Una kembali memasukkan baju-bajunya lagi ke dalam lemari. Ia memilih untuk tak pergi dari sana, tapi ia berniat akan mengikuti Emil.
Una cukup tahu dimana biasanya Emil nongkrong sama teman-temannya. Sebuah cafe dekat kampus jadi tempat nongki mereka.
"Mas... !" pekik Una tak senang melihat Emil ngobrol berdua saja dengan seorang wanita.
"Kamu?!" sahut Emil melotot ikut tak senang dengan kehadiran istrinya.
"Sini kamu!" Emil menarik tangan Una menjauh dari wanita itu. Una memandang Emil penuh kecewa, untuk apa ia dijauhkan dengan wanita itu, seharusnya'kan Emil justru mengenalkan ia sebagai istrinya bukan?
Memang tak sepantas itukah, Una dikenalkan?
"Mas, kenapa sih?!"
"Udah kamu diem ajah jangan ganggu aku, atau mending kamu pulang lagi deh, jangan kesini!" usir Emil santai.
"Iyah tapi kenapa, Mas?!" Suara Una jauh lebih meninggi merasa begitu tidak terima.
"Kamu mau malu-maluin aku,yah. !Harus,yah teriak-teriak gitu?! udah kamu pulang!" Emil mendorong kuat tubuh Una agar pergi dari sana.
"Mas, aku butuh penjelasan, siapa dia Mas?!" Una semakin geram, terlebih wanita itu terus saja menatap Emil dengan tatapan fokus seolah hanya membidik suaminya.
"Dia, Siska. Calon bos aku, dia mau pekerjakan aku di Cafenya dengan syarat aku masih single. Sekarang kamu puaskan!" sahut Emil penuh penekanan, bahkan matanya mendelik supaya Una paham.
"Tapi itukan gak bener, Mas. Mas udah nikah. Mas udah bukan single lagi!" melas Una dengan suara bergetar, rasanya begitu sakit saat kehadiran dirinya di hidup Emil berusaha pria itu singkirkab.
"Haaallah....!" Emil mengibaskan tangannnya seolah tak peduli dengan rengekkan Una.
Setelahnya lelaki itu malah kembali ke mejanya tadi. Terlihat tersenyum lembut pada wanita yang bernama Siska itu.
Una linglung, ia ingin maju, tapi ia takut dengan ancaman suami dan ibu mertuanya. Akhirnya Una memutuskan pergi dari sana seraya menghapus linangan air matanya.
Wanita itu berjalan sendiri dalam terik sinar mentari, hanya tangannya yang memeluk tubuhnya yang kecewa
Kali ini Una memutuskan pulang sebentar kerumahnya. Kemana lagi wanita itu pergi saat membutuhkan hangatnya kasih sayang seorang ibu.
"Assalamualikum, Bu!" sapa Una lembut. Ia sudah berhasil menenangkan didirinya serta menghapus semua sisa air mata. Karena Una tak ingin sampai orang yang paling ia sayangi tahu, dirinya sedang terluka.
"Walaikumsallam, Ya Allah Una..!" Sahut Utami langsung mendekap tubuh Una.
"Ibu Una kangen...!" Jujur Una ikut memeluk erat ibunya.
"Kamu habis nangis,yah?!" tebak Utami yang langsung mengendurkan pelukkaannya dan memegangi kedua pipi Una. Jangan anggap remeh dengan insting seorang ibu.
"Enggak kok, Bu, Una cuma sedih ajah baru bisa kesini lagi!" jawab Una seadanya.
'Maafin aku, Bu. Aku bohong sama Ibu!' Suara hatinya bersenandika.
"Ya udah kamu disini ajah dulu, nanti pulang dijemput sama Emil, kan?!" balas Utami yang memilih percaya dengan perkataan Una. Una tak mampu menjawab ia hanya mengangguk lemah.
---
"Istri kamu kemana sih, dari tadi pergi gak keliatan! begitu tuh istri yang gak bener, seharusnya dia ijin dong kalau mau pergi. Jangan sembarangan gitu!" gerutu Desi ke Emil yang baru pulang.
"Tadi Una nemuin aku, Ma di Cafe!" Jawab Emil yang berniat ke kamarnya
"Masa sih? Mau apa sih dia?!" Desi semakin naik pitam.
"Una marah soalnya aku deket sama Siska!"
"Siska? Siska anak orang kaya itu yang punya cafe?!" kutip Desi yang langsung ingat jika itu tentang gadis kaya raya. Emil hanya mengangguk menjawab pertanyaan ibunya.
"Plaakkk...!"
"Lagi kamu kenapa sih, ada Siska malah pilih Una!" kesal Desi memukul bahu Emil.
"Ma, aku cintanya sama Una, Mah!" sahut Emil mendesah, ia juga terlihat memijit pelipisnya pusing.
"Cinta, cinta makan itu cinta!" Desi memilih pergi meninggalkan Emil sendiri.
---
Hari semakin larut, tapi Una bingung, karena setahu Utami. Emil akan menjemputnya.
Nyatanya Una bahkan tak saling berbalas pesan dengan Emil sejak tadi.
Lagipula wanita itu masih kesal dengan suaminya itu.
"Loh, kok kamu belum telepon Emil buat jemput sih, Una? Kamu mau nginep disini?!" tanya Utami.
"Enggak, Bu ini juga mau telepon Mas Emil!" Terpaksa Una menelpon suami tak bergunanya itu.
"Iyah, Mas aku ada dirumah Ibu, kamu kesini,yah?" ucap Una ragu, ia takut Emil kembali bertingkah sampai menimbulkan kecurigaan di mata Utami.
"Disini ada Ibu, Mas. Kamu jemput aku,yah!" tekan Una memberi kode.
"Ya udah, kamu tunggu disana!" jawab Emil malas.
Hanya perlu waktu tiga puluh menit untuk Emil menjemput Una.
Nyatanya dirumah Una ada Om Romi yang juga baru sampai.
"Eh, Emil... Baru sampe?!" tanyanya seraya merangkul bahu Emil masuk.
"Gimana nikah, Mil?!" tanya Romi yang sejak awal curiga dengan Emil.
"Lancar kok, Om!"
"Ooh gitu, bagus!" balas Romi meski masih tidak percaya.
"Assalamualikum, Na..!" sapa Romi seraya memberikan tangannya untuk dicium. "Kamu sama Emil nginep ajah disini,yah?" Lanjut lelaki berpostur tinggi tegap itu.
"Aku....!"
"Kita gak bisa, Om. Ini juga aku kesini karena Una minta jemput!" sahut Emil cepat.
"Oh iyah, ya sudah..!" Romi memilih tak ikut campur, ia rasa Una sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalahnya.
"Ayok cepet pulang!" desis Emil kesal, ia sama sekali tak ingin menunggu Utami yang masih sholat.
"Mas, tapi kamu gak boleh kerja disana!" tekan Una, ia masih ingat dengan perlakuan Emil padanya juga pada Siska.
"Ngomong gitunya nanti ajah, sekarang ayok pulang. Kalau kamu gak mau, ya udah gak usah pulang selamanya!" ancamnya geram. Lelaki itu terlalu malas menghadapi rengrekkan Una.
"Ya udah...!" sahut Una lemah, ia masih ingin mempertahankan pernikahannya, karena Una tak berencana menikah hanya dalam tempo mingguan. Gadis itu masih berharap bisa meluluhkan hati Emil yang sudah kadung membatu.
---
"Prookk... prookkk...!"
"Lihat siapa yang baru datang malam-malam gini, pergi tanpa pamit dan pulang minta dijemput!" sindir Desi, eh bukan sindiran tapi betul-betul penghinaaan.
"Farhanna, kalau kamu udah nikah, jangan kayak orang satu ini. Gak tahu sopan santun, bisa-bisanya kamu ngikutin suami kamu. Seharusnya kamu bersyukur Emil masih mau kerja!" Una diam membeku ditempatnya, matanya berkaca-kaca, bibirnya keluh untuk membela dirinya sendiri. Ia merasa saat seperti ini ia ingin sekali jauh lebih kuat dan tegar, menjawab semua perkataan kejam yang terlontar dari mulut mertua dakjalnya.
Tapi rasa marah yang meluap justru tak bisa mengeluarkan satupun aksara demi menerangkan semua perasaannya
"Kenapa melototin saya gitu, kamu gak terima?!" tantang Desi.
"Aku mau masuk, Ma" jawab Una bergetar. Terlalu marah membuat ia menyelonong masuk.
"Astagfirullah..!" Kaget Desi karena Una mendorong bahunya dengan bahu Una, sungguh gadis itu bukannya sengaja.
"Kenapa, Ma?!" pekik Emil yang baru selesai mandi.
"Una ngjahatin Mama. Dia dorong badan Mama?!" Adu Desi dengan mata melotot tak percaya.
Bersambung.