Bab 19 - You make my body feel alive again!

2391 Kata
Masuk ke dalam Cafe, suasananya tampak riuh. Ternyata ada seorang remaja yang sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-17, dan remaja itu mengundang cukup banyak temannya untuk makan-makan di Cafe itu. Deretan kursi yang cukup penuh terisi oleh teman-teman remaja itu, membuat Damian terpaksa duduk di pinggir dan agak di pojok, mendekati pintu dapur di Cafe itu. Ia baru saja akan duduk ketika tiba-tiba pintu dapur terbuka dan seseorang menabraknya dengan cukup kencang. Tapi bukannya rasa sakit yang diterimanya. D*da keras pria itu ternyata bertubrukan dengan sesuatu yang kenyal dan sangat lembut. "Oh! Maaf!" Terdengar suara yang ceria. Suaranya lembut, selembut benda yang menyentuh d*danya. Tertegun, mata pria itu melihat kalau yang menabraknya ternyata sang kakak yang dilihatnya sekitar 4 tahun yang lalu. Wanita itu terlihat lebih dewasa dan cantik dibanding dulu. Di kedua tangannya, tampak banyak pita-pita dan terompet yang ia bawa untuk diberikan pada semua remaja yang ada di sana. Perempuan itu berlalu tanpa memandang wajahnya. Pria itu pun perlahan duduk di tempatnya ketika ia menyadari sesuatu. Melihat ke bawah, ia merasakan benda yang tadinya telah m*ti itu sepertinya memberikan reaksi karena tabrakan tadi. Menatapnya sejenak, ia pun akhirnya menghela nafas berat. Tidak mungkin hal itu terjadi. Aku ini sudah m*ti. M*ti dan tidak berguna. Kau ini sudah bukan seorang lelaki lagi. Percuma saja kau hidup, Damian Bale! Menganggapnya hanya halusinasi di siang bolong, Damian membuka menu dan memesan sesuatu yang baru dari Cafe itu. Sambil menunggu makanannya, pria itu kembali menonton wanita tadi yang sedang berperan sebagai MC di acara ulang tahun ini. Pakaian wanita itu sangat sopan. Ia memakai kemeja lengan pendek, dipadu dengan rok selutut yang lebar. Kedua pakaian itu berhasil menutupi lekuk tubuhnya tapi entah kenapa, mata pria itu tampak terpaku pada area d*da wanita itu. Kemana pun wanita itu melangkah, mata Damian akan langsung mengikutinya dan fokus memandang bagian depannya. Pikiran m*sumnya baru terputus ketika pelayan datang membawakan pesanan makanannya, membuat pria itu mengerjap cepat. Sedikit menyentuh pipinya, Damian tersadar kalau kedua pipinya saat ini terasa panas tanpa sebab. Ia seperti sedang demam. Untungnya suasana cukup remang-remang. Memegang sendoknya, ia menunduk menatap makanannya ketika kedua matanya terlihat melebar. Pria itu melihat tonjolan tidak biasa di area pribadinya. Benda itu ternyata telah bereaksi, dan reaksinya cukup kuat. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan hawa panas dan denyutan tidak normal mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Bulu-bulu halusnya meremang dengan sangat cepat dan tetesan keringat panas turun dari keningnya. Tangannya gemetar saat memanggil pelayan. Ia harus segera keluar dari sini! "Tolong. Bungkus makanan ini." Pelayan yang tadi mengantarkan makanannya sejenak terlihat heran, terutama karena pria di depannya ini mukanya tampak memerah. Ia juga terlihat berkeringat. "Baik Pak. Tapi, Anda tidak apa-apa?" Kepala Damian menggeleng dan ia pun memberikan beberapa lembar uang padanya. "Saya tidak apa-apa. Tolong makanan ini segera dibungkus saja." Melihat pelanggannya yang tampak tergesa-gesa, pelayan itu segera menjalankan tugasnya. Mungkin ada sesuatu yang penting harus dikerjakannya. Ia seperti orang sibuk. "Baik, Pak. Tunggu sebentar." Damian menunggu tidak sabar di kursinya. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Ia baru saja menghela nafasnya dalam ketika melihat wanita itu mengangkat kedua tangannya tinggi, membuat kemejanya tertarik ke atas dan mencetak lekukan di bagian depan tubuhnya dengan cukup jelas. Pria itu menarik nafas tajam dan merasa tercekik. Damian berusaha berdiri dengan gemetar dan melangkah ke pintu depan dengan terburu-buru, saat lengannya ditarik pelan. "Pak, tunggu. Pesanan Anda. Maaf agak lama." Mengangguk kaku, Damian langsung merebut kotak itu dan segera keluar dari Cafe. Sambil sedikit berlari kecil, ia meletakkan kantong plastik itu di depan area pribadinya, mencegah orang lain untuk dapat mengamati sesuatu yang aneh di sana. Masuk ke dalam mobil, ia melemparkan kotak makan itu ke kursi penumpang di sebelahnya dengan asal. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat. Merasa kalau ia tidak bisa menahan lagi, Damian membuka resliting celananya dan mengeluarkan senjatanya. Pria itu mengusap-usapnya dan benaknya tanpa sadar, langsung membayangkan wanita tadi. "Egh..." Kedua matanya menutup erat dan kepalanya menengadah tinggi. Tangannya aktif berusaha memuaskan dirinya sendiri. Dalam pikirannya, ia melucuti pakaian wanita tadi dan memp*rkosanya berkali-kali dengan ganas. Hal ini membuat senjatanya semakin menegang dan tidak lama, ia pun akhirnya mendapatkan pelepasannya yang luar biasa. Aktivitas itu berlangsung selama 30 menit, baru akhirnya pria itu merasa puas. Terengah-engah, Damian memandang kekacauan yang telah dibuatnya sendiri dalam mobilnya. Ia harus membersihkan mobilnya sekarang, kalau tidak mau menjadi bau nantinya. Pakaiannya pun terlihat berantakan dan berbercak cairannya sendiri yang membasahi celananya. Sambil membersihkan mobilnya dengan tisu basah, pria itu menyadari kalau ia akhirnya dapat merasakan menjadi pria jantan kembali setelah lebih dari 20 tahun hanya menjadi 'sayuran'. Membuang tisu yang kotor ke kantong plastik, Damian memandang Cafe di seberangnya. Benaknya bertanya-tanya, apakah ini hanya kebetulan atau ia memang tertarik pada wanita itu? Tidak mau gegabah, ia pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. "Bregas? Aku ingin kau menyelidiki seseorang." Setelah berbicara beberapa menit dengan pria itu, Damian menutup teleponnya. Sepertinya langkah yang lebih tepat untuk menggunakan jasa detektif swasta yang memang profesional, dibanding mengandalkan asistennya dalam mencari informasi. Lebih dari dua kali, ada beberapa detail yang terlewat oleh Paul. Tapi kali ini sudah keterlaluan baginya. Ia berniat untuk menghukum asistennya di rumah nanti. Melirik ke kaca spionnya, Damian sedikit malu melihat penampilannya saat ini. Tampangnya sangat berantakan. Damian pun akhirnya memutuskan untuk pulang dulu ke rumahnya. Masih mengamati wajahnya dalam cermin, ia melihat sorot mata birunya yang cemerlang dan kedua pipinya yang masih merona merah. Keningnya pun tampak berkeringat. Ia terlihat seperti pria yang baru saja mendapatkan kepuasan. Kapan terakhir kalinya ia merasakan hal ini? Ia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Menatap kembali arah Cafe, Damian merasa sangat berterima kasih pada siapa pun wanita itu. Karenanya, ia sepertinya telah kembali normal seperti dulu. Merasa keadaan dirinya yang mulai membaik, pria itu pun akhirnya dengan perlahan mulai mengarahkan mobilnya menuju rumah pribadinya. Perasaannya lebih ringan dibanding datang tadi. Damian telah membeli sebuah rumah di kawasan yang ramah keluarga kecil. Di hatinya yang paling dalam, pria itu menginginkan dapat memiliki keluarga sendiri yang akan ia bawa untuk tinggal di rumahnya. Ia juga tidak tahu, apakah impiannya itu akan pernah dapat tercapai. Mengingat keinginannya untuk m*ti selama ini. Tapi peristiwa hari ini, seperti memberikan sedikit harapan baru baginya. Sampai di kamarnya, ia membuka seluruh bajunya dan melemparnya asal di keranjang cucian. Ia akan mencucinya nanti segera setelah pulang dari rumah Daniel. Saat akan melangkahkan kakinya ke kamar mandi, pria itu penasaran akan sesuatu. Dan dengan tubuh yang masih polos, ia pun membuka laptop yang tadi dibawanya dari kantor ke atas tempat tidur. Menemukan yang dicarinya, ia pun menekan tombol 'play'. Tampak pria itu menonton film biru yang selama ini telah dicobanya untuk menyembuhkan penyakitnya dulu. Setelah beberapa lama, Damian mengernyitkan alisnya. Ia pun mencoba menonton beberapa film lain dan akhirnya menyerah. Benda yang ada di kedua pahanya sama sekali tidak bereaksi. Menarik nafasnya dalam, ia menutup laptop-nya dan masuk ke kamar mandi. Tampaknya kejadian tadi hanya berupa kebetulan belaka. Mungkin ia telah makan atau minum sesuatu, yang membuat h*sratnya naik beberapa jam kemudian. Meski demikian, ia juga tidak memungkiri kalau cara itu pernah dicobanya dulu dan sama sekali tidak ada hasilnya. Kenapa baru sekarang hal itu terjadi? Masih bertanya-tanya, ia berdiri di depan shower yang mengalir dan mencuci rambutnya. Mengusap rambut hitamnya ke belakang, ia membuka matanya dan memandang dinding ubin polos yang ada di depannya. Perlahan, bayangan wanita asing tadi melintas di matanya. Wajahnya yang cantik tampak memerah. Matanya membola dan mulutnya yang mungil terbuka. Tubuhnya yang indah hanya berbalut pakaian dalam. Tampak belahan d*danya yang menantang lelaki itu untuk memberikan c*uman penuh n*fsu di sana. "Egh!" Salah satu telapak tangan pria itu menekan kencang dinding ubin di depannya, dan tangan lainnya berada di senjatanya sendiri. Matanya membelalak ketika menyadari betapa keras dan tegangnya benda yang saat ini berada di tangannya. Hanya dengan membayangkannya saja, senjatanya memberikan reaksi yang sangat kuat untuk wanita itu. Membalik tubuhnya, Damian menyenderkan tubuhnya ke dinding ubin di belakangnya dan mulai mengurut secara konstan benda di tangannya. Kepalanya menengadah tinggi dan kedua alisnya berkerut dalam. Mulutnya terbuka mengeluarkan rintihan. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan m*sum seorang wanita yang sama sekali tidak dikenalnya. "Hhh... Hhh... Ahhh...!" Dan sekali lagi di hari yang sama, ia mendapatkan pelepasan berkali-kali karena wanita itu. Rutinitas yang seharusnya memakan waktu 10 menit, ternyata menjadi 30 menit lebih lama. Benak pria itu dibombardir adegan-adegan ranjang yang dilakukannya bersama seseorang yang bahkan namanya pun, tidak diketahuinya. Tubuh pria itu yang tadinya m*ti, perlahan mulai terasa hidup kembali. Merasa lemas dengan aktivitasnya yang menguras tenaganya, tubuh Damian merosot ke lantai. Badannya tampaknya masih menyesuaikan diri dengan kondisinya yang tiba-tiba berubah seperti ini. Berusaha mengatur nafasnya, kedua mata pria itu perlahan membuka. Jantungnya berdebar keras. Terjadinya keajaiban ini sampai dua kali di hari yang sama, membuat pria itu hanya bisa menyimpulkan satu hal. Ia akan memiliki wanita itu. Ia harus memiliki wanita itu, bagaimana pun caranya. Karena hanya dialah, yang mampu membuatnya merasa hidup kembali. Selama beberapa waktu, lelaki itu hanya dapat terduduk lemas di lantai. Tulang-tulangnya terasa lembek seperti agar-agar. Damian baru saja menyelesaikan mandinya saat mendengar bel pintu berbunyi. Pria itu langsung tahu siapa yang datang ketika membuka pintunya. Paul, asistennya terlihat berdiri dengan kaku di depan pintu. Pria tampan berambut cokelat itu terlihat sedikit gemetar saat memandang wajah dingin atasannya. Ia tahu nasib yang akan menimpanya sebentar lagi ketika atasannya melemparkan sepasang sarung tinju. "Gazebo. Sekarang." Lima menit kemudian, kedua pria itu tampak berdiri di dalam gazebo sebelah kolam renang. Gazebo berlantai kayu itu berlapis matras yang cukup tebal, yang sering digunakan Damian untuk berlatih dan menyalurkan kemarahannya. Paul menelan ludah ketika melihat atasannya membuka jubah mandinya, memperlihatkan tubuhnya yang liat dan hanya berbalut celana pendek ketat. Jalinan otot-otot di area punggungnya terlihat berkontraksi saat pria itu memakai sarung tinjunya. Dan ketika berbalik, raut Paul menjadi lebih pucat. Dulu, ia memang pernah menyukai atasannya namun ketika merasakan wajahnya bonyok, Paul tidak pernah mau lagi untuk mencobanya. Dan ia juga tidak pernah mau mencari masalah dengannya. Baru sekaranglah, sekali lagi ia harus berhadapan dengan atasannya kembali. Dan sepertinya kali ini, Damian benar-benar marah padanya. Pria itu terlihat memukulkan kedua kepalannya yang bersarung dengan sangat kuat. Perlahan, kaki telanjang Damian melompat-lompat kecil dan kedua tangannya mengambil ancang-ancang di depan tubuhnya. Damian mulai memutari bawahannya. Ia terlihat seperti predator yang akan memangsa buruannya. Paul hanya bisa berdiri membeku di tempatnya. Dengan suara sedikit gemetar, ia bertanya. "Apa kesalahanku kali ini?" "Apa yang kau tahu tentang Ariana Haliman?" Seluruh darah menyurut dari wajah Paul mendengar pertanyaan itu. Ia benar-benar lupa menyampaikan pada Damian, kalau Daniel memiliki anak lain yang bernama Ariana. Saat itu, mereka disibukkan dengan urusan lain, membuat informasi itu dianggapnya kurang penting dan pada akhirnya dilupakannya. Mulutnya kelu saat menjawab pelan. "Dia puteri Daniel dan Amelia..." "Sejak kapan kau tahu?" Pertanyaan itu diucapkan dengan dingin. Pria itu masih memutari asistennya pelan. Jakun Paul naik-turun dengan gugup. "Sejak lima tahun lalu." "Pakai sarungmu." Pasrah, Paul menyarungkan kedua tangannya dan mulai bergerak menghadapi Damian. Pria itu sudah tahu akan babak belur di tangan atasannya. Meski bisa karate, tapi ia tetap tidak berdaya ketika melawan pria di depannya. Monster itu menguasai beberapa ilmu bela diri yang telah dipelajarinya sejak kecil. Tapi, Paul juga adalah pribadi yang kompetitif. Ia tahu akan kalah, tapi bukan berarti ia tidak bisa melawan. Setelah kejadian beberapa tahun lalu, ia mengintensifkan kembali latihan bela dirinya. Dan ia cukup yakin dapat memberikan perlawanan yang seimbang saat ini. Mendadak, Damian melayangkan tornado kick yang sama sekali tidak diantisipasi oleh Paul. Tendangan mematikan itu mengarah pada area rusuknya, menimbulkan suara tumbukan yang memilukan. Paul berteriak sangat keras dan langsung jatuh terjungkal ke lantai. Pria itu mendarat dengan suara berdebum yang kencang. "Sh*t! F*ck you, Bale!" Kedua mata Paul yang hijau menyipit dan ia mengeluarkan air mata. Pria itu berusaha untuk berdiri tapi nyeri di daerah yang ditendang tadi, membuatnya hanya bisa tersungkur dan menahan sakit. Tubuhnya membungkuk dan memeluk area perutnya. Nafasnya tersengal. "Kau membuat rusukku mungkin patah! Kau b*ngsat!?" Paul berteriak sangat marah, membuatnya melupakan posisinya di hadapan Damian. Mendengar perkataan Paul, Damian tiba-tiba berteriak keras dan menendang karung samsak yang ada di hadapannya dengan teknik yang sama sekuat tenaganya. Tubuhnya terlihat melayang dengan sangat indah. Sama sekali tidak menampilkan betapa berbahayanya dampak yang bisa dihasilkan dari gerakan itu, sampai benturan itu terjadi. Tidak mampu menerima dorongan yang sangat kuat, karung tinju itu copot dari kaitannya dan terhempas ke seberang gazebo. Suara berdebam kembali terdengar di area itu. Sejenak suasana hening. Melihat itu, Paul terdiam. Ia sadar kalau atasannya tidak main-main. Pria itu yakin atasannya hanya mengerahkan setengah dari tenaganya ketika menendangnya tadi. Karena kalau tidak, nasibnya pasti sama seperti karung samsak yang tergeletak tidak berdaya itu. Tubuh Damian tegak berdiri dan bahunya naik-turun. Ketika menoleh pada asistennya, rautnya sangat dingin. Pandangan matanya tampak penuh hasrat memb*nuh. "Aku harap, kau tidak melakukan kesalahan seperti ini lagi, Paul. Aku dapat mentoleransimu untuk hal lain tapi untuk urusan Haliman, kau tahu apa akibatnya kalau sampai melakukan kesalahan lagi. Mungkin aku akan menjadikanmu seperti karung samsak itu selanjutnya." Atasannya membuka kedua sarung tinjunya dan melemparkannya kasar ke lantai. "Pergilah dan obati lukamu." Setelah mengatakan itu, Damian menuju kolam renang dan ia melompat dengan sangat sempurna ke dalam air. Sampai dasar, pria itu memeluk kedua kakinya dan terduduk di dalamnya. Rambutnya melambai-lambai diterpa air. Pria itu perlahan menutup matanya. Di permukaan, Paul berusaha untuk menahan rasa sakitnya dan mendorong dirinya bangun. Pria itu akhirnya menyadari kesalahannya yang fatal. Informasi ini tentu membuat Damian kaget dan bisa jadi apa yang telah direncanakannya, ada yang berantakan. Meski tidak tahu pasti keseluruhan rencana atasannya, tapi ia menyadari besarnya kebencian pria itu pada keluarga Haliman. Hal ini membuatnya berusaha mencari informasi sedetail mungkin. Kejadian ini membuat Paul merasa bersalah pada atasannya. Tertatih-tatih, ia melangkah menuju pintu keluar dan sedikit menoleh pada Damian yang masih berada di dasar kolam. Sejak dulu, pria itu selalu merendam dirinya di dasar kolam saat ia sedang berada dalam tegangan tinggi. Tidak mau mengganggu pria itu, Paul pun melanjutkan langkahnya. Dalam hati ia berjanji, tidak akan pernah melakukan kesalahan lagi. Selain ingin menunjukkan kalau ia adalah karyawan yang kompeten, ia juga tidak mau sampai harus berakhir menjadi karung samsak untuk atasannya lagi. Tidak lagi. Cukup dua kali saja. Mungkin hanya pria bodoh seperti Tim, yang tampak masih penasaran bagaimana cara mengalahkan Damian Bale, dengan tanpa harus menggunakan pistolnya. Entah sudah berapa kali, pria Sicilia itu babak belur di tangan atasannya. Dan ia tidak kapok-kapok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN