BAB 11 MAAFKAN AKU, ALESIYA

2471 Kata
Benda bersegi empat yang di tumpangi Alesiya dan Daniel melaju kencang menuju hutan berantara. Saat menyadari mobil yang ada di belakan mereka telah mengilang Danile menyuruh supir untuk berhenti dan memintanya untuk keluar dari mobil. Dalam mobil lelaki itu membaringkan tubuh lemas Alesiya di pangkuannya dan mengambil tas Alesiya mengeluarkan botol-botol yang berisi darah segar. Lelaki itu membantu wanita lemah di hadapannya untuk meminum darah namun darah segar itu mengalir jatuh ke lantai. Wanita itu memberontak dan mengerang kesakitan sambil memegang dadanya yang sangat sakit. “Sak ... kit,” lirih Alesiya. “Sebenarnya apa yang terjadi,” batin Daniel cemas. Akhirnya Daniel mengambil satu botol lagi, meminumnya lalu membiarkan darah segar itu mengalir di tenggorokan Alesiya dengan sebuah ciuman dan kedua tangannya memegang kedua tangan Alesiya yang memberontak kesakitan. Saat cairan merah itu mengalir di tenggorokan Alesiya, wanita itu pun mulai tenang hingga kegelapan menyelimutinya. Mereka berdua kembali ke apartement. Saat benda bersegi empat itu memasuki halaman apartement terlihat Amanda duduk sendiri di sebuah kursi yang mengelilingi bunga mawar yang berwarna merah. Menyadari sebuah mobil memasuki halaman wanita itu berbalik dan betapa terkejutnya melihat teman baiknya Alesiya tidak sadarkan diri di gendongan Daniel. Amanda berlari kecil menghampiri mereka. “Apa yang terjadi?” “Tidak apa-apa dia hanya pingsan, penyakitnya kambuh,” ujar Daniel berbohong. Saat ingin menaiki tangga marmer dingin apartemen, dengan cepat Amanda mengarah langkah Daniel. “Sebaiknya kita naik lift.” Awalnya Daniel enggan untuk mengikuti perkataan Amanda karena sampai saat ini ia belum tahu cara menggunakan lift. Tapi akhirnya ia setuju dan mengikuti Amanda. Setibanya di kamar Alesiya Daniel membaringkan tubuh tak sadarkan diri itu di ranjang sang pemilik kamar. Dengan cekatan ia menyelimuti tubuh lemah itu dengan lembut. “ Bagaimana  denganmu? Apa kau sudah baikan?” tanya Daniel pada Amanda. “Iya, aku sudah merasa baik. Terima kasih atas bantuannya tadi malam.” “Tidak masalah, aku senang membantumu." Sebuah lenguhan kecil mengehntikan percakan ringan mereka berdua dan beralih menatap Alesiya. Wanita itu megerjapkan kedua matanya untuk membiasakan kedua matanya saat silau matahari masuk ke retinanya. “Apa kau baik-baik saja? Bagaimana perasaan mu sekarang? Apakah ada yang sakit?” berbagai macam pertanyaan Amanda membuat Alesiya tersenyum. “Aku baik-baik saja, maaf merepotkanmu.” Tiba-tiba ponsel milik wanita yang bernama Amanda itu berbunyi, sebelum mengangkat terlebih dahulu ia memberi isyarat pada Alesiya untuk keluar mengangkat telpon dan di balas dengan agukan kecil dari wanita itu. Di luar kamar Amanda melihat nama Zaki tertera di layar ponselnya. “Astaga aku lupa menghubunginya dari kemarin.” Batinnya. “Hallo?” “Iya, maaf aku lupa menghubungimu kemarin.” “Kita ketemu di tempat biasa.” “Ok.” Selesai berbicara dengan Zaki dengan halaan napas pelan ia mendorong pintu kamar Amanda. Menghampirinya dan memberitahukan bahwa ia akan keluar sebentar. “Hati-hati di jalan.” Teriak wanita itu pelan saat Amanda keluar dari kamar. Di sebuah kafe yang tak jauh dari apartement terlihat seorang lelaki tampan duduk seorang diri sambil menikmati angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya dan mengesap secangkir kopi hitam yang ada di hadapannya. Sesekali ia mengecek jam yang ada di tangan kirinya. “Dia lama sekali,” batinnya. Kini cangkir yang ada di hadapannya kosong, ia melambaikan tangan untuk memanggil pelayan untuk memesan secangkir kopi hitam lagi. Saat sang pelayan membawakan secangkir kopi hitam yang baru, saat itu juga seorang wanita cantik terlihat berlari dan menghampirinya dengan terengah-engah. “Maaf aku telat.” Tangan lentiknya mengambil cangkir copi hitam lelaki yang bernama Zaki itu dan meminumnya namun tak lama kemudia wanita itu mengeluarkannya dengan tergesa-gesa hingga mengotori lantai dan decakan kesal dari mulut Zaki. “Panas.” Lirih wanita itu menutupi mulutnya. “Makanya jangan langsung meminum minuman orang.” “Maaf aku haus sekali.” “Apa yang ingin kau bicarakan?” lanjut Amanda dan mendudukan dirinya di hadapan lelaki tersebut. “Kenapa dari kemarin aku tidak bisa menghubungimu? Lalu tadi kau dengan siapa tadi? Kenapa kau satu mobil dengan seorang lelaki? Dan kenapa kau mengabaikan aku tadi?” pertanyaan bertubi-tubi Zaki membuat wanita di hadapannya tertawa kecil. “Mungkin yang di maksud Alesiya dan Daniel,” batinnya dan tersenyum. “Maaf, kemarin ponselku hilang dan tadi malam aku lupa menghubungimu.” Ujar Amanda sambil mengetupkan kedua tangan di hadapan Zaki bahwa ia sangat menyesal. “Dan untuk pertanyaan  yang lain masih rahasia, akan aku ceritakan besok, kita ketemu di di kafe dekat mall ada seseorang yang ingin aku kenalkan dan aku yakin kamu pasti sangat terkejut.” “Ada apa sih? Pake rahasian segala.” Ujar kesal Zaki namun wanita itu hanya menanggapi dengan senyuman. Keesokan harinya, sesuai janji Amanda mengajak Alesiya dan Daniel ke mall untuk membeli ponsel baru. Saat di mall mulut Alesiya tak pernah berhenti untuk ngoceh saat melihat hal yang baru, selalu membandingkan tempat lamanya dengan yang baru. Kini mereka berada di lantai tiga di mana tempat para kios-kios penjual alat elektronik seperti ponsel, leptop dan masih banyak barang lainnya. Mereka menghampiri kios penjual ponsel, pemilik kios ponsel hanya tersenyum menatap ke akraban dua wanita yang terlihat kembar. “Wah, kalian berdua pasti saudara kembar yah?” tanya pemilik kios. “Bukan, kami hanya berteman dan kebetulan memiliki wajah yang sama persis,” ujar Amanda. “Ahhh, maaf aku kira kalian saudara kembar.” “Tidak apa-apa, semua orang juga mengira kami berdua kembar.” “Kamu  mau beli ponsel yang seperti apa?” tanya Amanda pada Alesiya. “Yang seperti punya mu saja.” “Kalau aku ingin yang ini.” Daniel menujuk sebuah ponsel berwarna silver dan terlihat mewah. Selesai membeli ponsel mereka turun ke lantai dua, di sana terdapat berbagai macam wahana permainan. Mereka bertiga memainkan semua wahana satu persatu. Kini permainan yang belum tersentuh yaitu permainan basket. “Bagaimana kalau kita berlomba? Kalau aku menang kamu turuti tiga permintaanku, dan jika kamu yang menang aku akan menuruti tiga permintaan mu, bagaimana?” “Ok, aku setuju.” Alesiya dan Amanda memulai perlombaan memasukkan bola ke dalam ring sedangkan Daniel sebagai wasit. 10 puluh menit berlalu pertandingan mereka selesai dengan scor seri. Sehingga mereka harus melakukan pertandingan ulang dan pada akhirnya yang memenangkan pertandingan adalah Amanda. Terlihat jelas wajah kekecewaan Alesiya saat kalah, namun tidak apa ia senang dapat bermain dengan teman barunya. “Kita ke kasir dulu, tiket-tiket ini bisa di tukar dengan benda apa pun yang kita inginkan,” kata Amanda, Alesiya mengikuti Amanda menuju kasir. “Anda mau pilih hadiah yang mana?” tanya kasir sambil memperlihatkan hadiah-hadiah yang dapat di ambil. “Kamu mau yang mana?” tanya Amanda pada Alesiya. “Aku pilih gantungan itu.” Alesiya menunjuk dua gantungan ponsel yang cantik dengan sebuah boneka kelinci kecil di ujung tali. Mereka pun memasang gantungan ponsel itu di ponsel masing-masing yang membedakan hanya warna. Gantungan milik Amanda berwarna ungu sedangkan gantungan milik Alesiya berwarna pink. Mereka bertiga keluar dari mall dengan menenteng berbagai macam barang belanjaan. Alesiya dan Daniel mulai mengerti menggunakan Atm sehingga mereka bebas untuk berbelanja apa pun yang mereka mau. Kini mereka bertiga berada di sebuah kafe dekat dari mall. “Ada seseorang yang ingin aku kenalkan pada kalian,” kata Amanda sambil meminum capucino miliknya. “Siapa?” “Rahasia, nanti juga kamu akan tahu.” “Ngomong-ngomong permintaan mu apa?” tanya Alesiya, ia hampir lupa dengan janjinya. “hmmm, permintaan pertama ku yaitu aku harap kita bisa berteman selamanya dan tidak akan berpisah.” Permintaan tulus dari Amanda membuat Alesiya kerkaca-kaca. Ia sangat senang bisa bertemu dengannya. “Aku juga berharap dapat berteman dengan mu selamanya.” “Janji yah!” ujar Amanda sambil menyodorkan tangannya untuk mengaitkan jari kelingkin perjanjian. Kedua jari kelingkin mereka berdua bersatu dan terlihat senyum manis keduanya. “Aku tidak di ajak.” Ujar Daniel kesal membuat kedua wanita kembar itu tertawa. Tak lama kemudia  seorang lelaki tampan datang menghampiri mereka. “Maaf aku terlambat.” Seketika itu juga d**a Alesiya berdenyut kesakitan saat melihat lelaki yang ada di hadapannya. Ia merampas kuat dadanya. “Ada apa?” tanya Daniel khawatir. “Maafkan aku, aku ke toilet sebentar.” Wanita itu mengambil tasnya dan melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ke toilet. Tak ingin terjadi sesuatu dengan wanita itu Daniel pun ikut menyusul wanita cantik yang bernama Alesiya itu. Saat berada di toilet dengan cepat ia masuk ke salah satu bilik wc dan menguncinya dari dalam. Ia tidak ingin ada yang melihat wajahnya di mana matanya kini tak bisa ia kontrol. “Apa yang terjadi? Apa kau tidak apa-apa?” tanya Daniel di luar wc. Namun wanita itu tidak menjawab membuat lelaki itu semakin cemas. Di dalam wc, Alesiya mengambil botol yang berisi darah segar yang ada di dalam tasnya. Ia meminumnya dengan tergesa-gesa sehingga  darah segar itu menetes di lantai itu. Lima menit kemudian, Alesiya mampu mengontrol dirinya. Dadanya tidak sakit lagi hanya saja tubuhnya masih lemah. Ia membasuh wajahnya yang pucat dan berjalan pelan keluar dari toilet. Saat tubuhnya hampir mencium lantai untung saja ada Daniel yang dengan sigap menangkapnya. Daniel memapah tubuh Alesiya kembali ke tempatnya semula. Saat ia melihat wajah ceria Amanda yang kini bercanda ria dengan seorang lelaki tampan yang seharusnya ia lupakan membuat ia ingin menangis. Ia ingin sekali memeluk tubuh itu. Tak ingin membuat Amanda cemas, wanita itu melepas tangan Daniel dan mengubah wajahnya seceria mungkin. “Maaf membuat kalian menunggu.” “Tidak apa-apa,” kata Amanda. “Aku ingin memperkenalkan kalian, lelaki ini adalah Ryuzaki,” lanjutnya lagi memperkenalkan Zaki. Kedua mata Zaki dan Alesiya bertemu, namun dengan cepat wanita itu mengalihkan pandangannya. “Wanita ini adalah Alesiya dan di sampinya adalah Daniel.” “Wahhh, kalian berdua sangat mirip,” kata Zaki. “Saat pertama kali bertemu aku sangat terkejut,” jawab Amanda. Alesiya hanya diam memandang makanan yang ada di hadapannya. Sedangkan Daniel menatap Alesiya cemas. Lima menit berlalu, Amanda dan Zaki mengobrol layaknya orang pacaran membuat hati Alesiya semakin sakit. Ia merampas pakaiannya untuk meredakan detak jantungnya yang semakin sakit. “Inikah akibatnya saat menggunakan mantra penghilang perasaan,” batin Alesiya. “Wahhh, kalian akrab sekali, apa kalian berdua pacaran?” tanya Daniel untuk memecah keheningan. “Hmmm, sebenarnya kami berdua memang pacaran, tapi itu masih rahasia. Jadi jangan bilang ke siapa pun yah? Kebetulan kedua orang tua kami bersahabat jadi memutuskan untuk menjodohkan kami berdua” perkataan Zaki bagaikan sebilah pisau yang menancap di jantung Alesiya. Ia tidak kuat lagi, sakit sekali. Air matanya tak bisa ia tahan kini jatuh mengalir membasahi wajahnya yang menunduk. “Sak … kit.” Dan saat itu juga Amanda menyadari wanita di hadapannya tidak baik-baik saja. “Apa yang terjadi? Apa kau tidak apa-apa?” tanya Amanda khawatir mendekati Alesiya. “Sepertinya penyakit lamanya kambuh, aku harus membawanya kembali ke apartement.”  Sebelum Amanda mendekat dengan cepat Daniel mengambil tubuh lemah Alesiya dan mengendongnya ala bridal style. Saat ingin memasuki mobil sebuah tangan mencegah Daniel. “Bukankah seharusnya kau membawanya kerumah sakit?” ujar pemilik tangan yang bernama Zaki itu. “Itu tidak perlu, setelah meminum obat dia akan sembuh.” Daniel pun membawa wanita itu masuk kedalam mobil. Meminta supir untuk kembali ke apartement. Daniel membaringkan tubuh lemah Alesiya di kasur.  Melangkahkan kakinya menuju lemari es, di mana botol-botol berisi darah segar tersimpan di sana. Lelaki itu meminumkan darah pada wanita di hadapannya, karena kesusahan akhirnya ia menggunakan metode sebelumnya, yaitu dengan memberikan cairan merah itu melalui sebuah ciuman. Dua menit telah berlalu namun wanita itu masih terlihat kesakitan. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberinya darah manusia?” batinnya. Tak ingin menunggu lama lagi. Akhirnya Daniel menyuruh bawahannya untuk menghubungi Rangga. “Ada apa, tuan?” tanya Rangga. “Kirim kan aku darah manusia, secepatnya.” “Baik, tuan.” Di luar kamar Alesiya, terlihat Amanda dan Zaki menunggu di depan pintu. Sesekali Amanda mengetuk pintu berbahan mahoni itu, namun Daniel yang ada di dalam kamar tersebut enggan untuk membuka kamar. “Daniel, buka pintunya. Aku ingin melihat Alesiya!!” teriak Amanda dari luar kamar. Namun lelaki itu masih mengunci mulut. Tak ingin menjawab ia hanya menatap wajah lemah Alesiya yang tak sadarkan diri dalam hening. “Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa akhir-akhir ini kamu terlihat kesakitan,” batinnya. “Aku tahu kamu ada di dalam, aku mohon buka pintunya. Apakah Alesiya baik-baik saja?” Akhirnya lelaki itu menyerah, dengan menghela napas pelan ia menapaki lantai marmer itu menuju pintu. Dengan mengeluarkan sedikit tenaga ia membuka pintu mempersilahkan Amanda dan Zaki masuk. “Apakah dia baik-baik saja? Bukan kah sebaiknya kita membawanya ke rumah sakit?” “Tidak perlu dia akan baik-baik saja.” “ Kau bilang dia baik-baik saja? Kau tidak lihat wajahnya pucat sekali dan tubuhnya sangat dingin?” Amanda mulai kesal dan memarahi Daniel. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan jadi aku mohon diamlah.” “Aku tidak bisa diam, pokoknya kita harus membawanya kerumah sakit.” “Tidak bisa, dia tidak boleh di bawah kerumah sakit.” “Kenapa? Apa kau tidak lihat? Dia butuh dokter.” Amanda bersikeras ingin membawa Alesiya kedokter namun Daniel tetap melarang hingga terjadi adu mulut keduanya. Zaki hanya diam sambil memegang tangan Amanda takut amarah wanita itu semakin menjadi-jadi. “Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun jadi aku tahu apa yang harus aku lakukan.” “Kau-.” Ucapan Amanda terpotong saat sebuah ketukan membuat mereka bertiga mengalihkan pandangan pada seorang lelaki berjas hitam sambil membawa sebuah koper. “Maaf, tuan. Pesanan anda telah tiba,” ujar lelaki itu yang merupakan salah satu bawahan kepercayaan Rangga. “Baik simpan saja di meja.” Lelaki itu menaruh koper itu dan meminta izin untuk keluar. Saat lelaki itu pergi, Daniel mencoba meminta Amanda dan Zaki untuk keluar dari kamar. “Aku minta pada kalian berdua untuk keluar sekarang juga, Alesiya lebih membutuhkan ku di bandingkan kalian berdua, dan percayalah dia akan baik-baik saja.” Akhirnya dengan bujukan halus Daniel akhirnya Amanda menurut, ia keluar dari kamar bersama dengan Zaki. Daniel membuka koper, didalamnya terdapat beberapa botol darah dan sedikit daging manusia yang telah di potong kecil, sehingga terlihat potongan daging sapi. Ia melangkah menuju ranjang Alesiya, ia mendudukan tubuh itu membiarkan sebuah bantal menjadi penyangga tubuh tak sadarkan diri itu. Terlihat jelas dari wajah wanita itu bahwa ia sangat kesulitan untuk mengambil pasokan udara. Lelaki itu kembali mengalirkan darah segar di tenggorokan Alesiya dengan sebuah ciuman. Saat darah itu mengalir, Alesiya mulai menghembuskan napas dengan teratur. Akhirnya Daniel bisa bernapas lega, kini wanita di hadapannya akan baik-baik saja. Ia kembali merapikan barang-barang yang ada dalam koper. Lelaki itu menganti botol yang berisi darah hewan menjadi darah manusia, dan memasukkan daging manusia yang telah di potong kecil sehingga terlihat seperti daging sapi. Daniel kembali mengecek keadaan Alesiya, memperbaiki posisi tidur wanita itu, dan sesekali ia membelai wajah wanita itu dengan lembut. “Maafkan aku yang telah memberimu darah manusia, ini demi keselamatanmu.” “Maafkan aku, Alesiya.”_Daniel. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN