9. Nervous

2410 Kata
"Aku … akan memotong telingamu." Manik berwarna hazel itu melebar diikuti gerakkan kepala yang menggeleng, tanda tidak setuju. Gadis itu mendongak kemudian. "No ...," gumam Cassie. Ia kembali menggelengkan kepala. "Maafkan saya, Pak. Saya sudah lancang. Saya bersumpah untuk tidak mengulangi kesalahan ini," mohon gadis itu. Sudut bibir atas Leonard semakin naik. Senyum yang berubah menjadi seringaian iblis yang sanggup membuat siapapun yang melihatnya merasa begitu terintimidasi, takut dan ngeri. Pria itu membawa tangannya mengelus puncak kepala Cassie. Kulit tangannya yang bersinggungan dengan helaian rambut milik Cassie membuat gadis itu semakin bergidik. Kengerian menjalar cepat dan bersarang pada pikirannya. Tidak pernah ia merasa setakut ini. Bahkan hanya sentuhan kecil, nada berat dan hembusan napas. Semua itu bagaikan teror yang merongrong keberanian gadis itu hingga ia bertanya-tanya dalam hati, orang seperti apakah yang sedang berdiri di depannya ini. Apakah benar dia seorang bos? "Itu semua tergantung padamu,” ucap Leonard. Ia masih terus mengelus puncak kepala Cassie.  “Sekarang, berikan jasku," lanjutnya. Cassie kembali menelan ludah. "I ... ini dia," ucapnya susah payah. Gadis itu berusaha menghindari kontak mata dengan bosnya. Tidak ingin kembali terintimidasi oleh tatapan mengerikan itu. Dengan cepat ia berpindah. Menghampiri sebuah kotak yang tadi sempat di letakkannya di atas meja berbentuk bundar, terbuat dari batu pasir. Mengeluarkan setelan jas dari kotak adalah ide paling bagus yang bisa menyelamatkannya. Leonard tersenyum sinis. Ia memutar lutut, mengambil langkah pelan untuk kembali menghampiri gadis yang tengah mengeluarkan pakaian dari dalam kotak dengan tangan yang bergetar. "Ini ... Oh my God!" Cassie memekik. Bagaimana tidak, ketika dia berbalik, tubuhnya langsung menabrak sesuatu. Bahkan gadis itu mengira kepalanya baru saja terbentur dinding beton. "Awh ...." Cassie meringis sambil memijat dahinya. Perlahan gadis itu mulai mengangkat kepalanya. "Ma- maaf, Pak." Cassie kembali memalingkan wajah. Ia merutuki dirinya di dalam hati. Lagi-lagi gadis itu bertingkah ceroboh. Dan lagi– bagaimana bisa menabrak d**a seseorang efeknya bisa sedasyat ini. Cassie bahkan harus menggelengkan kepala sebab sedetik yang lalu pandangannya sempat memburam. Efek berbenturan dengan d**a Leonard begitu hebat dirasakan Cassie. Leonard tidak menggubris. Itu sudah menjadi hak mutlaknya. Tatapan lurus itu kini mulai bergerak, kebawah. Menatap gadis itu lagi. "Pakaikan," titahnya. Raut wajah santai dengan nada datar. Tidak ada ancam namun tetap saja membuat Cassie kembali bergidik. Cassie mengerutkan kening. Otaknya sementara memproses perkataan Leonard barusan. Apa maksud perkataan bosnya itu? Butuh waktu lama bagi Cassie untuk mengumpulkan keberaniannya dan berkata, "Ma—maksud, Anda?" Leonard berdecak kesal. Tanpa melepas tatapan, pria dengan aura menakutkan itu kembali menghampiri Cassie yang masih mematung di depannya. Cassie refleks melangkah mundur. Leonard semakin melangkah. Pria itu ingin mengeliminasi semua jarak antara dirinya dan Cassie. "Awh!" Cassie meringis saat bokongnya menabrak sesuatu. Langkahnya terhenti. Ia menoleh mendapati dirinya benar-benar telah tersudut. Cassie menelan ludah. Perlahan-lahan memutar pandangan kembali menatap bosnya. "Tunggu apa lagi?" desak Leonard. Cassie menarik napas. Ia melempar pandangan kesamping. "Maaf, Tuan, apakah aku harus melakukan ...." Cassie membawa tatapannya pada pria paruh baya yang sejak tadi berdiri seperti patung. Pria tua itu bahkan tidak bergeming ketika menyaksikan bagaimana bosnya memerintah sekretaris malang di depannya. Leonard mengikuti arah tatapan Cassie. "Kenapa? Kau terusik dengan keberadaanya?" tanya Leonard.  "Ap-“ Cassie mengerutkan dahi. “Hah?! Maksud ... ti ... oh, Astaga!" Secara naluriah Cassie mendorong pelan d**a Leonard. Dia mengambil celah itu untuk bisa meloloskan diri dari Leonard. Kegugupan yang saat ini ia rasakan membuat gadis itu berani bertindak. "Edgar, kau boleh pergi," titah Leonard. "Baik Tuan," sahut Edgar. Pria itu segera pergi dari ruangan Leonard. "Kau ...," panggil Leonard lagi. Cassie kembali menutup matanya. Dia bahkan menggigit bibir bawahnya saat mendengar suara berat itu kembali memanggilnya. "Cepat kesini." "Ba — baik, Pak." Cassie berbalik lagi. Gadis itu tidak bisa menatap wajah Leonard, ia lebih memilih untuk menundukkan kepala. Walau begitu, langkah kakinya tetap membawa gadis itu untuk menghampiri Leonard. Melirik kecil hanya untuk memastikan jika kini ia tepat berada di depan tubuh Leonard. Pemandangannya setelah menurunkan tatapan adalah d**a bidang bosnya. Manik berwarna hijau itu melebar ketika menangkap sesuatu yang keras yang bersembunyi di balik sweater rajut berwarna hitam, tepat di depannya. Cassie kembali menaikkan tatapan meraih manik cokelat milik Leonard. Tatapan gadis itu seolah ingin bertanya sekali lagi apakah memang harus tangannya yang akan melucuti pakaian sang Presdir? Namun melihat tatapan datar yang sedang tertuju padanya, Cassie pun harus rela menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya. ‘Asshole!’ Cassie mengumpat dalam hatinya. Pasrah. Itulah yang dirasakan Cassie saat ini. Tangannya mulai bergerak meraih jaket kulit potongan panjang yang di kenakan Leonard. Gadis itu berjalan memutari tubuh Leonard untuk menarik jaket panjang itu dari belakang. Hanya lima detik untuk melepaskan overcoat itu dari tubuh sang Presdir. Cassie melipat jas itu lalu menaruhnya di sandaran kursi yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Setelahnya, ia kembali berdiri di belakang tubuh Leonard. "Ehem!" Cassie berdehem untuk mengusir perasaan gugup yang mencuat tiba-tiba. "Saya akan membuka penutup badan bagian atas, bisakah Anda mengangkat tangan?" tanya Cassie. Entah gadis itu sadar atau tidak, barusan suaranya terdengar begitu pelan. Diakhir kalimat yang ia ucapkan bahkan lebih terdengar seperti bisikkan. Cassie harus kembali berdehem untuk melepaskan sesuatu yang tersekat di tenggorokkannya. Leonard tidak menjawab. Pria itu langsung mengangkat tangannya. Cassie berada di depan punggung Leonard. Tangannya mulai meraih sweater yang dikenakan Leonard dan perlahan mulai mengangkatnya. Cassie sempat menelan salivanya ketika melihat betapa kerasnya punggung di depannya. Otot-otot yang tentu saja tidak terbentuk begitu saja. Dalam hati gadis itu mengira-ngira bagaimana seorang Presdir mampu membentuk tubuhnya sebagus itu. 'Dia lebih mirip tentara dari pada seorang pekerja kantor.' Batin Cassie. Lima detik adalah waktu yang di butuhkan Cassie untuk bisa melepaskan sweater rajut itu dari tubuh tuannya. Cassie kembali melipat sweater itu dan meletakan ke sandaran kursi. "Fyuh ...." Gadis itu melepaskan napas panjang. Tubuhnya mulai gerah. Ia sendiri tidak mengerti mengapa dia harus menahan nafasnya dan mengapa juga degup jantungnya mulai meningkat. "Ehem!" Cassie kembali berdehem. Dia sempat menimbang apakah dia harus melucuti pakaian bagian bawah, ataukah .... "Bukankah kau di buru waktu? Mengapa begitu lambat?" Belum sempat Cassie berpikir, Leonard sudah kembali bersuara. "Ba, baik, Pak." Cassie menutup matanya lagi. Gadis itu sungguh tidak sanggup membukanya. Ini benar-benar gila. Namun, apakah ada cara bagi Cassie untuk bisa keluar dari situasi gila ini? Tetap saja dia harus pasrah. Cassie tetap berada di belakang tubuh Leonard. Cassie hanya mengandalkan insting untuk menuntun tangannya.Gadis itu berharap tanganya tidak akan salah memegang. Tapi, semua usaha Cassie akhirnya sia-sia saat Leonard tiba-tiba memutar tubuhnya. Dia berbalik dan menghadapkan tubuhnya pada Cassie. Cassie menahan napas. Astaga ... mengapa tuannya harus melakukan ini? tidak taukah dia sekuat apa dan seberapa susah payah Cassie mencoba menghindari semua ini? Bahkan gadis itu telah memohon-mohon dalam hati agar ia bisa menyelesaikan semua ini dengan cepat namun, Leonard membuat semuanya semakin sulit dengan memutar tubuhnya. 'f**k you, Mr. Presdir.' Lagi-lagi Cassie hanya sanggup mengumpat di dalam hati. Cassie mengangkat wajahnya lagi. Matanya was-was menatap Leonard. "Apa yang kau tunggu?" Leonard kembali bertanya. Kepalanya memberi isyarat ke bawah, pertanda gadis itu harus segera menuntaskan pekerjaannya. Cassie menarik napas dalam-dalam. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Ia berharap tubuhnya bisa menyusut saja -atau menghilang- atau apa pun. Ini benar-benar gila dan tidak masuk akal. Sepertinya ini tidak ada di job describtion-nya. Jika saja ada, sudah pasti Cassie tidak ingin bekerja disini. Walaupun Van Der Lyn Group adalah perusahaan raksasa tapi jika dia harus menerima perlakuan seperti ini ... rasa-rasanya ini tidak manusiawi namun, bagaimana lagi? Gadis itu sudah tanda tangan kontrak. Mau tidak mau, Cassie harus rela melapangkan d**a dan menerima semua perlakuan ini. Jika ia berhenti sekarang, ia tidak akan dapat apa-apa. Cassie menunduk lalu berlutut di depan kaki Leonard. Masih dengan menutup mata. Bunyi ketukan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat menggema hingga memekakkan telinganya. Cassie mulai meraih celana jins yang di kenakan Leonard. Tanpa sadar, keringat dingin kini telah memenuhi dahinya. Untuk pertama kali dalam hidup seorang Cassie Tomlinson dia akan melihat pemandangan ini. Dalam hati dia merutuki nasibnya, tapi di sisi lain dia sebenarnya juga penasaran. Astaga ... Cassie tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Oksigen seolah meninggalkan tubuhnya membuat otaknya beku. Atmosfer di ruangan ini ikut berubah. Mungkin sebentar lagi Cassie akan meledak. "Harus berapa lama aku menunggu?" Lagi-lagi Leonard bersuara. Tidak bisakah dia memahami perasaan Cassie, yang seperti mau mati rasanya? "Oh, iya ... baik, Pak." Cassie mempercepat gerak jarinya.      KREE .... TTTT Kira-kira seperti itu bunyi yang di timbulkan dari suara retsliting Leonard. Dengan satu gerakan tangan, Cassie menarik celana itu. Dia menutup mata ketika kedua tangannya menarik celana jins itu. Hanya dalam sekejap, darah Cassie seakan-akan berubah. Bagaikan bongkahan es yang sanggup membekukan tubuhnya. Gadis itu menelan salivanya susah payah. Ada sesuatu yang tampak begitu jelas walau Cassie berusaha keras memejamkan matanya. Gadis itu menggelengkan kepala. Sekelabat pemikiran nakal muncul entah dari mana dan melintas di pikirannya. Cassie membuka mata ketika celana Leonard kini tepat berada di pergelangan kakinya. "Sepatu Anda, tuan." Cassie melepas sepatu boots yang dikenakan Leonard agar celana jins itu bisa lepas dari kakinya. "Fyuh ...." Gadis itu kembali bernafas panjang. Tanpa sadar dia bahkan menggeleng saat membawa tubuhnya berdiri. Keringat begitu jelas di dahinya. Sementara di hadapannya, Leonard terlihat begitu santai. Setelah menaruh celana jins di sandaran kursi, Cassie beralih meraih kameja berwarna putih dari dalam kotak. Dia menatap Leonard sekali lagi, seolah meminta tuannya untuk merentangkan kedua tangannya. Leonard pun menanggapi tatapan itu. Pria itu merespon tatapan sekertarisnya dengan langsung membuka kedua tangan. Satu per satu kancing kameja itu berhasil di pasangkan Cassie. Namun … ada sesuatu yang sejak tadi menggoda kesadarannya. Seolah memanggil matanya untuk menatap bagian itu. Bersyukur Cassie berada pada kontrol yang baik sehingga dia tidak mengikuti pikiran nakalnya. Cassie menggelengkan kepalanya lagi mengusir segala bentuk pemikiran kotor itu dari dalam kepalanya. Gadis itu berusaha keras membuat pikirannya kembali fokus. Ia mengerutkan dahi. Sudah sejak tadi ia melihat d**a bidang di depannya namun, baru detik ini ia memperhatikan gambaran tangan manusia, tato. Namun, seolah setiap ukirannya memiliki simbol dan arti khusus. Cassie menggelengkan kepalanya dengan cepat. Haruskah ia kembali mengingatkan dirinya untuk tidak mencari tahu tentang apa pun yang berhubungan dengan bosnya? Cassie melirik kecil ke arah Leonard saat semua kancing baju telah terpasang. Cassie beralih meraih celana kain panjang berwarna hitam. Dia membukanya di depan kaki Leonard sambil tubuhnya sedikit membungkuk.  ‘Rasanya seperti menjadi babysiter,’ batin Cassie. Saat satu per satu kaki Leonard mulai masuk kedalam celana kain itu. Cassie menarik celana itu ke atas. Tangannya mulai bergerak fleksibel ketika memasukan kameja putih itu kedalam celana kain. Memasangkan ikat pinggang berbahan kulit dengan tulisan H hingga melilit sempurna di pinggang Leonard. Selesai memasangkan celana, Cassie kembali menghampiri meja kerja bosnya. Ia mengambil dasi dari kotak yang berbeda. Gadis itu kembali menghampiri Leonard. Melilitkan kain sutra kecil itu ke leher bosnya lalu dengan cepat memasangkan dasi itu. Jarak wajah Cassie dengan dagu Leonard benar-benar dekat, hingga Cassie bisa kembali merasakan wangi mint dari napas Leonard yang lagi-lagi membuat jantung Cassie merespon dengan cepat. Astaga! "Ehem!" Entah sudah berapa kali gadis itu berdehem. Mungkin dia akan terus melakukannya lagi sampai tugas ini selesai. Akhirnya, sampailah Cassie pada bagian terakhir, dimana dia harus memakaikan jas berwarna hitam ke tubuh tuannya. Cassie sedikit antusias. Ia berlari mengambil jas dari dalam kotak. Leonard telah siap membuka kedua tangannya. Cassie langsung memasukkan bagian kanan jas kedalam lengan Leonard. Ia berputar lalu secepat kilat ia kembali memasukan bagian kiri jas ke lengan Leonard hingga terpasanglah sudah setelan jas hitam metalik itu ketubuh tegap Leonard. "Selesai ...." Cassie berucap dengan wajah gembira. Ia kembali berdiri di depan Leonard. "Anda siap mengikuti rapat, tuan Van Der Lyn,” ucap Cassie antusias. Leonard mengerutkan dahi. "Kau yakin?" "Hmm ...." Cassie mengulum senyum sambil menganggukkan kepalanya antusias. "Lihat kebawah," ucap Leonard. "Hah?" Cassie mengerutkan dahi. "Astaga ...." Dia memukul jidatnya ketika melihat telapak kaki Leonard yang polos menyentuh lantai batu pasir. Bagaimana bisa dia melupakan sepatu. "Wait a minute Sir," ucap Cassie. Begeras dia berjalan ke samping kiri ruangan. Dia ingat jika dirinya menaruh kotak sepatu Leonard di meja persegi yang letaknya berada di tengah ruangan. Cassie berlari untuk bisa mengambilnya dengan cepat dan kembali kepada tuannya. "Maaf, silahkan duduk, Pak." Cassie mengulurkan tangannya menunjuk kursi di samping Leonard. Leonard duduk di sana sementara Cassie berlutut dengan kaki kanan sebagai tumpuannya. Dia meraih satu per satu kaki tuannya lalu dengan cepat memakaikan sepatu kulit bermerek itu. Sekitar empat menit dan Cassie telah selesai memakaikan sepatu kulit itu. "Selesai, Pak. Kali ini Anda benar-benar telah siap," ucap Cassie. Leonard masih memasang wajah datar. Pria itu menarik diri dari duduknya. Dia menengok kebawah. Leonard kembali mendengkus kemudian melempar pandangan pada Cassie. Tatapan itu masih sama dinginnya seperti tatapan-tatapan sebelumnya. Pria itu menggelenkan kepala kemudian. "Apakah kau sudah mengecek penampilanku?" tanya Leonard. "Eh?" Cassie mengerutkan dahi. Matanya lalu beralih menatap tubuh Leonard. 'Kameja sudah rapi, dasi terpasang bagus, kerah baju sudah rapi. Jas, kenop bagian tangan, sudah, celana, oh ....’ Cassie membatin namun sedetik kemudian dia menepuk dahinya. "Maaf lagi, Pak." Bergegas dia menghampiri Leonard saat melihat retsliting celana Leonard tidak terpasang sempurna. "Mmm ...." Cassie berhenti saat tangannya sudah tepat berada di depan celana bosnya. Dia bingung bagaimana harus melakukannya. Apakah dia harus menarik retsliting itu, ataukah dia harus memegang bagian bawah retsliting? Cassie begitu tertekan dan satu-satunya yang merasa terhibur di sini adalah Leonard. Sejak tadi dia seolah mendapat hiburan ketika melihat raut wajah gadis di depannya yang begitu gugup, terlebih saat gadis itu melucuti pakaiannya. Astaga ... pipi yang merona itu membuat Leonard sempat terkekeh walau ia melakukan itu dalam hatinya. "Kenapa?" tanya Leonard. "Mmm ... begini … Pak, tidak bisakah yang ini kau lakukan sendiri?" Cassie menggeleng lalu menatap Leonard dengan was-was "Maksudku, aku ragu. Bahkan sebenarnya aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya," keluh gadis itu. "Kalau begitu pikirkan caranya. Aku tidak menerima perintah dari bawahanku," hardik Leonard. Wow, sebuah kalimat mutlak lagi. Jelas Cassie harus tahu jika tidak ada bos yang menerima perintah atau permintaan sekalipun. Bos hanya memberi perintah dan bawahan harus menerima dan menjalankan perintah. Raut wajah Cassie berubah menjadi masam. Dia tahu ini akan sia-sia namun, jika memang tidak ada pilihan lain. ‘Oke, akan kulakukan sesuai permintaanmu, bos.’ Cassie membatin. Gadis itu kembali berdehem berharap jika ini untuk yang terakhir kalinya. Menggeleng sebentar lalu menarik kakinya untuk maju. Dia menghampiri Leonard dan dengan cepat tangannya meraih retsliting celana. Cassie mengapit bagian atas retsliting dengan ibu jari dan telunjuknya kemudian tangan kirinya dengan cepat menaikkan benda kecil itu.      KRE .... TTT     "Awh!!"       __________________ To Be Continue 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN