Sampai di kantor di luar perkiraan semua orang, emosi Damian ternyata sudah sangat stabil. Sama sekali tidak tersisa kemarahannya di sana, dan ia pun dengan mantap melakukan presentasi di hadapan manajemen tanpa kendala. Wanita yang tadi telah menyulut kemarahan pria itu, sudah tidak ada dalam timnya dan langsung dimutasi ke bagian lain.
Selama menjalankan tugasnya lima tahun ini di perusahaan Haliman, Damian juga telah mengembangkan perusahaan konsultan yang secara tidak langsung dapat menjadi pesaing perusahaannya sendiri. Tapi pria itu dengan sangat hati-hati, menyembunyikan identitasnya sebagai pemilik dan meminta Paul untuk selalu mewakili perusahaan bila diperlukan.
Paul Anderson adalah asistennya saat ia masih di luar negeri. Entah mengapa, pria itu memilih untuk mengikuti dirinya kembali ke negaranya dibanding menjabat sebagai CEO untuk menggantikan dirinya di sana.
Damian sangat tahu kalau Paul memiliki orientasi s*ksual yang berbeda dengan dirinya. Dan pria itu telah menekankan sejak awal pada asistennya yang memang tampak tertarik padanya, bahwa ia sama sekali tidak berniat untuk berpindah orientasi meski kejantanannya sebagai seorang pria memang masih dipertanyakan.
Semenjak kejadian dengan Amelia, Damian sama sekali tidak tertarik pada wanita. Ia hanya memandang mereka sebagai masalah. Dan selama itu pula, ia tidak memiliki kebutuhan untuk memuaskan n*fsu lahiriahnya. Entah mengapa, hal itu hilang begitu saja. Padahal ketika remaja, kebutuhan itu sangat kuat dan membuatnya harus mencari cara menyalurkannya.
Awal pertemuannya dengan Paul, pria itu memang sempat merayu Damian saat tahu ia sama sekali tidak tertarik pada wanita. Namun ketika mencoba menc*umnya, ia mendapatkan bogem super mentah di rahangnya yang membuat wajah tampannya harus mendapatkan perawatan yang cukup lama. Sejak itu, Paul kapok mendekati atasannya.
Dan selama mereka bekerja sama, Paul akhirnya mengetahui intensi atasannya untuk kembali ke tanah kelahirannya. Selama ini, pria itu pun membantu atasannya dalam mencari informasi yang dibutuhkannya. Paul merasa sangat berhutang budi pada Damian, karena atasannya-lah maka ia masih bisa bertahan hidup meski telah diusir oleh keluarganya.
Keluarga Anderson adalah keluarga yang cukup terpandang di Inggris. Ayah-ibunya yang masih keturunan bangsawan, membuat mereka sangat menjaga kehormatannya di muka umum. Ketika mengetahui orientasi s*ksual anak tertuanya yang berbeda, mereka memberikan ultimatum pada anaknya.
Jika masih tetap mau menjadi bagian dari keluarga Anderson dan memperoleh hak warisnya, maka ia harus menikahi seorang wanita pilihan keluarganya. Dan Paul, sama sekali tidak mau menerima persyaratan itu. Hal ini membuatnya langsung ditendang dari akta keluarga dan dalam semalam, ia pun hidup luntang-lantung di jalanan.
Karirnya sebagai seorang negosiator ulung di perusahaan PCA hancur. Yang tadinya ia memiliki kekayaan berlimpah, semuanya musnah dalam sekejap. Seluruh rekening dan asetnya diblokir dengan kejam, meski semuanya ia peroleh dengan keringatnya sendiri.
Paul hampir menjadi g*la, ketika ia akhirnya duduk di sebuah bar dan meratapi nasibnya. Uang yang ada di kantongnya saat ini adalah uang terakhirnya. Ia ingin memanfaatkannya dengan pergi ke bar mahal, dan mungkin akan menjual dirinya pada orang yang mau. Pikiran sehatnya sudah hilang karena rasa kecewa dan juga stress dengan perlakuan keluarganya.
Ia kebetulan bertemu dengan Damian di bar itu. Melihat tampang ganteng pria itu yang tampak tidak tertarik dengan ajakan para wanita, membuat Paul menggodanya.
Ketika sadar dari bogem mentah yang diberikan Damian, Paul ternyata telah berada di rumah sakit. Tidak diduga, pria dengan kepalan tangan yang mematikan itu malah menawarkan pekerjaan untuknya.
Dan setelah berkenalan, Damian ternyata telah mengetahui latar belakang Paul dan tahu kalau pria itu memiliki kemampuan yang memadai untuk membantunya menjalankan perusahaan. Dan baru sekitar 6 tahun lalu, ia dilibatkan dalam rencana balas dendamnya.
Untuk membalas kebaikannya, Paul berniat berada di sisi Damian sampai pria itu selesai menuntaskan keseluruhan dendamnya selama ini.
Di sisi lain, tidak ada seorang pun yang tahu niatan yang ada dalam benak Damian.
Tidak ada yang tahu, kalau pria itu selama ini telah mempersiapkan kem*tiannya. Setelah memastikan dendamnya terbalaskan, ia berniat menyusul ibunya. Selama ini, ia bertahan hanya demi menuntaskan hasrat pembalasannya saja. Hati pria itu sudah hancur di dalam.
Damian membangun perusahaan di negara kelahiran ibunya dan juga tanah lahirnya, hanya untuk ia tinggalkan nantinya. Ia tahu sudah ada orang kompeten yang akan mengelola peninggalannya nanti. Semua yang ia bangun selama ini, hanya sekedar menjadi pionnya nanti saat ia berhadapan dengan musuh bebuyutannya.
Dan saat ini, Damian sedang memilih mana pion yang tepat untuk digerakkannya lebih dulu.
Saat sedang berfikir itu, tiba-tiba ia mendengar ketukan di pintu kantornya.
"Masuk."
Ia mendongak setelah baru saja membubuhkan tanda tangan di salah satu dokumen kerjanya, dan sedikit terkejut.
Menyender di kursi kerjanya, ia melemparkan pena yang tadinya sedang dipegangnya ke atas meja dengan asal. Tampak senyum sinis di bibir tipisnya. Tanpa susah payah, pion yang dibutuhkannya ternyata sudah menghampiri dirinya sendiri.
"Wah, wah. Apa yang sudah saya lakukan sampai bisa mendapatkan kunjungan dari seorang Daniel Haliman yang terhormat?"
Terlihat ayahnya yang sudah mulai renta masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintunya.
"Damian."
"Pak Daniel. Silahkan duduk."
Damian sama sekali tidak berdiri dari duduknya. Ia benar-benar sudah menghilangkan rasa hormat pada pria yang telah membesarkannya selama ini.
Perilaku anak lelakinya yang sangat berbeda jauh dibanding dulu, membuat pria tua itu sangat menyesal saat ini. Ia baru merasakan dampaknya bahwa hal yang dilakukannya dulu karena keegoisannya, ternyata telah membuat anak semata wayangnya yang tadinya berwatak lembut seperti ibunya, berubah menjadi dingin dan sadis.
Duduk saling berhadapan, keduanya memandang satu sama lain.
"Jadi, ada apa Anda sampai repot-repot menemui saya?"
Sangat jelas, kalau Damian sama sekali tidak mau berbasa-basi dengan pria tua itu.
"Damian. Sejak kembali ke tanah air, kau sama sekali tidak pernah pulang ke rumah."
Dengan kurang ajar, Damian menumpangkan kakinya asal. Mukanya sangat menyebalkan saat ini. Sama sekali tidak tersisa sifatnya yang santun saat masih anak-anak dan remaja dulu.
"Rumah? Saya tidak punya rumah di sini."
Jawaban anaknya membuat kedua mata Daniel memanas. Ia sudah sangat menyesali perbuatannya dulu dan kini di masa tuanya, ia hanya ingin agar anaknya kembali seperti dulu.
"Damian. Rumah itu adalah rumahmu juga. Ayah harap-"
"Anda bukan ayahku. Ayah saya sudah m*ti, bersama ibuku dulu."
"Damian. Apakah kau tidak mau memaafkan ayahmu ini?"
"Sudah saya bilang. Ayah saya sudah m*ti sejak 30 tahun yang lalu. Kalau Anda masih ingin membicarakan omong kosong ini, maka saya minta Anda-"
"Untuk terakhir kalinya, ayah mohon untuk terakhir kalinya, Damian. Untuk terakhir kalinya, tolonglah datang ke rumah."
Mendengar nada putus asa dari pria tua itu, membuat Damian menjadi cukup penasaran. Ia memutuskan untuk sedikit mengalah.
"Untuk apa?"
"Ada yang ingin kuperkenalkan padamu."
Raut Damian berubah sangat dingin dengan cepat. Ia mulai tidak suka arah pembicaraan ini.
"Jangan fikir, Anda masih punya kuasa atas diri saya, Pak Daniel."
Suara Damian yang berat dan sangat rendah, mengindikasikan ancaman yang sangat jelas. Hal ini membuat Daniel terkejut dan segera meralat kata-katanya.
"Bukan. Ini bukan yang kau pikirkan. Sama sekali tidak seperti itu. Ayah hanya... Ayah hanya ingin memperkenalkanmu pada adik perempuanmu."
Hal yang dikatakan pria tua itu membuat Damian terdiam. Ia sama sekali tidak menyangka ada informasi ini. Sepertinya Paul telah lalai dalam menjalankan tugasnya.
"Adik perempuan?"
"Setidaknya, temuilah dia sekali seumur hidupmu. Malam ini adalah ulang tahunnya. Ayah ingin memberikan kejutan padanya."
"Malam ini ulang tahunnya?"
Sorot pria tua itu melembut. Ia teringat pada sosok anak perempuannya yang cantik di rumah.
"Ya. Tahun ini ia akan berumur 20 tahun. Apakah kau mau datang?"
Bukan undangan itu yang membuat Damian terdiam dan membeku di duduknya. Hal yang membuatnya tidak mampu berbicara adalah informasi angka yang diucapkan oleh pria tua itu. Mau tidak mau, peristiwa traumatis itu kembali berputar-putar lagi di otaknya.
Saat sudah mampu berbicara lagi, suara pria itu terdengar sangat berat dan serak.
"Dia berusia 20 tahun?"
"Benar. Tidak lama setelah kau pergi, Amelia langsung hamil adikmu. Damian, kau mau datang kan malam nanti? Acaranya sekitar jam 7 malam."
Ia masih belum dapat menjawab apapun. Pikiran Damian sangat kacau dan kalut sekarang.
Setelah pertemuannya dengan Daniel, Damian benar-benar merasa sangat gusar. Ingatannya tentang masa lalu seolah menghantam pria itu kembali. Meski cuma beberapa kali, tapi wanita ibl*s itu telah berhasil membuatnya mendapatkan pelepasan. Dan ia sama sekali tidak ingat, apakah benih itu pernah ia keluarkan di dalam tubuh wanita itu.
Kenyataan kalau anak perempuan yang bernama Ariana ternyata memiliki usia yang dekat dengan waktu peristiwa itu, mau tidak mau membuat Damian menjadi tidak tenang. Ia sama sekali tidak mau memiliki anak dari wanita iblis itu. Kegusarannya membuat pria itu menutup wajahnya dan mer*mas kepalanya. Kenapa hal ini selalu terjadi padanya?
Rasa putus-asanya membuat matanya berkaca-kaca. Apakah ia sudah melakukan kejahatan tidak termaafkan di masa lalu, yang membuatnya harus menerima karmanya sekarang? Menekan kedua kepalan tangannya di keningnya, pria itu merasa dirinya sangat kesepian dan sebatang kara saat ini. Tidak ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara.
Namun demikian di usianya yang sangat matang, ia tidak akan begitu saja mudah untuk diperdaya dan terbawa emosi seperti saat muda. Ia akan mencari tahu lebih dulu. Lebih baik, ia mencari faktanya dulu sebelum menyimpulkan. Damian akhirnya memutuskan, kalau ia akan menghadiri undangan Daniel di rumahnya.
Melihat jam di tangan kanannya, ia menyadari masih memiliki waktu cukup lama sebelum harus pergi ke kediaman keluarga Haliman. Ia tidak ada keinginan untuk kembali ke kantor. Teringat Paul, Damian mengambil ponsel untuk menghubungi asistennya.
Bangkit berdiri sambil menunggu bawahannya mengangkat teleponnya, Damian baru akan melangkah ke mobilnya ketika ia menyadari sesuatu.
Ia pernah berada di tempat ini.
Mengerjapkan matanya, ia mengenali bangunan Cafe yang terletak di seberang taman. Ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu saat ia mengintip pasangan kakak-adik yang sedang bertengkar di depannya. Ia juga akhirnya mengingat hal yang dilakukannya saat itu setelah makan di Cafe di seberang jalan ini.
Pandangannya masih mengarah ke Cafe ketika asistennya akhirnya menjawab.
"Paul? Kau ada di kantor sekarang?"
Mata pria itu terlihat sangat dingin saat mendengar jawaban asistennya. Bahunya sedikit naik ketika ia berupaya mengatur nafasnya agar tidak meledak pada bawahannya. Kesalahan yang dilakukan oleh Paul cukup fatal menurutnya.
"Segera datang ke rumahku jam 17.00 nanti."
"Tu- Tuan Bale?"
Suara Paul terdengar sedikit panik. Dari nada suara atasannya, pria itu sadar kalau ia telah melakukan suatu kesalahan berat.
"Jam 17.00. Rumahku."
Pria itu pun langsung menutup teleponnya dan menoleh kembali ke Cafe. Seperti terhipnotis, dengan perlahan ia mulai melangkahkan kakinya menuju bangunan yang ada di seberangnya.