Bab 4 Bukan Kesalahan Putrinya

1313 Kata
"Mommy.. Abi mau pulang...” Suara lemah putrinya menyadarkan Selena yang masih terpana melihat punggung kokoh yang semakin menjauh. “Iya.. Iya, Sayang. Kita pulang.” Selena segera berdiri. "Rini!" Dia celingukan mencari Rini di antara kerumunan orang-orang yang masih berkumpul menyaksikan insiden barusan. "Iya, Bu!" Rini memanggilnya. Rupanya gadis itu berdiri di belakang Selena. "Ayo pulang, Rin." Selena memberikan tasnya pada gadis itu dan berlalu dari tempat itu sambil menggendong putri kecilnya. “Bagaimana dengan uang ini, Bu?” Rini bertanya sambil memegangi uang yang tadi diberikan oleh pria kaya. “Biarkan saja, Rin.” “Tapi uangnya banyak, Bu.” Oya? Selena mengernyit. Berapa banyak? Dia ingin tahu, tapi mengingat uang itu diberikan oleh pria itu karena istrinya yang telah menyakiti Abigail putrinya, wajah Selena membeku. Dia terus melangkah tanpa berkomentar. “Jadi bagaimana ini, Bu?” Selena berpikir sejenak. “Buat para tunanetra di depan saja, Rin.” Ucap Selena beberapa saat kemudian. Rini menunduk, menatap uang pecahan seratus ribu di tangannya. Dia perkirakan mungkin jumlahnya lebih dari satu juta. Selena menoleh setelah beberapa saat tidak mendengar suara Rini. Dia tertawa tanpa suara melihat ekspresi wajah gadis itu. “Uang itu akan menjadi berkat bagi mereka, Rin.” “Baik, Bu.” Ketika Rini membagikan uang itu kepada tiga orang tunanetra yang berdiri di trotoar depan mall, seseorang memperhatikan mereka dari sebuah kendaraan yang diparkir tak jauh dari situ. *** Di rumah. Selena mengecup pipi dan kening putrinya yang sudah tertidur pulas dengan segenap rasa sayang. Dia tadi sudah mengobati lukanya dengan obat luka, setelah sebelumnya dibersihkan dengan alkohol. Untung lukanya tidak serius. Selena masih merasakan denyut kemarahan ketika kejadian tadi kembali membayang di benaknya. Bagaimana bisa seorang dewasa, sepertinya orang terpandang, tapi bisa memperlakukan putrinya yang masih kecil seperti bar-bar. Laki-laki itu memungut perempuan itu di mana? Di comberan? Selena marah sekali. Dia benci pada siapa pun yang berani menyakiti putrinya. Malaikat kecilnya yang begitu manis, lucu dan dan belum mengerti apa-apa. Kalau melihat penampilan dan gaya mereka berpakaian, mereka pasti orang kaya. Selena tahu gaun perempuan itu mahal, tidak akan cukup dibeli dengan uang ratusan ribu. Tapi bukan berarti perempuan itu lantas bisa seenaknya bertindak kejam seperti itu. Hanya orang tidak waras yang bisa melakukan tindakan menyakiti anak kecil. Toh itu cuma noda es krim, gaunnya bisa dicuci. Mungkin mereka orang kaya baru yang kaget dengan gaun mahal? Selena membersit hidungnya kesal. Sayang sekali tadi dia tidak memukul perempuan itu sampai babak belur. “Kejadian persisnya bagaimana, Rin, sampai perempuan itu tega menyakiti Abi?” Selena bertanya setelah dia dan Rini sudah berada di luar kamar tempat putri tersayangnya tidur. “Perempuan itu sedang berjalan sambil sibuk dengan ponselnya, mungkin sedang melakukan siaran live. Karena dia hanya fokus dengan ponsel. Lalu kakinya mungkin terantuk atau entah karena apa, tahu-tahu perempuan itu berjalan agak sempoyongan dan menyenggol tangan Abi yang memegang es krim. Dia langsung marah-marah menyalahkan Abi hingga terjadi yang tadi itu, Bu.” “Jadi itu bukan kesalahan, Abi?” Selena langsung meradang. “Iya, Bu. Perempuan itu yang tidak memperhatikan langkahnya karena sibuk menatap ponselnya.” “Manusia b******k! Teganya dia menyakiti putriku padahal itu kesalahannya sendiri.” Selena kesal sekali. Rasanya dia ingin mencari perempuan itu untuk membuat perhitungan dengannya. “Iya, Bu. Untung saja lukanya tidak terlalu parah.” Selena sedih sekali mengingat perlakukan buruk yang dialami putrinya. Ya Tuhan! Dia tidak bisa melupakan wajah bengis perempuan itu saat menyakiti putrinya. Tidak ada rasa kasihan sama sekali. Perempuan itu sepertinya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Tidak memiliki empati pada orang lain. Bayangkan, gaunnya hanya kena es krim, dicuci saja bisa langsung hilang. Tapi dia menyakiti anak kecil sebegitunya. Sama sekali tidak tersentuh oleh tangis kesakitan putri kecil Selena. Apa hati perempuan itu terbuat dari batu? Perempuan egois, arogan, kejam dan paling menyebalkan di dunia. Selena ingat pria yang bersamanya. Pria itu kelihatannya terpelajar dan bukan orang sembarangan. Walaupun kaca mata hitam yang dia kenakan membuat wajahnya tidak sepenuhnya terekspos, tapi Selena bisa melihat pria itu sangat tampan. Bagaimana pria setampan dia dan Selena yakin latar belakangnya tidak kaleng-kaleng bisa memiliki istri mengerikan seperti itu? Oke, perempuan itu memang cantik. Sangat cantik malah. Secara fisik memang terlihat sangat serasi bersama pria itu. Tapi karakternya? Hiii! Laki-laki seperti apa yang suka pada perempuan seperti itu? Selena ingat wajah pria itu. Dia rasanya familiar dengan wajah itu. Tapi siapa? Selena tidak bisa mengingatnya, tidak ada gambaran sama sekali. Tapi dia merasa tidak asing. Beberapa hari kemudian, secara tidak terduga, Selena bertemu dengan pria itu. *** "Selena! Kamu disuruh menghadap bos muda. Sekarang!" Suara atasan Selena terdengar nyaring, di ruangan yang begitu hening. Selena terperanjat, dengan cepat menoleh pada pria lumayan tampan yang menjadi atasannya, manajer quality control. "Ada apa, Pak?" Selena bertanya sambil meletakkan dokumen di tangannya ke atas meja. Itu adalah data laporan pengawasan produksi shift malam dari tim quality control yang saat itu sedang dia periksa dengan teliti. "Saya kurang tahu. Tapi sepertinya bos sedang marah-marah." "What?" Seketika wajah Selena memucat. "Apa lagi ini?" Pak Sinyo, manajer Selena itu mengangkat bahu. "Saya juga tidak diberitahu. Pergilah! Cepat temui bos sebelum dia menimbulkan bencana yang lebih besar." Kata atasan Selena mulai tak sabar melihat bawahannya itu hanya berdiri termangu. "Baik, Pak!" Selena segera berdiri dan beranjak keluar dari ruang kerja mereka. Dua orang staf, rekan-rekan kerja yang berada di ruangan itu menoleh pada Selena sejenak dengan sorot mata penuh tanya. Setelah melihat Selena menggeleng, mereka kembali sibuk memelototi komputer masing-masing. Tidak ada yang berkomentar atas apa yang terjadi. Tidak ada yang berani bersuara sejak insiden tadi pagi yang cukup membuat jantung mereka terpukul. Mereka memilih diam dan melanjutkan pekerjaan mereka. Rupanya bos muda yang sebenarnya baru dua hari ini menggantikan bos besar yang sedang berangkat ke Singapura untuk menjalani pengobatan telah berhasil menyebar teror di pabrik. Orang-orang jadi ketakutan dengan kehadirannya. Sejak kemarin kerjanya keliling-keliling dan begitu mendapati para karyawan bekerja sambil ngobrol atau atau terkantuk-kantuk, dia langsung marah-marah. Bos yang satu ini sangat berbeda dari bos besar. Orangnya terkesan sangat tidak sabaran dan menganggap obrolan sambil kerja itu gangguan besar terhadap produktivitas perusahaan. Omelannya panjang dan tidak mau mendengar pembelaan bawahan. Orang-orang jadi tidak tenang. Bos besar yang sangat penyabar selama ini tidak mengurusi hal-hal kecil seperti itu. Toh itu juga tidak mengganggu pekerjaan mereka. Malah sedikit obrolan dan candaan di sela aktivitas kerja bisa membantu mengusir rasa kantuk. Aneh-aneh saja kalau sekarang dilarang. Apa bos muda termasuk kategori orang usil yang sedang kurang kerjaan? Pikiran liar Selena spontan berkelana. Masalahnya, selama beberapa tahun bekerja di pabrik pengalengan ikan ini, Selena belum pernah mengalami hal seperti ini. Selena tersenyum kecut. Dia kembali ingat insiden tadi pagi. Selena dan beberapa temannya saat itu sedang bercanda tawa. Mereka sedang mengerjai seorang temannya yang hari itu berulang tahun. Mereka sengaja datang setengah jam lebih awal dalam rangka membuat seremoni singkat perayaan hari ulang tahun teman mereka itu. Selena bersama kedua temannya sedang tertawa melihat wajah Rita yang telah belepotan butter cream kue tart. Perempuan itu terlihat sangat lucu dan mengundang tawa teman-temannya semakin berkepanjangan. Saat mereka sedang tertawa riuh itulah, tiba-tiba bos muda nyelonong masuk dan membentak mereka. Wajahnya penuh dengan kemarahan. "Diam? Kalian pikir ini pasar malam?" Suara itu terdengar dingin dan mengancam. Seketika tawa mereka lenyap. Ruangan yang tadinya penuh dengan kegembiraan seketika menjadi senyap. Keempat perempuan itu bediri diam, menunduk dengan rasa takut. Tidak ada yang berani menatap mata si bos muda yang pastinya sedang melotot marah. Pria itu berdiri di sana, di ambang pintu dengan tubuh tinggi tegap kaku, sangat mengintimidasi. Ruangan itu demikian hening. Bahkan suara helaan nafas mereka dan suara mesin AC sayup-sayup bisa terdengar. “Apakah memang seperti ini cara kerja kalian selama ini? Sepertinya saya harus memeriksa kembali SOP perusahaan. Mungkin tidak memuat detail setiap operasi, jadi kalian bisa seenaknya saja. Dengan cara kerja seperti ini kalian akan menghancurkan perusahaan.” Keempat perempuan itu terdiam. Tidak ada yang berani bersuara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN