"Tuxedo, sepertinya kurang tepat, Pak. Bagaimana jika setelan jas berwarna putih ini?"
Leonard menggeleng. Ia membawa tangannya memijat dahi. Setengah jam yang lalu Cassie datang membawa beberapa kotak berisi pakaian yang nantinya akan di kenakan Leonard. Namun, dari sekian banyak pakaian yang ia keluarkan dari kotak beremerek itu, tak ada satupun yang menyenangkan hati bosnya.
"Yang ini warnanya merah. Merah melambangkan ketangguhan. Ini cocok dengan Anda, Pak."
Leonard kembali mendengus. "Ambilkan yang warna hitam," titahnya.
"Eh? itu tidak ada dalam pilihan, Pak."
Pria Van Der Lyn itu memutar lutut. Matanya membesar sedang hidungnya kembang kempis. Oke, dia mulai kesal sekarang.
"Kalau begitu kau kesana lagi dan ambilkan setelan jas berwarna hitam," titahnya dengan nada berat.
Cassie membuang napas panjang dengan cepat. Wajahnya berubah murung. Dalam hati, gadis itu ingin sekali memarahi bosnya. Lagi pula mengapa tidak dia katakan sebelumnya jika dia ingin setelan jas berwarna hitam, jika Leonard mengatakannya, Cassie sudah pasti membawa setumpuk pakaian setelan jas hitam.
"Tunggu apa lagi?” tanya Leonard. Nada rendah –berat, namun dengan tatapan sinis. Gadis di depannya langsung menggidikkan bahu.
Astaga! Apa-apaan dengan tatapan itu.
"Oh, iya. Baik, Pak." Cassie buru-buru keluar dari ruang kerja bosnya. Gadis itu merogoh ponsel dari balik saku blazer berwarna baby pink yang dikenakannya. "Halo, Thony, bisa kau kirimkan setelan jas hitam sekarang? Ah ... yah, ini agak mendesak. Tidak ada waktu untuk bolak-balik. Ya ... ya, aku akan membayar biaya antar. Astaga ...." Cassie menggerutu namun dia tetap menjaga suaranya agar jangan sampai terdengar sampai di ruangan bosnya.
"Baik. Oke, sepuluh menit. Oke ... oke, aku akan menunggu di lobby." Cassie menutup teleponnya. Ia menoleh lalu menghembuskan napas berat. Cassie benar-benar tidak menyangka jika Presdir baru di perusahaan ini adalah seseorang yang menakutkan. Cassie bahkan tak mampu menatap mata bosnya lebih dari semenit.
Cassie berlari saat melihat pintu lift terbuka. "Tahan liftnya," seru gadis itu.
"Fyuuuhh ...." Gadis itu membuang napas panjang sambil meremas dadanya. Ia menoleh pada seorang pria berkaca mata yang telah bersedia menahan pintu lift. "Thank you," ucap gadis itu.
Pria berkaca mata di depannya membalas dengan senyum simpul. "Kariyawan baru?" tanya pria itu sambil menatap kedepan.
"Hem," sahut Cassie.
"Semoga kau betah," ucapnya lagi.
Cassie mengerutkan dahi. Ia memutar pandangan, kembali menatap pria yang berdiri di sampingnya.
"Maksudmu?" tanya Cassie.
Lagi-lagi pria itu mengulum senyum. Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Hanya saja ... kau tahu, Presdir sebelumnya. Maksudku, kasus yang menimpanya. Kurasa putranya juga ...."
TING
ucapan pria itu terjeda saat pintu lift terbuka. Ia bergegas keluar.
"Hei ...," seru Cassie. Pria itu kembali berbalik. "Lanjutkan kalimatmu," ucapnya.
"Ahh ... lupakan. Semangat!" ucap pria itu sambil mengangkat tangan kanannya ke udara.
Cassie merengut. "Apa-apaan dia," gumam gadis itu. "Oh sial!" Sadar jika dirinya sedang di buru waktu, gadis itu bergegas keluar bangunan.
****
Cassie terus melirik jam yang melingkari tangan kanannya sambil bibir gadis itu tidak berhenti berdecak. Ini sudah sepuluh menit dan Thony belum juga datang. Gadis bertubuh mungil itu sangat gelisah. Sejak tadi ia mondar-mandir di depan bangunan pencakar langit ini sambil menggigit ibu jarinya.
Sebuah mobil Mercedes Benz e-class berwarna hitam menepi tepat di depan bangunan megah ini. Sontak membuat Cassie berhenti mondar-mandir. Manik matanya mengecil ketika melihat seseorang yang baru saja turun dari mobil mewah itu.
Seorang wanita muda. Tubuh ramping, molek dengan balutan mini dress berwarna merah selutut di tumpuk dengan outwear dari bahan kulit. Berukuran besar –big size, dengan bulu halus di bagian kerah hingga menutupi leher jenjangnya. Sepatu hak tinggi berwarna hitam yang senada dengan tas beremerk yang dikenakannya. Tampilan modis, menarik dan memukau. Lipstick merah membalut bibir yang terlihat sensual itu. Kecantikan yang terlalu memancar walau tertutup kaca mata hitam. Sempurna.
"Wow ...." Cassie bergumam. Ia menggelengkan kepala. Matanya tak mau berkedip sambil bibirnya terus berdecak kagum. Detik seolah melambat ketika manik mata Cassie tak ingin berpaling dari wanita seksi yang baru saja turun dari mobil mewah.
"Selamat datang, Nona ...?" Seorang petugas keamanan yang berjaga di depan gedung menyapa wanita itu.
"McLean," ucap wanita itu. "Dari Golden Agency," lanjutnya.
"Oh, silahkan lewat sini, Nona." Salah satu dari petugas berpakaian serba hitam itu mengantar gadis modis itu. Ia didampingi dua orang pria yang juga dari perusahaan yang sama.
"McLean?" Cassie bergumam sambil mengerutkan dahi. "Astaga ...." Gadis itu menepuk jidatnya ketika mengingat sesuatu. "Dia Victoria McLean, model yang akan menjadi ambasador produk terbaru. Ah ... sial! Dimana Thony."
Cassie memukul pelan bibirnya berulang kali. Kegelisahan yang sempat hilang beberapa menit yang lalu, kini kembali menguasainya. Modelnya sudah tiba, jelas rapatnya akan segera di mulai namun jas yang akan di pakai Leonard belum datang juga.
"Hurry up, Thony …,” gumam Cassie.
"Cassie ...," seru seseorang.
"Oh, thank's God." Cassie mengusap dadanya. "Cepatlah, Thony." Tangan Cassie melambai dengan kuat memanggil pria yang baru turun dari taksi.
Pria itu berlari menghampiri Cassie. "Ini dia," ucapnya. Napasnya tersengal-sengal.
"Hah ... Thony, hampir saja. Ini," ucap Cassie. Dia memberikan kartu kredit milik perusahaan kepada Thony. Thony mengambilnya dan dengan cepat menggesekkan pada mesin EDC.
"Ini," ucap Thony sambil mengembalikan kartu kredit itu.
"Baiklah. Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan," ucap Cassie. Bergegas dia kedalam. Gadis itu bahkan sampai berlari untuk bisa mencapai pintu lift sebelum pintu itu tertutup.
Lift berjalan dengan cepat, membawa gadis itu kembali ke lantai lima puluh tiga. Sepatu haknya seolah menjadi penghalang ketika gadis itu berlari menyusuri koridor sepi ini. Ia terus berjuang, walau tak jarang bibirnya terus berdecak kesal.
“Tuan, sesuatu terjadi.”
Cassie menghentikan langkah saat jaraknya dengan ruangan Leonard hanya tinggal beberapa inci lagi.
"Ada apa?" Itu suara bosnya.
"Presiden menelepon dan meminta Anda segera kembali ke pasukan. Pemimpin Korea Utara berani mendaratkan rudal di perbatasan laut selatan tempat para prajurit berlatih."
Cassie mengerutkan keningnya. Dalam hati dia memikirkan apa sebenarnya maksud perbincangan tuannya beserta pengwal pribadinya.
‘Presiden? Pemimpin Korea Utara? Rudal? Kenapa Pak Direktur harus memikirkan semua itu?’ batin Cassie.
"Hei, kau!"
Cassie melompat di tempatnya ketika mendengar suara itu.
"Cepat kemari!" desak suara itu lagi.
Cassie menutup mata sambil mengulum bibirnya dengan kuat. Astaga, dia benar-benar telah berbuat lancang. Cepat-cepat dia memperbaiki penampilannya. Memasang wajah datar berharap tidak akan terjadi sesuatu lalu segera mendorong pintu ruangan.
Tampaknya keberanian gadis itu hancur ketika melihat tatapan bosnya. Bibir yang terkatup dan tulang rahang yang mengeras. Demi apa pun Leonard benar-benar menatap Cassie dengan tatapan membunuh.
"Ini, pakaian Anda, tuan." Cassie tetap berusaha untuk percaya diri. Sebisa mungkin dia mengatur raut wajahnya agar tidak tampak tegang apalagi takut.
Leonard berdiri dengan kasar. Hembusan napas beratnya menggema di ruangan ini. Ia berjalan dengan langkah pelan namun setiap ketukan yang di timbulkan sepatu boots-nya, menggema menimbulkan getaran menakutkan di telinga Cassie.
Gadis itu tetap mengangkat dagunya tinggi sambil tangannya terangkat untuk memberikan kotak berisi pakaian milik tuannya. Alam bawah sadarnya telah bergidik sedari tadi. Ya Tuhan, iris berwarna cokelat itu seperti menyala.
Leonard kini berdiri tepat di depan Cassie. Matanya menatap tajam gadis itu. Kedua tangannya di selipkan kedalam saku celana jins. Sekali lagi pria itu menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Aroma mint yang tajam itu menyambar wajah Cassie membuat bulu kuduknya berdiri secara naluriah.
"Kau mendengar sesuatu?" tanya Leonard.
Cassie menelan ludah. "Tidak, Pak."
Leonard memicingkan matanya. "Kau tahu, siapa ayahku, bukan?" lagi ucap Leonard.
Cassie menelan salivanya susah payah. Tenggorokannya tersekat. Gadis itu tak sanggup lagi berada di bawah tatapan membunuh dari Leonard, dia perlu memalingkan wajah atau jantungnya akan melompat keluar sebentar lagi.
"Y ... ya, Tuan," ucap gadis itu. Cassie kembali menutup mata. Menggigit bibir dalamnya sambil memilin jarinya.
"Bagus. Jadi, jika kau ingin tetap hidup, berusahalah agar kau jangan mengingat apa pun yang telah kau dengar barusan. Atau ...."
Leonard menjeda kalimatnya. Wajah tegang itu bergerak maju menghampiri Cassie. Gadis itu bisa merasakan tatapan tajam yang seakan-akan menusuk-nusuk kepalanya. Sesuatu bergerak, Cassie bisa merasakannya.
“Apakah sopan jika menundukkan kepala saat bosmu sedang memberi nasehat?” Suara Leonard berubah. Dalam dan berat. Setiap nada itu sanggup membuat Cassie tertekan. Perlahan-lahan gadis itu mengangkat kepala. Ujung atas bibir Leonard terangkat membentuk senyum iblis yang kembali membuat Cassie bergidik. Manik cokelat itu kini berubah gelap, seolah bisa menjelaskan seberapa gelap pribadi yang bersembunyi di balik mata itu.
Tangan Leonard mulai terangkat. Bergerak pelan, hingga ujung jarinya menyentuh helaian rambut sebahu yang jatuh di depan wajah Cassie. Napas beratnya kembali menyapu permukaan wajah Cassie, sontak membuat gadis itu kembali memejamkan mata. Dirasakan Cassie, Leonard tengah membawa rambut itu dengan perlahan lalu menyelipkannya hingga kebelakang telinga gadis mungil itu.
Leonard menunduk, semakin dekat dengan Cassie. Wajah tegang itu kini tepat berada dua inci di samping wajah Cassie. Semilir angin yang menyapu wajah di sampingnya membuat pria itu kembali menatap Cassie. Tepat ketika Leonard memutar wajah dan kini bibirnya tepat berada di depan telinga Cassie.
"Aku … akan memotong telingamu."
______________________
To be Continue.