknya dua tembakan sebelumnya hanya sebuah isyarat bagi pria misterius yang sudah berani mengusik ketenangan dan dengan santai memasuki ruang kerjanya. "Benedict McLean." Suara itu menggema. Berat dan menakutkan. Pria paruh baya di depan memicingkan matanya. Dalam hati dia menggerutu. Berani-beraninya ada yang memanggil namanya tanpa memberi rasa hormat sedikitpun. Lagi pula, dimana semua pengawal yang ada sekitar seratus orang. "Tetap disana!" kecam Benedict ketika suara sepatu boots kembali terdengar. Tapi, Leonard seolah tak sabar ingin segera meraih kepala pria itu, dia pun maju.      DOR ! Suara tembakan kembali menggema. "Argh!" Leonard meringis sebab peluru itu mendarat di dadanya. "Cih!" Benedict mendecih dengan suara yang nyaring. Oh, dia harus gembira sebab Leonard telah tumbang. Lihat saja dia jatuh di atas lututnya. Namun, kebahagiaan Benedict tidak bertahan lama saat Leonard dengan cepat meraih kakinya.      BUK "Argh!" Benedict meringis kesakitan ketika punggungnya mendarat kasar di atas lantai kayu. Tidak sampai di situ, Leonard pun berdiri. Benedict bingung kenapa tak ada darah yang keluar di d**a dari pria yang baru saja menerima timah panas darinya, padahal jelas-jelas Benedict sudah membidik jantungnya dan tembakkan barusan tidak mungkin meleset. Namun, alih-alih terluka parah, pria itu bahkan tidak merasakan sakit lagi. Pemikiran semacam itu harusnya di kesampingkan dulu oleh Benedict sebab, Leonard kembali bergerak. Ia berdiri dan langsung menarik kerah baju Benedict. Leonard mengayunkan tangan, tubuh Benedict melayang begitu saja.     PRANG !! Seperti melempar sebuah guling, begitulah Leonard melempar tubuh Benedict. Wajahnya menabrak rentetan buku di atas meja sebelum tubuhnya menabrak rak kayu, dan akhirnya tubuh Benedict ambruk kembali di lantai. Tidak puas dengan itu, Leonard kembali mengangkat tubuh pria paruh baya itu. Benedict mencoba memberikan perlawanan dengan melempar koleksi bukunya pada wajah Leonard namun, akankah itu berpengaruh? Jika peluru saja tak mampu meruntuhkan pertahanannya, bagaimana dengan tumpukan kertas biasa? "Sialan!" Benedict kembali mengumpat. Namun, Leonard dengan pasti mengangkat tubuh Benedict. Hanya dengan setengah tangannya saja dia sudah bisa membawa tubuh pria itu kembali melayang keudara. Leonard memutar tubuh Benedict lalu melemparkannya dia atas kursi kerjanya. “Argh!” Lagi-lagi Benedict menjerit. Tubuhnya seolah telah amburk. Pemandangan di depan membuat Leonard mengeluarkan seriangaian iblis. Leonard tepat berada di depan Benedict. Ia mengangkat kaki dan menaruhnya di atas paha Benedict. Leonard menunduk dan dengan cepat meraih sebuah tali di dalam saku celananya. "Ap-, Akh ...." Ucapan Benedict terhenti saat Leonard mengaitkan tali itu pada lehernya. Ia memegang kedua ujung tali itu lalu menariknya dengan kuat. Benedict tersentak, tenggorokkannya tersekat hebat. "Sepertinya begini cara kalian melakukannya waktu itu," gertak Leonard. Ia berjalan memutari tubuh Benedict sambil memegang tali di tangannya kemudian dengan satu kali gerakkan Leonard kembali menarik kedua sisi tali lalu dengan cepat mengikat tali itu kebelakang kursi. "Ar ... kh!" Benedict terlalu sulit bernapas. Matanya membelalak dan tali itu seolah sedang memotong kulit lehernya. Leonard kembali berseringai. Ia kembali berjalan menghampiri Benedict. Leonard duduk di atas meja kerja Benedict, tepat di depan pria paruh baya itu. "Bagaimana rasanya?" Leonard kembali berucap. "Lep—, Lep—as—kkh ...." Leonard mendengus. Ia menggelengkan kepala. Sesuatu menarik perhatiannya. Ia meraih sebuah pematik yang letaknya tidak jauh dari tempat tumpuan tangannya. Jemarinya meraih benda itu, menariknya perlahan sementara ekor matanya masih terus mengawasi Benedict. Setelah di dapatnya, lalu kemudian dia memasang pematik itu. Leonard kembali memperlihatkan seringaian jahatnya sambil menatap pria paruh baya di depannya dengan tatapan dingin. Leonard memasang pematik di tangannya tepat di depan wajah Benedict yang kini mulai memucat. "Kau ingat bagaimana wajahnya?" bisik Leonard. Dia menggerakkan pematik yang sedang menyala itu di sisi kanan wajah Benedict. "NG ...!" Mata Benedict membulat. Tubuhnya terangkat secara naluriah namun, Leonard kembali menghentikan pergerakannya. Leonard menginjak paha pria itu. "Tunggulah, nanti juga dia akan melepaskanmu dari tali ini. Mungkin akan bersamaan dengan telingamu," ucap Leonard dengan santai. "Akh ...." Benedict menjerit dengan sangat kuat ketika kuping sebelah kanannya benar-benar panas. Leonard sengaja menaruh pematik itu di telinga Benedict. "Terlepas," gumam Leonard. Benedict masih belum menyerah. Dia mendorong tubuh Leonard. Pria paruh baya itu mendapat sedikit celah dari tindakannya barusan. Ia langsung di menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri Benedict pikir dia akan berhasil, namun Leonard tidak mungkin segampang itu di kalahkan. Dia meraih lengan Benedict lalu menariknya dan dengan cepat membanting tubuh Benedict. Pria buas yang terbiasa membunuh tanpa ragu bahkan kepada sesama teman prajuritnya tentu saja tidak akan membiarkan mangsa sesungguhnya terlepas begitu saja. Insting liarnya berteriak, menguasai pria itu.     PRANG ....      KRAK .... "Awh!" Benedict berteriak dengan sangat kuat ketika rahangnya menabrak meja kayu sementara dadanya ikut ambruk di atas meja kayu. "Ampuni aku, aku tidak bersalah." Benedict menoleh. Matanya memohon dengan tatapan nanar. Leonard sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia benar-benar ingin segera menghabisi pria ini. Pria buas itu meraih kedua tangan Benedict lalu menguncinya di belakang punggung pria paruh baya itu.   "Apakah ...." Leonard menjatuhkan pandangan menatap pria yang sudah tidak berdaya di bawahnya. Dia menjambak rambut Benedict membuatnya mendongak dengan paksa. "Akh ...." Untuk kesekian kalinya Benedict meringis kesakitan. Jantungnya berpacu dengan sangat kuat. Dia terus meronta namun, tulang-tulangnya seolah telah hancur. Dia hanya memohon pengampunan dari pria yang entah dari mana datangnya dan apa maksudnya menyerang kediaman Benedict. Di tengah ketidakberdayaannya, Benedict masih berusaha menyelamatkan diri. Dia menekan tombol di balik meja kerjanya. Tombol darurat yang langsung tersambung dengan kepolisian setempat. Setidaknya dia berharap polisi bisa segera datang untuk menyelamatkan nyawanya. "Apakah kau mengingat wajah adikku?" Lanjut pria berdarah Van Der Lyn itu. Rahangnya mengetat sedang pembuluh darahnya membesar. Ia ingat betul apa yang telah terjadi pada ibu dan adiknya melalui sebuah rekaman yang di berikan Fredrick padanya. Benedict membulatkan mata. "Akh- adikhh ...." Pria paruh baya itu mulai kesulitan meneruskan ucapannya sebab tenggorokannya makin tercekik. "Biarkan aku membantumu mengingatnya. Rumah Van Der Lyn, 23 Desember 2016, dua tahun yang lalu. Kau ingat?" ucap Leonard. Benedict sontak membelalakkan matanya. Dia ingat betul rumah itu, tanggal itu dan apa yang di perbuatnya saat itu. Pria itu tampak tak asing dengan nama yang baru saja di sebutkan oleh orang yang sedang mencekik lehernya. "Aku, ak-ku, aka-n, jelaskan." Dengan susah payah Benedict ingin meneruskan kalimatnya namun seolah tak memberi kesempatan untuk bernapas, Leonard semakin gencar menekan tenggorokannya. Ia menarik sesuatu dari saku celananya. Sebuah pisau yang langsung di arahkannya pada leher Benedict. Leonard mengangkat wajah. Lalu di detik selanjutnya ia melempar pisau itu. Tidak. Leonard menggelengkan kepala. Tangannya sendiri yang akan mencabut nyawa pria ini dan itu sudah pasti. "Aku tidak ingin menerima penjelasan apa pun. Akan lebih baik jika kau menjelaskannya langsung pada adikku. Proshchay, neudachnik." Selamat tinggal, pecundang. Tidak ada kata yang mengikuti ucapan selamat tinggal dalam bahasa Rusia itu selain bunyi suara retak, patah dan hancur. Benedict menghembuskan nafas terakhirnya di tangan Leonard. Leonard tersenyum puas, lega dan bangga di akhir napas pria paruh baya yang berhasil di bunuhnya itu.  Ayahnya pasti akan sangat senang dengan hasil kerjanya. "Dad ...." Suara lirih seseorang membuat Leonard memutar kepalanya. Walau dia tidak perlu panik oleh karena seseorang telah memergokinya namun, suara itu tetap saja mengundang perhatiannya. Leonard mengerutkan dahinya. Bagaimana bisa masih ada orang lain di dalam sini? Seorang wanita dengan pakaian gaun kasual sambil menenteng tas bermerek, tengah berdiri dengan wajah tercengang di depan pintu. ‘Dari mana datangnya, wanita itu?’ batin Leonard. Mata gadis itu membesar tiba-tiba dan urat-uratnya seolah ikut membesar. Jantungnya berpacu, sangat kuat. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya saat melihat wajah kaku ayahnya yang terbaring di bawah kaki seseorang. "Ap-" Gadis itu tak mampu meneruskan kalimatnya. Dia langsung melempar tasnya dan buru-buru menghampiri pria dengan penutup wajah itu.        Tangan, dia mengincar tangan pria itu.       KRAK       Tangannya berhasil memutar lengan pria itu dan tanpa berlama-lama dia membanting tubuh sang pria.       BUKK Hanya dalam hitungan detik dia sudah membuat Leonard jatuh dan ambruk. Punggunya menabrak lantai dengan sangat kuat. Tak berhenti sampai di situ gadis berpenampilan seksi itu lalu mengangkat kakinya dan menginjak d**a Leonard yang sedang terkapar di lantai. Haknya menancap di d**a pria Itu. Seolah tak ingin memberi celah, gadis itu pun meraih penutup wajah yang di gunakan pria itu namun, belum sempat tangannya mencapai wajah Leonard, dia sudah lebih dulu ambruk oleh sebab Leonard yang tadinya di bawah kini dengan gampangnya menarik kaki gadis itu dan membanting tubuhnya. Leonard dengan cepat membalikkan keadaan. Manik matanya kini berada tepat di depan sepasang iris abu-abu. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Leonard langsung mengayunkan tangannya membuat tubuh gadis itu melayang. "Argh...!" Gadis itu meringis. Dadanya menabrak nakas, membuatnya berbatuk dengan kuat hingga mulutnya mengeluarkan darah. "Cih!" Gadis itu mendecih sinis sambil menyeka mulutnya yang berdarah. Ia belum menyerah. Manik berwarna abu-abu itu menatap pria di depannya dengan bola mata yang menyala dan siap menghanguskan pria di depannya saat ini juga.  Dengan cepat gadis bertubuh molek itu memutar kaki dan melemparkannya pada pria itu, dia kembali menyerang dan kali ini dengan sedikit brutal oleh sebab dadanya yang berdebar-debar sementara Leonard sedari tadi hanya menangkis pukulannya tanpa berniat sedikit pun membalas pukulan wanita itu. Gadis itu mengincar satu lengan milik pria di depannya, hanya satu lengan saja dan dia akan mampu menggulung pria kejam yang sudah membunuh ayahnya. Ia menjatuhkan pandangan mencari posisi bagus untuk bisa menyelipkan satu kakinya di antara kedua kaki pria di depannya. Wanita muda itu memajukan kaki namun Leonard seolah sudah mampu membaca setiap gerakkan wanita itu. Ia pun berhasil menghindar. “Sial!” Wanita muda itu mengumpat. Dengan cepat ia kembali melayangkan kaki. “Bos, kau harus segera keluar dari sana, polisi sedang menuju kemari." Suara yang keluar lewat alat yang di sematkan pada telinga Leonard membuatnya harus melayangkan pukulan. Ketika gadis itu melayangkan kaki, mata elang Leonard bergerak cepat. Tangannya langsung menangkap kaki itu lalu menepisnya. Kini wajah gadis itu tepat berada di depannya.         BUKK Sekali pukulannya mampu membuat gadis itu terpental dan punggungnya kembali menabrak dinding. Begitu hebatnya kepalan tangan pria itu hingga mampu memburamkan pandangan gadis itu. "Sialan!" Wanita muda itu mengumpat. Mengerjap beberapa kali, hendak memulihkan penglihatannya namun akhirnya ia ambruk juga. Tubuhnya kini terkapar di lantai dengan pandangan yang mulai memburam ia sempat melihat sesuatu. "Burung, tangan, Yin dan Yang," gumam gadis itu. Entah apa yang terjadi pada Leonard. Kakinya tak mau bergerak dan matanya masih sibuk menatap gadis di bawahnya. "Cih!" Gadis itu mendecih padahal tubuhnya sudah hampir sekarat. "Jika aku melihatmu lagi, akan ku pastikan jika hari itu adalah ajalmu," gumam gadis itu sebelum kelopak matanya menutup sempurna. Sementara Leonard, pria yang baru saja melumpuhkan dua orang itu terlihat biasa saja. Dia bahkan masih sempat memasang cerutu sambil duduk dan memangku kaki di depan tubuh gadis yang baru saja pingsan. "Jika aku bertemu lagi denganmu, ku harap kau sudah mahir menggunakan jurusmu, Brazilian jujitsu,” gumamnya. "Argh!" Leonad meringis lalu meremas dadanya. Dia tidak bisa berbohong, pukulan gadis itu sempat menembus pertahanannya. Dadanya terasa panas dan jantungnya memacu dengan cepat merespon rasa sakit yang ia rasakan. Seolah ingin meledak namun, entah apa yang terjadi pada Leonard hingga membuatnya tak ingin membunuh gadis yang sedang pingsan di depanya. Dalam hati, dia sangat penasaran dengan jurus yang di gunakan gadis itu. "Bos, keluar dari sana ...." Anak buahnya mulai panik memberi instruksi pada bos mereka. Leonard kembali menatap gadis itu lekat-lekat. “Sampai bertemu lagi, baby girl,” ucapnya lalu mematikan cerutunya di depan wajah gadis itu.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN