BAB 16 FITNAH

1805 Kata
Saat Universitas Kairin kembali di buka, kabar tentang penemuan tiga mawat wanita di hutan dekat kampus menjadi perbincangan hangat pada hari pertama masuk. Baik wanita mau pun lelaki mengampil tempat dan kelompok tersendiri untuk bergosip. Tak terkecuali saat berada di kantin, perbincangan hangat kian memanas. Hingga sebuah kalimat yang keluar dari seorang lelaki yang bergosip membuat seorang lelaki yang sedang makan di kantin bersama dengan pacaranya mengepalkan telapak tangannya. lelaki itu memukul meja, suara keras dari tangan lelaki itu membuat semua mata tertuju padanya. Akan tetepi  ia tak perduli, rahangnya menegang dan ia mengertakkan gigi, ia melangkah dengan mata terbakar emosi melangkah dengan cepat. Seketika itu juga ia menarik kerah baju dari seorang lelaki yang sedang bergosip dengan teman-temannya. “Apa yang kau katakan barusan?” kilatan marah terlihat jelas di mata lelaki itu. Lelaki yang bergosip tadi dengan tangan gemetar mencoba melepas tangan lelaki yang bernama Zaki itu dengan pelan. Namun Zaki semakin mengeratkan cengkramannya. “Coba katakan sekali lagi!” bentaknya terlihat jelas urat nadi di leher lelaki itu. “Maafkan aku, aku hanya mendengar dari temanku bahwa yang membunuh ketiga wanita yang ada di hutan adalah Alesiya.” Zaki mengangkat tangannya ingin melayangkan pukulan keras pada lelaki di depannya. Namun tiba-tiba saja sebuah teriakan membuat ia berhenti. Pacarnya, Amanda. Berteriak meminta lelaki untuk berhenti. “Kumohon hentikan, jangan berkelahi lagi.” Lirihnya. Dengan wajah kesal Zaki melepas cengkramannya dan mendorong lelaki itu hingga terjatuh menabrak kursi dan meja membuat makanan yang ada di atas meja berhamburan di lantai. Amanda memegang tangan Zaki menuntunnya untuk keluar dari kantin. Ia juga sakit hati, melihat sahabat baiknya difitna. Alesiya tidak mungkin melakukan hal keji seperti yang dibicarakan oleh orang-orang. Seseorang pasti ingin menjatuhkan Alesiya. Saat mereka berjalan menyusuri lorong, kabar tentang Alesiya telah menyebar di penjuru kampus. Mereka berdua hanya dapat diam dan mengepalkan tangan. Mereka tidak mungkin memukuli tiap-tiap mahasiswa yang bercerita jelek tentang sahabatnya. “Untung saja Alesiya hari ini tidak masuk,” batin Amanda. Seperti biasa Alesiya membolos di mata kuliah yang ia benci, sedangkan Daniel menemani wanita itu di apertemen. Sehingga mereka berdua tak mengetahui apa yang telah terjadi di kampus. **** Keesokan harinya Alesiya dan Daniel bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Saat berada di lantai satu, Amanda telah menunggu mereka berdua lengkap dengan pakaian kaos biasa dan celana panjang. Alesiya menghampiri Alesiya dan Daniel. “Hari ini kalian bolos aja yah? Aku ingin mengajak kalian berdua jalan-jalan.” Amanda dengan wajah biasa-biasa berusaha untuk mencegah wanita itu berangkat ke kampus. Berusaha senormal mungkin supaya wanita di hadapannya tidak mencurigainya. Akan tetapi dengan wajah polos Alesiya ia menolak, mengatakan bahawa hari ini ada mata kuliah kesukaannya jadi ia harus kekampus. Amanda mengela napas kecewa, rencana yang ia pikirkan tadi malam gagal total. “Semoga saja Alesiya baik-baik saja di kampus.” **** Alesiya dan Daniel tiba di kampus, semua mata tertuju padanya, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka berdua berjalan di koridor kampus dengan  bergandengan tangan, wanita itu menunduk saat mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan sekitar. Semua mata melihatnya sambil berbisik-bisik. Apa yang terjadi?. Belum sampai mereka di depan kelas sebuah tangan menarik tangan Alesiya membuat tautan tangan wanita itu dengan Daniel terlepas begitu saja. Pemilik tangan yang menarik wanita itu, menuntunnya untuk berlari menjauhi kampus. Sedangkan Daniel hanya terdiam membiarkan lelaki itu membawa Alesiya. Lagian dia siapa? Orang yang di sukai wanita itu bukalah dia. Melainkan orang lain yang menariknya. Daniel hanya tersenyum kecut dan melangkah memasuki kelas. Alesiya menatap punggung lelaki yang menarik tangannya dengan tatapan sendu. Lelaki itu memengannya dengan lembut dan hangat. Lelaki itu Zaki membawa Alesiya kedanau tempat biasa mereka bertemu. Kini mereka duduk di sebuah kursi dengan hening. Wanita itu berdehem untuk memecah keheningan, namun lelaki di sampingnya masih tetap bungkam. “Mengapa kau membawaku kemari?” tanya Alesiya. Menatap lelaki itu dalam menuntut penjelasan. Zaki menghembuskan napas dengan kasar. Ia berbalik, membiarakan tangannya memegang kedua pundak Alesiya dan menatap matanya dalam. “Kau ... bukan pelakunyakan?” dengan wajah serius Zaki bertanya. “Apa maksudmu?” “Samua orang bilang bahwa kau yang telah membunuh ketiga wanita yang ada di hutan. Itu tidak benarkan?” perkataan Zaki membuat wanita itu kaget. Mengapa ia di tuduh sebagai pembunuh? “Tidak ... aku tidak melakukannya.” Lirih Alesiya dengan wajah muram. Zaki dengan lembut memeluk wanita itu, menepuk punggung wanita itu untuk menenangkan. Tanpa mereka bedua sadari seorang wanita melihat mereka berdua dengan tatapan cemburu, air mata mengenang di pelupuk matanya dan meninggalkan hutan. Saat Alesiya kembali tenang ia bersikeras untuk kembali kekampus. Ingin membersihkan namanya. Bukan dia pelakunya. Awalnya Zaki mencegahnya untuk kembali tetapi wanita itu tak ingin mendengar dan tetap melangkah kembali ke kampus. Saat Alesiya tiba di kelas semua mata tertuju padanya. Seorang wanita berdiri dihadapannya yang bernama Desi. Dengan raut wajah geram wanita itu melayangkan sebuah tamparan keras di wajah Alesiya. Mengundang banyak mata dari kelas lain untuk menonton pertunujkan. “Dasar pembunuh. Kau telah membunuh kedua sahabatku.” “Kembalikan kedua sahabatku.” Lagi-lagi wanita itu melayangkan tamparan keras di sisi kanan wajah Alesiya. “Aku bukan pembunuh. Aku tak melakukan itu.” Alesiya berusaha menjelasakan namun wanita di hadapannya seakan tuli dan lagi-lagi melayangkan pukulan membuat Alesiya terjatuh terduduk. Beberapa langkah di belakannya Zaki melihat Alesiya di siksa dan ditindas. Ia mengepalkan kedua tangannya. Namun saat ia melangkah ingin menolong Alesiya sebuah tangan menariknya menjauh. “Alahhh, seorang pembunuh mana mungkin mau mengaku.” Salah satu mahasiswa berujar dan semua yang mononton ikut membetukan perkataan Desi. Semua orang menyudutkan Alesiya. “Sumpah, bukan aku pelakunya. Aku tidak mungkin membunuh mereka berdua.” Kata Alesiya menyangkal. “Aku bukan pem-“ perkataan wanita itu terhenti saat sebuah telur melayang kearahnya sehingga mengundang gelak tawa pada mahasiswa yang lain. Air mata mulai mengenang di wajahnya. “Alahhh, pake acara nagis segala. Kau pikir dengan mengeluarkan air mata munafikmu dapat mengembalikan ketiga sahabatku?” ujar Desi dan melayangkan telur di arah Alesiya. Tak ingin tinggal diam, mahasiswa yang lain ikut melemparkan telur-telur kearah Alesiya yang telah mereka siapkan sejak pagi tadi. Wanita itu menundukkan wajahnya yang memar, menerima tiap-tiap  hujatan dan lemparan telur yang ia terima dengan air mata. Mengapa tak ada yang mempercayaiku? Apa salahku pada kalian? Mengapa memperlakukanku seperti ini? Mengapa? Berbagai macam pertanyaan yang tak bisa wanita itu lontarkan. Ia hanya pasrah, berharap seseorang datang menolongnya. Dan saat itu juga seorang lelaki memeluknya erat. Menjadikan tubuhnya sebagai tameng dari telur-telur yang melayang ke arah Alesiya. Alesiya menagis dalam pelukan lelaki itu. Menumpahkan segala kekesalannya. “Mengapa tak ada yang mempercayai ku?” lirih wanita itu dengan linangan air mata di wajahnya. “Aku mempercayaimu.” “Terima kasih, Daniel.” Bisik wanita itu dalam pelukan Daniel sebelum kegelapan menghapiri. Dengan pakaian yang kotor. Lelaki itu mengangkat tubuh Alesiya yang tak sadarkan diri ala bridal style. Membawanya kemobil dan meninggalkan kampus yang tak berprikemanusian itu. **** Amanda menarik tangan Zaki menjah dari kerumunan menuju koridor yang sepi. Saat tak melihat siapapun lagi wanita itu melepas genggamannya. Menatap lelaki itu dalam. “Kenapa kau menarikku? Kau tidak tahu sahabat baikmu ditindas?” “Aku tahu kau mencemaskannya, sama halnya denganku.” “Lalu mengapa kau tak membantunya? Mengapa kau menarikku?” ujar Zaki kesal. “Aku tak suka kau terlalu dekat dengannya. Tingkah mu membuatku semakin cemas. Seakan kau menyukai Alesiya.” “Apa yang kau katakan. Alesiya juga adalah sahabatku. Jadi, bukankah sebagai sahabat kita seharusnya membantunya? Apa kau ingin menutup mata? Melihat sahabatmu menderita? Tanpa ada yang membantu?” Zaki mulai meninggikan suaranya. “Kau tak menyukainya kan?” tanya Amanda. “Iya, dan aku hanya menyukaimu. Jadi, jangan cemburu lagi yah?” Zaki memeluk tubuh wanita itu dengan lembut. Menyakinkan bahwa hanya wanita itulah satu-satunya orang yang ia cintai. **** “Pembunuh.” “Tidak ... tidak ... aku bukan pembunuh.” “Dasar pembunuh.” “Tidak ... tidak ... aku bukan pembunuh.” “Mana ada seorang pembunuh mengaku.” “Tidakkkk.” Wanita itu tersentak dari tidurnya. Tetes-tetes air mengalir dari dahi ke pelupuk mata. Seluruh tubuhnya gemetar. Napasnya yang naik turun berpacu dengan suara jam dinding saat jarum merah berpindah detik demi detik. Meremas dadanya sakit saat kejadian di kampus masih terbayang di memorinya. “Bunuh mereka semua.” “Siapa di sana?” Alesiya berteriak, mencari asal suara yang tiba-tiba muncul. “Bunuh mereka semua.”lagi. suara itu kembali terdengar. Alesiya mencari–cari siapa pun yang ada di ruangannya. Namun hanya dia seorang diri. “Bunuh mereka semua.” Lagi-lagi suara itu terdengar. Alesiya mulai takut. Ia peluk kedua lututnya menegelamkan kepalanya di tiap sisi lutut. “Bunuh mereka semua.” Suara itu masih menghantuinya. “Diam!” Alesiya berteriak. Kedua tangannya menutup kedua telinganya berusaha menghilangkan suara-suara yang tak berhenti. “Mereka hanyalah manusia munafik.” Alesiya seakan mulai gila. Suara-suara itu tidak bisa hilang. Dengan langkah gontai ia melangkah masuk kedalam toilet. Memutar keran air memjadikan suara air pereda suara-suara yang selalu ia dengar. “Kau bisa membunuhnya. Kau bukan manusia dan mereka tak akan menerimamu.” “Diam! aku mohon ...” Lirih Alesiya di bawah guyuran air keran membasahi tubuhnya. Ia peluk lututnya. Kini wajahnya di banjiri oleh air mata yang menyatu dengan guyuran air keran. Sepuluh menit telah berlalu namun wanita itu masih berada di tempatnya. Memeluk lutut di bawah guyuran air keran. Bibirnya pucat dan tubuhnya menggil. “Diam.” Hanya kata itulah yang selalu terucap di bibir pucatnya dengan lirih. Saat Daniel memasuki kamar Alesiya, kedua alisnya mengerut. Kemana wanita itu? Namun senyumnya terukir mendengar suara air dari toilet. “Mungkin ia mandi.” Batin lelaki itu. Namun dua puluh menit berlalu namun wanita itu tak kunjung keluar. Lelaki itu mulai cemas. Ia dobrak pintu toilet dan betapa kagetnya saat melihat Alesiya kini tak sadarkan diri di bawah guyuran air keran. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin. Seketika itu juga lelaki itu mengangkat wanita itu. Ia memanggil seorang pelayan wanita untuk menganti pakaian Alesiya yang basah kuyup. Setelah pakaiannya telah di ganti dengan piyama tidur. Lelaki itu menidurkan wanita itu dengan lembut. Menyelimutinya sebatas d**a. “Werom nei gewoan.” Daniel mengeluarkan mantra untuk menyembuhkan wanita di hadapanya. Naman mantra yang ia ucapkat tidak membuahkan hasil. “Mengapa tak bisa?” batinnya. “Werom nei gewoan.” Ia ulangi lagi namun masih tak berfungsi. Ia gunakan mantra yang lain namun dengan hasil yang sama. cara satu-satunya adalah meminumkannya darah manusia. Dengan menggunakan metode seperti biasa Daniel mengalirkan darah manusia ketenggorokan wanita itu melalui ciuman. Ia tersenyum saat menyadari wanita itu kembali seperti semula, bibirnya mulai cerah tak pucat lagi. Lelaki itu melangkah keluar dari ruangan Alesiya. Bahan makan telah habis, jadi ia harus membeli bahan makanan di mall. Saat pintu berbahan mahoni itu tertutup sempurna. Meninggalkan Alesiya yang tertidur seorang diri dan tanpa lelaki itu sadari beberapa helai rambut panjang Alesiya berubah warna putih. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN