1. PROLOG
Pria itu ... dia dingin, tatapannya memburu pada kehampaan. Matanya berkilat memancarkan kengerian. Namun, tiada satu pun yang tahu betapa mata itu menderita menahan pelik di hatinya. Kekecewaan, amarah, dan balas dendam seolah menjadi garis yang membayangi hidupnya.
Pria itu tampak puas saat pelurunya mendarat di jantung lawan. Dia akan bahagia ketika anak panahnya menyentuh dahi lawan yang telah ditandainya. Dia akan sangat menikmati ketika tangannya berhasil merenggut nyawa musuh-musuhnya.
Angkuh, dia begitu menjunjung tinggi kesombongan namun, tiada yang tahu bahwa sebenarnya dia sedang membuat tameng agar orang-orang tak bisa melihat betapa dia begitu rapuh dan lemah.
Pria dengan sejuta pesona yang ditutupi wajah tegang dan tegas ini bernama Leonard Van Der Lyn.
Generasi ketiga Van Der Lyn. Putra pertama Fredrick Van Der Lyn yang telah jatuh oleh ketamakannya namun, sebelum keruntuhannya, dia berhasil menghidupkan sindikat rahasianya yang berpusat di RUSIA. Sindikat tak bernama itu, memproduksi jutaan senjata ilegal untuk di perdagangkan di berbagai negara.
Dan, kali ini Fredrick mewariskan bisnis ilegalnya kepada putranya Leonard Van Der Lyn.
Pria yang tumbuh di arena petarung dan menjadikannya sebagai penguasa systema, sambo, dan berbagai jenis bela diri aliran keras. Dia tidak butuh senjata untuk bertarung sebab tubuhnya adalah mesin pembunuh
****
Rusia, Mei 2018
___________________
"Prajurit ...," panggil Fredrick.
Pria yang sedang menunduk sambil berlutut dengan kaki kanan sebagai tumpuannya itu perlahan mulai mendongakkan kepalanya menatap sang ayah dengan tatapan hampa namun raut wajahnya tegas.
"Aku sudah siap," ucap pria itu.
Fredrick berseringai. Di usianya yang hampir menua ini, dia begitu bahagia sebab tidak untuk selamanya dia akan berduka di dalam penjara. Putrinya telah berhasil mengelabuinya namun, dia tahu jika sifat putranya begitu mirip dengannya.
"Siapkah kau menjadi penerusku?" tanya Fredrick menatap mata anaknya.
Pria itu tidak menjawab dan langsung menundukan kepalanya.
"Leonard putraku, untuk menguji kesetianmu, mari buktikan padaku bahwa kau siap membunuh." Fredrick menunjukan sebuah foto pada putranya. Foto seorang pria. "Pergi dan patahkan lehernya," ucap Fredrick.
Pria itu mengangguk pelan sambil menerima foto itu.
Dia menjalankan misi pertamanya. Terbang ke Virgina dengan insting yang haus akan darah. Tanganya bergetar tidak sabar meraih tubuh pria yang berada di dalam foto dengan sebuah tulisan di belakang foto yang membuat darahnya semakin mendidih. Dia tidak tahu bahwa di detik selanjutnya, dia sedang berjalan dalam kehancurannya.
"Ampuni aku, aku tidak bersalah." Pria paruh baya itu memohon dengan tatapan nanar pada seseorang misterius yang sedang memegang kepalanya sambil mengunci semua pergerakannya.
"Apakah ...." Suara pria itu terdengar serak, berat dan menakutkan membuat pria paruh baya itu semakin ketakutan. "Apakah kau mengingat wajah adikku?" lanjutnya.
"Akh- adikhh ...." Pria paruh baya itu mulai kesulitan meneruskan ucapannya sebab tenggorokannya makin tercekik.
"Biarkan aku membantumu mengingatnya. Rumah Van Der Lyn, 23 Desember 2016, setahun yang lalu. Kau ingat?" ucap pria misterius yang memakai penutup wajah.
Pria paruh baya itu sontak membelalak. Dia ingat betul rumah itu, tanggal itu dan apa yang di perbuatnya saat itu. Pria itu tampak tak asing dengan nama yang baru saja di sebutkan oleh orang yang sedang mencekik lehernya.
"Aku, ak-ku, aka-n, jelaskan." Dengan susah payah pria paruh baya itu meneruskan kalimatnya namun seolah tak memberi kesempatan untuk bernapas, pria bertopeng itu semakin gencar menekan tenggorokannya.
"Aku tidak ingin menerima penjelasan apa pun. Akan lebih baik jika kau menjelaskannya langsung pada adikku. Proshchay, neudachnik." Selamat tinggal, pecundang.
Tidak ada kata yang mengikuti ucapan selamat tinggal dalam bahasa Rusia itu selain bunyi suara retak, patah dan hancur. Dia tersenyum puas, lega dan bangga di akhir napas pria paruh baya yang berhasil di bunuhnya itu.
"Dad ...!"
Suara lirih seseorang membuat pria itu memutar kepalanya. Walau, dia tidak perlu panik oleh karena seseorang telah memergokinya namun, suara itu tetap saja mengundang perhatiannya.
Seorang wanita dengan pakaian gaun kasual sambil menenteng tas bermerek, tengah berdiri dengan wajah tercengang di depan pintu. Matanya membesar tiba-tiba dan urat-uratnya seolah ikut membesar. Jantungnya berpacu, sangat kuat. Dia menutup mulutnya saat melihat wajah kaku ayahnya yang terbaring di bawah kaki seorang pria.
"Ap-" Gadis itu tak mampu meneruskan kalimatnya. Dia langsung melempar tasnya dan buru-buru menghampiri pria dengan penutup wajah itu.
Tangan, dia mengincar tangan pria itu.
KRAK
Tangannya berhasil memutar lengan pria itu dan tanpa berlama-lama dia membanting tubuh pria itu.
BUKK
Tubuh pria itu jatuh dan ambruk, punggunya menabrak lantai dengan sangat kuat. Tak berhenti sampai di situ gadis berpenampilan seksi itu lalu mengangkat kakinya dan menginjak d**a pria yang sedang terkapar di lantai. Haknya menancap di d**a pria itu. Seolah tak ingin memberi cela, gadis itu pun meraih penutup wajah yang di gunakan pria itu namun, belum sempat tangannya mencapai wajah si pria, dia sudah lebih dulu ambruk oleh sebab pria yang tadinya di bawah kini dengan gampangnya menarik kakinya dan membanting tubuhnya.
"Argh...!" Gadis itu meringis. Dadanya menabrak nakas, membuatnya berbatuk darah.
"Cih!" Gadis itu mendecih sambil menyeka mulutnya yang berdarah.
Dengan cepat gadis itu memutar kakinya dan melemparkannya pada pria itu, dia kembali menyerang dan kali ini dengan sedikit brutal oleh sebab dadanya yang berdebar-debar sementara si pria sedari tadi hanya menangkis pukulannya tanpa berniat sedikit pun membalas pukulan wanita itu.
"Bos, kau harus segera keluar dari sana, polisi sedang menuju kemari." Suara yang keluar lewat alat yang di sematkan pada telinga pria itu membuatnya harus melayangkan pukulannya.
BUKK
Sekali pukulannya mampu membuat gadis itu terpental dan punggungnya kembali menabrak dinding. Begitu hebatnya kepalan tangan pria itu hingga mampu memburamkan pandangannya namun, gadis itu masih sempat merekam lukisan tangan manusia yang ada di punggung tangan pria itu.
"Jika aku melihatmu lagi, hari itu adalah ajalmu," gumam gadis itu sebelum kelopak matanya menutup sempurna.
Sementara, pria yang baru saja melumpuhkan dua orang itu terlihat biasa saja. Dia bahkan masih sempat memasang cerutu dan duduk di depan tubuh gadis yang baru saja pingsan.
Dia memangku kakinya lalu menaruhnya di atas kakinya yang lain.
"Jika aku bertemu lagi denganmu, ku harap kau sudah mahir menggunakan jurusmu, Brazilian jujitsu." Pria itu meremas dadanya. Dia tidak bisa membohongi bahwa pukulan gadis itu sempat menembus pertahanannya. Dadanya terasa panas dan urat-urat di tangannya seolah ingin meledak namun, pria itu tak akan membunuh gadis yang sedang pingsan di depanya. Dalam hati, dia sangat penasaran dengan jurus yang di gunakan gadis itu.
"Bos, keluar dari sana ...." Anak buahnya mulai panik memberi instruksi pada bos mereka.
"Permainan baru di mulai," ucapnya lalu mematikan cerutunya di depan wajah gadis itu.