BAB 15 APA SALAHKU?

1790 Kata
Seorang lelaki berjalan dengan cepat di sekitar koridor menuju toilet mencari seorang wanita yang entah mengapa tak kunjung kembali. Akhirnya selesai pelajaran lelaki bernama Daniel itu mencari wanita itu. Saat tiba di toilet, tak ada siapa pun. Toilet terlihat berantakan, lelaki itu mengambil sapu tangan yang tak jauh dari posisinya. Ia mencium aroma obat bius dalam sapu tangan. Lelaki itu menutup kedua matanya, berkonsentrasi menajamkan indara penciumannya mencari siapa saja yang telah masuk ke dalam toilet. “Bau manusia.” Dengan menggunakan kekuatannya Daniel mengikuti arah aroma dari wanita yang ia yakini penyebab hilangnya Alesiya. “Untuk apa wanita ini membawa Alesiya ke hutan?” batin Daniel saat arah pencuiannya mengarah ke hutan yang ada di belakan kampus yang paling dalam. “Bau darah.” Daniel mempercepat langkahnya saat mulai merasa tidak nyaman. Tercium aroma darah dari dalam hutan dan betapa kagetnya saat mendapati manusia yang ia cari kini tak bernyawa lagi. Dengan isi perut yang keluar dari tubuh, kaki kiri terpotong, kedua tangan wanita itu juga terpotong dan darah berhamburan di mana-mana. Daniel mendekati mayat itu. Dengan tangan telunjuknya ia mencicipi darah wanita itu. “Masih baru.” Batinnya. Ia meraih tas wanita itu yang terletak tak jauh dari tubuh itu, ia keluarkan semua isi dalam tas, mencari apapun yang dapat di jadikan petunjuk kemana Alesiya. “Kunci gudang.” Lelaki itu meraih Sebuah kunci yang terjatuh. “Mungkin Alesiya ada di gudang kampus.” Dan dengan cepat lelaki itu meninggalkan hutan menuju gudang yang tak terpakai. **** Gelap. Hal pertama yang ia rasakan saat membuka kedua matanya, bola matanya mengitari tiap jengkal ruangan. Aroma debu tercium jelas, mengelitik kedua hidungnya membuat wanita itu tak henti-hentinya bersin. “Apakah ada orang?” teriak Alesiya pada kegelapan. Wanita itu meraba dinding mencari saklar lampu. Saat jemarinya menemukannya, ia bernapas kecewa. Lampu dalam ruangan itu mati. Wanita itu menyeret kakinya yang terasa berat. Obat bius yang di gunakan wanita tadi masih berefek pada tubuhnya. Dengan susah payah akhirnya wanita itu tiba pada pintu utama. Ia putar knop pintu dan ia kembali menelat kekecewaan. Pintu terkunci dari luar. Wanita itu menyandar pada pintu membiarkan tubuh lemahnya merosot. Menegelamkan kelapanya pada tiap sisi lututnya. “Apa kesalahanku? Apa yang telah kulakukan?” wanita itu bertanya-tanya pada dirinya. Mengapa seseorang membencinya? Apa yang salah pada dirinya? Apakah ia memiliki kesalahan sehingga di benci? “Aku tak bisa menyerah, aku harus bisa keluar dengan kekuatanku sendiri.” Wanita itu berdiri. “Doch de doer iepen.”  Ia ucapkan mantra, namun masih tak berhasil. Ia ulangi lagi hingga ketiga kalinya namun masih belum berhasil. Alesiya kembali terduduk, mengistirahatkan tubuhnya sebelum mencoba lagi. Tiga puluh menit kemudian wanita itu mulai tidak nyaman. Debu-debu dalam gudang tercium hingga msuk keparu-parunya. Ia musai sesak napas. “Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya. Dengan sisa tenaganya, wanita itu mempersiapkan dirinya untuk mendobrak pintu. Ia melangkah menjauh, sambil menutup kedua mata wanita itu dan dengan sekuat tenaga mendobrak pintu. Namun pintu itu masih terlihat kokoh. Ia kembali mundur bersiap mendobrak pintu kedua kalinya, saat tubuhnya menabrak pintu yang kuat itu. Terdengar bunyi retakan. Wanita itu tersenyum. Sebentar lagi ia bisa keluar. Dengan langkah tertatih ia mundur dan dengan sekuat tenaga ia kembali menerjang pintu itu. Pintu itu retak cukup parah, shingga menghasilkan sebuah lobang besar. Peluh membanjiri tubuhnya, tubuh kotor dan memar di mana-mana. Dengan langkah gontai ia keluar melalui lobang yang ia buat susah payah. Saat wanita itu berhasil keluar, pandangannya mengabur dan dadanya tersa sakit. Ia remas dadanya kuat. Ia melangkah tertatih dengan tangan memegang dinding. Beberapa langkah di depannya ia melihat  sepasang sepatu, ia menatap siapa yang ada di hadapannya. Wanita itu tersenyum. “Zak ... ki.” Wanita itu berusaha melangkah mendekati lelaki yang ada di hadapannya. Sisa lima langkah lagi maka ia bisa menggapai lelaki yang selama ini masih ada dalam hatinya. Wanita itu tersenyum, ia tak kuat lagi. Saat wanita itu oleng kebelakan sebuah tangan menggapai tubuh lemah itu, membawanya dalam pelukan hangat. “Zak ... Ki,” Lirih wanita itu sebelum kegelapan menghampirinya. **** Kesokan harinya pagi-pagi sekali Alesyia meminta Daniel untuk mengajarinya membuat kue dan dengan senyuman lelaki itu menyetujui. Kini mereka berdua berada di dapur. Dengan sabar lelaki itu mengajari Alesiya mengenal bahan-bahan yang akan mereka gunakan. Selelsai memahami tiap bahan kue, akhirnya wanita itu bersiap meracik semua bahan-bahan yang tersedia. Pertama-tama wanita itu mengukur berat tepung ingin ia gunakan, tangan lentiknya dengan pelan-pelan ia pecahkan sebuah telur, memasukkan dalam adonan tepung yang telah di beri gula dan mentega. Tiga puluh menit berlalu, bunyi  mesin oven menandakan bahwa kue telah matang dan siapa dinikmati. Wanita itu mengeluarkan kue yang telah ia buat, menaruhnya dalam sebuah wadah dan yang terakhir wanita itu menyiram cokelat cair dan seres di atasnya. Kue buatan pertama Alesiya telah jadi. Dengan cekatan wanita itu membungkus kue itu dengan hati-hati dan tak lupa pula menaruh pita berwarna pink untuk menambah kesan manis pada kue itu. “Kue itu untuk siapa?” tanya Daniel. “Rahasia, kau tak perlu tahu.” Ujar Alesiya yang tersenyum melihat hasil karyanya. **** Selesai jam kuliah pertama wanita itu melangkahkan kakinya menuju kedalam hutan, di mana ia bisa menemukan seseorang yang ingin ia temui. Seperti biasa, seorang lelaki tampan yang bernama Zaki sedang memancing seorang diri di danau. Alesiya mendekat. Menyadari seseorang berjalan mendekatinya, Zaki menoleh dan tersenyum pada wanita yang mendekat. “Ada apa?” tanya Zaki. “Ini aku membuatkan sebuah kue untukmu? Aku harap kamu suka.” Wanita itu menyodorkan kue yang telah ia bungkus rapi dengan wajah memerah. “Wah, terima kasih. Kebeluan aku lapar sekali.” Zaki meraih pemberian Alesiya dan mereka duduk di sebuah kursi perti biasa. Wanita itu memotong kue bolu cokelat buatannya, dan memberikannya pada Zaki. Lelaki itu meraih potongan yang ada di tangan Alesyia dan mencicipi kue buatan wanita itu. “Bagaiman? Enak tidak?” “emmm, enak sekali.” Wanita itu tersipu mendengar jawaban Zaki. “Kamu makan juga.” Zaki mengambil sepotong kue dan menyodorkan di hadapan wanita itu. Dengan malu-malu ia menganga di hadapan Zaki, mengira bahwa lelaki itu ingin menyuainya. Lelaki itu hanya tersenyum dan mengikuti kemauan wanita itu. Selesai menghabiskan kue, wanita itu kembali kekelas meninggalkan Zaki sendiri karena lelaki itu masih ingin memancing. Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, wanita itu tersenyum sambil bernyanyi-nyai riang di sekitar koridor. Langkahnya terhenti saat tiga wanita tiba-tiba menghadang langkahnya. Namun dengan polos Alesiya mengambil jalan arah kiri tapi ketiga gadis itu kembali menghadangnya, masih dengan wajah polos wanita itu mengambil jalan arah kanan dan lagi-lagi ketiga wanita itu menghadangnya. “Kalian mau apa sih?” tanya Alesiya. “Pura-pura tidak tahu lagi, kau pikir kami tidak tahu. Kau kan yang membunuh Jeni?” “Apa maksudmu? Aku tidak tahu siapa Jeni?” “Pembunuh tidak mungkin mau mengaku.” Ujar Desi salah satu ketiga wanita yang menghadang Alesiya. Kedua teman Desi menyeret Alesiya ke toilet saat Desi memberi isyarat pada kedua temannya. Wanita itu memberontak. Namun apa daya. Memar pada tubuhnya masih sakit, jadi wanita itu tidak bisa melawan. Saat tiba di toilet ketiga wanita itu menyiram Alesiya dengan air bekas pel. “Kau dan teman berengsekmu itu, sangat mengotori mata kami. Kalian berdua seharusnya mati saja. Dasar p*****r, kau merebut semua lelaki yang kami inginkan. Karena kau dan Amanda, membuat kami tidak bisa mendekati Zaki dan Daniel.” Ujar Desi panjang lebar. Kedua teman Desi masih memegang tiap-tiap tangan Alesiya, mencegah wanita itu melawan. Tangan kanan Desi terangkat, melayang ke udara dan bermaksud ingin melayangkan sebuah tamparan keras pada wajah yang ada di hadapannya. Namun, saat tangan itu hampir mengenai wajah Alesiya, sebuah tangan mencengkran tangan itu keras. Desi meringis kesakitan, dan betapa kagetnya ia saat melihat siapa yang meremas tangannya. “Apa yang kau lakukan padanya!” bentak Daniel marah, kedua teman Desi kabur meninggalkan Desi yang kesakitan akibat genggaman Daniel yang semakin kuat. “Aku mohon lepaskan aku.” “Kau pikir aku akan melepaskanmu setelah apa yang kau lakukan pada Alesiya!” bentaknya sambil mendorong wanita itu terjatuh kelantai dan menundukkan wajahnya. Daniel tak bisa lagi mengontrol emosinya, matanya kini berubah merah. Ia tak bisa memaafkan seseorang yang melukai Alesiya. Kuku-kukunya mulai memanjang, ia mendekati wanita itu yang masih menunduk sehingga ia tak melihat perubahan yang terjadi pada Daniel. Saat ingin menyerang wanita itu, sebuah tangan kurus melingkar di perutnya dengan erat. “Jangan melukainya, aku mohon.” Lirih wanita itu pada pelukannya. Akhirnya lelaki itu pun luluh, warna mata dan kuku-kukunya kembali seperti semula. Ia lepas pelukan Alesiya membalik tubuhnya menatap wanita itu. “Apa kau tidak apa-apa?” tanyanya dan di balas dengan anggukan kecil. Lelaki itu memeluk tubuh Alesiya yang basah, menuntunya menuju mobil. “Kita pulang saja.” Katanya dan lagi-lagi wanita itu hanya mengangguk. **** Keesokan harinya sebuah kabar mengemparkan sebuah kampus yang jarang di ketahui oleh masyarat dengan penemuan dua mayat yang tak jauh dari kampus. Sebelumnya mayat wanita juga di temukan dalam keadaan mengenaskan dengan bagian-bagian tubuh yang sebagian hilang, bagian yang hilang masih dalam pencarian dan bagian dalam tubuh juga berceceran keluar. Kejadian penemuan itu membuat Universitas Kairin tutup sementara selama satu minggu untuk memudahkan polisi untuk mengecek tempat kejadian tersebut dan menyelidiki penyebab kematian tiga mayat yang meninggal dengan hari yang hampir bersamaan hanya berselang dua hari. Alesiya dan temannya Daniel, Amanda dan Zaki mengambil kesampatan  itu untuk berlibur di Bali. Mereka berempat menikmati liburan mereka tanpa beban. Menikmatinya dengan gembira seakan tak ada beban dalam pikiran mereka. Kini mereka berempat berada di pantai menikmati indahnya pemandangan dan menunggu sanset yang tak lama lagi terjadi. Mereka duduk berjejer di pasir putih, bercengkrama satu sama lain. Saat sanset muncul dengan indahnya langit yang berwarna merah kekuningan mereka tak ingin melewatkannya. Membingkai langit indah di sorehari dalam ponsel genggaman mereka. “Bagaimana kalau kita foto bersama?” ujar Alesiya dan ketiga memannya menyetujui. Mereka berempat bersiap-siap mengambil gambar dengan wajah ceria dan lengkungan senyuman tak lepas dari wajah mereka. “1 ... 2 ... Smile ..” mereka menghitung bersama dengan posisi berpelukan bersama dan wajah tersenyum. Tanpa mereka sadari sedari tadi seorang lelaki bermata biru mengawasi mereka berempat. “Nikmatilah selagi bisa.” Lelaki itu pun menghilang. Meniggalkan empat makhluk yang menikmati indahnya hidup. Canda dan tawa mereka hanyalah sebuah awal dari sebuah badai yang akan datang di suatu hari. Kebahagian yang mereka rasakan sekarang apakah dapat mereka pertahankan? Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Ataukah akan berakhir dengan kesedihan dan kekecewaan? Semuanya tergantung pada takdir namun takdir dapat diubah dengan usaha dan kerja keras. Maka mampukah mereka mengubah takdir? Mengubah kesedihan dan kekecewaan menjadi canda, tawa dan senyuman bahagia? Ini hanyalah sebuah awalan dari kisah seorang wanita bernama Alesiya dan sahabatnya. ***** “Dasar pembunuh. Kau telah membunuh kedua sahabatku.” TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN