Bab 1 - A man named Damian Bale.
Warning: genre besar cerita ini adalah romantis, tapi dikemas dalam penuturan yang mengandung action, misteri dan juga unsur mafia. Jangan mengharapkan alur yang cepat, karena cerita ini lebih menekankan pada pengembangan karakter, latar belakang dan alasan masing-masing tokoh dalam melakukan sesuatu. Jadi, silahkan dinikmati dengan santai sambil makan pisang goreng ❤️
***
"Jadi, apa jawabanmu?"
Wanita yang ada di hadapannya tampak terdiam dan membeku di duduknya. Raut wajahnya tampak pucat dan matanya nanar ketika memandang dokumen yang ada di depan matanya.
Ketika akhirnya berbicara, suaranya terdengar bergetar.
"Sa- Saya perlu waktu-"
"Kau punya waktu, tapi saya tidak. Tandatangani surat ini sekarang atau lupakan saja. Karena saya tidak akan pernah menawarkannya lagi."
Pria itu bangkit dari kursinya dan merapihkan jasnya. Perlahan, ia menghampiri wanita yang masih duduk itu dan berdiri menjulang di belakangnya. Tanpa melihat pun, wanita itu dapat merasakan aura memb*nuh dari pria yang sedang menatap punggungnya.
Menutup matanya gemetar, kulit wanita itu meremang saat merasakan pria di belakangnya membungkuk dan meletakkan kedua tangannya di sisi kursi wanita itu. Melingkupinya dengan kehangatan dari tubuh besarnya, sekaligus memberikan ancaman yang nyata untuknya.
Ia dapat merasakan wajah pria itu berada di sampingnya, dan deru nafasnya yang panas di pipi kirinya. Bulu-bulu halus di wajah lelaki itu terasa lembut mengelus kulit pipinya sendiri. Aroma nafasnya berbau mint ketika dia berbicara
"Kau hanya perlu melakukan apa yang saya suruh. Dan kalau kau mau mengakui, apa yang kau lakukan nanti tidak akan pernah sepadan dengan yang telah dilakukan oleh adikmu."
Dengan sengaja, pria itu menempelkan bibirnya di telinga wanita itu dan meniupkan aliran udara yang panas ketika ia berbicara kembali.
"Kecuali kau memang mengagungkan harga dirimu dan tidak peduli pada nyawa adikmu. Karena yakinlah, saya tidak akan pernah memb*nuhnya. Tapi saya berjanji, akan membuat adikmu memilih untuk m*ti selama dia berada di penjara. Kau bisa-"
Sebelum lelaki itu menyelesaikan ancamannya, wanita di kungkungannya dengan terburu-buru menandatangani berkas yang terbuka di atas meja. Tangannya tampak gemetar dan kedua matanya berkaca-kaca, meski tidak menangis.
Tersenyum sinis, tubuh pria di belakangnya kembali tegak dan perlahan menjauhi wanita yang masih gemetar itu. Sambil menyender di mejanya, dia meneliti berkas di tangannya dan dengan puas menutupnya dengan suara yang keras.
Matanya yang berwarna biru tua menatap tajam dan dingin pada wanita di depannya.
"Pengacaraku akan menghubungimu kembali. Sekarang pergilah. Keberadaanmu dan adikmu membuatku muak saat ini."
Wanita itu berdiri dengan posisi yang kaku. Wajahnya tampak sangat pucat dan terhina, tapi ia sama sekali tidak mengatakan apapun. Ia berbalik dan baru akan membuka pintu ruangan kerja itu, ketika lelaki di belakangnya kembali bersuara dengan sangat sinis.
"Benar-benar keluarga yang sama sekali tidak tahu terima kasih."
Tangan wanita itu mencengkeram erat gagang pintu. Ia menutup kedua matanya dengan rapat dan menarik nafas panjang. Wanita itu akhirnya berbalik dan memandang pria di seberangnya. Suara yang dikeluarkannya mantap meski hatinya bergejolak saat ini.
"Pak Damian, saya sangat mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Anda."
Pria yang di panggil 'Damian' masih menyender di mejanya dan melipat kedua tangan di d*danya. Pandangannya terlihat melecehkan pada wanita di depannya.
"Setidaknya ada satu diantara kalian, yang tahu bagaimana caranya berterima kasih."
Tatapan pria itu terlihat sadis dan kedua mata birunya bersinar dengan mengerikan. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan sedikit deretan giginya yang putih.
"Saya harap kau benar-benar bisa memanfaatkan kesempatan yang saya berikan. Karena kau tahu dengan pasti, apa akibatnya kalau tidak mau menunjukkan dengan sungguh-sungguh."
Setelah kembali mengucapkan terima kasih dengan kaku dan berpamitan, wanita tersebut kini sedang berada di salah satu ruangan toilet di perkantoran itu. Ia baru saja memuntahkan sarapannya tadi pagi, dan tubuhnya masih gemetar serta berkeringat dingin.
Ia meletakkan kepalanya di kepalan kedua tangannya. Nafasnya masih terasa sesak karena pertemuan tadi. Hal ini membuatnya belum mampu untuk langsung pergi dan akhirnya wajahnya berakhir di atas kloset beberapa menit lalu.
Wanita itu baru saja selesai mengelap mulutnya dengan tisu ketika terdengar beberapa orang yang memasuki toilet yang masih sepi. Posisinya yang di pojok ruangan, membuatnya tidak terlalu disadari kehadirannya oleh orang-orang yang baru masuk.
"Hei, kau lihat muka Pak Damian tadi? Sepertinya mood-nya sedang tidak baik."
Terdengar kekehan wanita lain di ruangan itu. Suara wanita kedua lebih cempreng di telinga.
"Memangnya kapan mood Pak Damian pernah baik? Selama kerja di sini, aku sama sekali tidak pernah melihat dia tersenyum."
Perkataan wanita itu membuat wanita lainnya terkikik.
"Benar juga sih. Oh ya. Omong-omong, kau sudah berapa lama kerja di sini?"
Suara kucuran air menandakan salah satu dari mereka sedang mencuci sesuatu.
"Sudah sekitar 5 tahun. Kenapa memangnya?"
"Wah, kau betah juga ya."
"Tentu saja aku betah. Kerja di sini cukup menyenangkan. Gajinya juga cukup besar. Asal kau kerja benar, seharusnya tidak akan ada masalah."
"Oh ya. Apa kau tahu apakah Pak Damian punya pacar atau sudah beristeri?"
Wanita di dalam bilik belum mendengar apapun. Baru beberapa detik kemudian, terdengar suara si cempreng menjawab.
"Jangan katakan kalau kau kerja di sini karena mau mendekati Pak Damian."
"Yah tidak juga. Aku kerja di sini juga karena tawaran gajinya cukup besar dibanding tempat lamaku dulu. Hanya saja, aku juga ingin bisa menyelam sambil minum air. Bisa mendapatkan pria seperti Pak Damian tidak akan rugi, kan?"
Helaan nafas salah satu wanita itu terdengar cukup keras.
"Tentu saja tidak akan rugi. Tapi aku sarankan agar kau tidak mencoba untuk mendekatinya."
"Memangnya kenapa? Apa menurutmu aku tidak cukup cantik? Atau ada saingan lain? Atau jangan-jangan, justru kau juga suka padanya?"
"Sudah berapa lama kau kerja di sini?"
"Baru sekitar dua minggu ini."
"Sudah berapa kali kau bertemu dengan Pak Damian?"
"Cukup sering, karena kami satu lantai meski berbeda departemen."
"Kalian pernah berbicara?"
Terdengar salah satu dari mereka meletakkan sesuatu di atas meja wastafel dengan cukup keras. Seperti membantingnya.
"Sayangnya tidak. Aku hanya pernah beberapa kali berpapasan dengannya, dan dia sama sekali tidak tersenyum. Memandangku pun bahkan tidak. Cukup menyebalkan sebenarnya. Menyebalkan tapi membuatku penasaran."
Salah satu dari mereka terkekeh pelan. Bukan suara tawa yang menyenangkan, melainkan seperti tawa ironi.
"Tidak aneh. Tapi, apa yang pernah kau dengar tentang orang itu? Pasti teman-temanmu pernah menceritakan sesuatu, kan?"
Kembali terdengar suara bantingan. Kali ini seperti benda kecil semacam lipstik.
"Itulah anehnya. Tidak ada satu pun yang mau menceritakan apapun tentang dia. Semuanya bungkam. Aku juga aneh, karena yang aku tanyakan adalah salah satu karyawan terganteng di perusahaan ini. Entah mereka takut aku jadi saingan atau bagaimana. Yang jelas, mereka sama sekali tidak mau membicarakan orang itu di belakangnya."
Sejenak suasana hening, dan wanita di dalam bilik hanya dapat mendengar helaan nafas panjang. Ketika berbicara, suara salah satu dari wanita itu pelan dan hati-hati. Suara si cempreng terdengar sedikit berbisik.
"Itu karena tidak ada yang mau mencari masalah dengan orang itu. Kecuali kalau kau bertanya pada karyawan yang berbeda lantai. Tapi setahuku mereka yang satu bagian atau satu lantai dengannya, sama sekali tidak mau berurusan dengan orang itu kecuali masalah pekerjaan."
"Kenapa kau mengatakan seolah-olah Pak Damian adalah orang yang jahat?"
"Kau bisa berkata seperti ini karena belum pernah bekerja di bawahnya. Atau paling tidak, pernah satu project dengannya. Kalian belum pernah kerja bareng kan?"
"Belum. Tapi sepertinya akan ada project yang harus kami kerjakan lintas departemen bulan depan. Sebetulnya, apa sih yang mau kau katakan tentang Pak Damian?"
"Dulu aku pernah satu project dengannya. Saat itu, aku juga sangat senang ketika akhirnya bisa bekerja bareng dengannya. Tapi semenjak itu, aku menyesal dan tidak pernah berfikir untuk mengejarnya lagi."
"Memangnya apa yang terjadi?"
Jantung wanita di dalam bilik berdebar dengan sangat kencang menunggu jawaban dari salah satu wanita yang masih berdiri di luar. Terlihat keringat dingin mulai mengucur kembali dari kening dan mengalir menuruni alisnya.
"Dia adalah pria paling kasar dan bermulut paling jahat yang pernah aku jumpai. Dia sama sekali tidak membedakan apakah kau wanita atau pun pria. Saat kau melakukan kesalahan, kau akan berharap tidak pernah hidup. Dia akan mempermalukanmu dan membuatmu merasa menjadi orang paling t*lol di seluruh dunia."
"Sebegitu parahnya? Dia akan mempermalukanmu di muka umum?"
"Yang pernah aku alami, dia tidak melakukannya di depan umum. Dia memanggilku langsung ke ruangannya dan memakiku di sana. Kata-katanya sangat kasar. Kau akan sangat sakit hati terutama kalau dia sampai tahu kalau kau menyukai dirinya."
"Jadi benar, kau memang naksir padanya. Apa yang dia lakukan saat tahu kamu suka dia?"
Kembali, terdengar helaan nafas yang sangat berat dari salah satu dari mereka.
"Ya. Aku akui, aku memang pernah menyukainya. Tapi setelah peristiwa itu, aku tidak mau mengingatnya lagi. Yang jelas, aku telah menghapus nama Damian Bale dari benakku sebagai pria untuk di dekati. Biar pun orang itu sangat ganteng dan juga kaya, tapi aku sama sekali tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Apalagi jadi isterinya."
"Sebentar-sebentar, dia kaya? Bukannya jabatannya hanya seorang asisten GM? Maksudku, memangnya gajinya seberapa banyak? Atau, dia punya usaha lain di luaran?"
"Aku tidak tahu pastinya tapi setahuku Damian Bale, orang yang cukup kaya. Dia mengendarai mobil dengan harga fantastis. Tidak ada yang tahu di mana rumahnya tapi dari pakaiannya, orang bodoh pun akan berkata dia punya banyak uang. Apa kau pernah memperhatikan jam tangannya? Barang-barang yang dipakainya, meski simple tapi semuanya berharga mahal."
Suasana sepi sejenak dan terdengar lagi suara salah satu dari wanita itu.
"Apakah menurutmu dia anak seorang konglomerat atau semacamnya? Atau mungkin punya hubungan dengan pemilik perusahaan ini?"
"Setahuku tidak. Aku dan orang itu masuk ke perusahaan hanya berbeda sekitar 1 tahunan. Dan sewaktu aku masuk, gosip mengenai dirinya sudah banyak beredar dan tidak ada yang menyebutkan kalau dia memiliki hubungan dengan pemilik perusahaan. Yang aku dengar, dia juga melamar dan masuk secara fair. Apalagi dia adalah orang asing."
"Dia beneran orang asing?"
"Yang pernah aku dengar, dia memiliki dua kewarganegaraan. Indonesia dan Inggris. Aku hanya tahu, kalau salah satu orang tuanya adalah orang Indonesia. Tapi seperti yang aku bilang tadi, tidak ada yang tahu pasti mengenai dirinya."
"Hmmm... Btw untuk gosip. Gosip apa memangnya yang pernah kau dengar?"
Sangat terdengar suara dari salah satu wanita itu yang tertarik.
"Cara kerjanya sangat gila. Seorang workaholic sejati. Dia juga mengerikan kalau marah dan ada satu lagi yang sebenarnya sangat menarik tentang orang itu."
"Apa itu?"
"Katanya, dia tidak tertarik pada wanita."
"Apa!? Benarkah?"
"Yang aku dengar begitu. Aku bahkan pernah mendengar desas-desus kalau dia sama sekali tidak suka disentuh dan dapat memukul orang itu. Dan sejak aku masuk dan sampai saat ini, aku memang tidak pernah melihatnya dekat dengan wanita. Entah kalau dia tipe pria yang senang 'main' di luaran. Atau justru, dia sebenarnya sudah beristeri. Tidak ada yang tahu."
Lagi-lagi, suasana hening sebentar.
"Hmmm. Aku semakin tertarik padanya. Dia ganteng. Kaya. Karirnya pun cemerlang, tapi tidak suka wanita? Apa dia penyuka sesama jenis? Sayang sekali kalau memang benar. Kalau soal isteri... itu bisa dipikirkan nanti saja."
Wanita itu terkekeh dengan perkataannya sendiri. Sepertinya menjadi seorang p*lakor tidak ada ruginya, selama mendapatkan pria seperti Damian Bale.
"Sepertinya kau memang tipe wanita yang harus mengalaminya sendiri, sebelum merasa jera. Kalau kau belum puas, coba saja tanyakan pada teman-temanmu. Aku yakin salah satu dari mereka masih mau membuka mulut untuk sedikit bercerita tentang orang itu."
Kembali terdengar suara-suara resliting yang ditutup, menandakan mereka tampaknya sudah selesai dengan urusan masing-masing.
"Tapi menurutmu sendiri, apakah dia benar seorang g*y? Maksudku kau telah mengenalnya selama beberapa tahun, apakah ada perilakunya yang mengindikasikan hal itu?"
"Kau salah, sis. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Kami hanya pernah berada di satu project, titik. Tapi seingatku, orang itu sangat maskulin. Aku tidak pernah melihat kecenderungannya sebagai penyuka sesama jenis, tapi entahlah. Yang aku tahu, belum ada satu pun karyawan wanita yang berhasil mendekati dirinya. Tapi..."
"Tapi?"
"Tiap beberapa hari sekali, ada pria bule ganteng yang selalu mengunjungi dirinya. Namanya kalau tidak salah Paul. Aku juga tidak tahu hubungan mereka berdua tapi dari gosip yang beredar, banyak yang mencurigai kalau mereka adalah pasangan."
"Oh! Benarkah?"
Terdengar nada kecewa dari suara temannya.
"Ya. Kalau soal Paul, aku sangat yakin kalau dia g*y. Meski cukup maskulin, tapi ada sesuatu di orang itu yang menunjukkan orientasi s*ksualnya. Tapi kalau soal Pak Damian, tidak ada yang tahu pasti mengenai orang itu. Jika aku harus mengatakan satu hal positif tentang dia, maka aku akan bilang kalau dia adalah orang yang sangat brilian."
"Begitukah?"
"Apakah kau tahu kalau perusahaan ini hampir bangkrut sekitar enam tahun yang lalu?"
"Ya. Sekilas aku pernah dengar ceritanya. Katanya karena ada kebocoran dana yang sampai sekarang pun belum diketahui pasti penyebabnya. Seingatku, cukup banyak karyawan dan juga petinggi yang terlibat di dalamnya."
"Itu benar. Belum lagi cukup banyak kompetitor di luar sana, membuat perusahaan ini tadinya terancam kolaps karena tidak mampu bersaing. Aku beruntung masuk setelah Pak Damian."
"Oh? Memangnya kenapa?"
"Yang aku tahu, dialah otak dari pengembangan produk di perusahaan ini dan semua ide yang keluar dari mulutnya, terbukti diterima baik oleh kalangan masyarakat luas. Kalau kau pernah dengar, sebenarnya karena Pak Damian-lah perusahaan ini masih bertahan sampai sekarang."
Kedua wanita itu masih meneruskan pembicaraan mereka sambil berjalan keluar dari ruangan toilet, membuat suara mereka sayup-sayup dan perlahan tidak terdengar lagi.
Ketika pintu di bilik paling ujung terbuka, terlihatlah sosok wanita yang tadi mencuri dengar sedang berjalan menuju wastafel dengan langkah gemetar.
Menumpukan kedua tangannya di meja wastafel, wanita itu menengadah dan melihat bayangannya sendiri di cermin.
Bayangan itu menampilkan wajah wanita dengan mata kucing, hidung mancung dan bibir mungil warna merah. Rambutnya hitam, sedikit ikal dengan panjang melewati bahunya. Tampangnya secara keseluruhan terbilang cukup cantik, yang juga ditunjang dengan tubuh yang proposional dan cukup tinggi untuk ukuran wanita.
Tapi ia sekarang terlihat sangat pucat. Bawah matanya tampak menghitam dan bibirnya tidak menampilkan warna yang sehat. Pipinya yang biasanya berwarna merah muda pun terlihat kehilangan darah. Tampangnya sekarang seperti orang sakit.
Mengerjapkan kedua matanya yang basah, matanya nanar memandang bayangannya sendiri di cermin. Hatinya saat ini merasa sangat takut. Takut kalau keputusan yang telah diambilnya tadi adalah keputusan yang tidak hanya salah, tapi juga sangatlah b*doh. Ia sama sekali tidak tahu telah menandatangani perjanjian apa, dan dengan siapa dia berhadapan.
Tidak tahan, salah satu sudut matanya mengeluarkan setetes air yang mengalir di sepanjang pipinya yang tidak berwarna.
Aku sudah menceburkan diriku ke dalam apa?