"Terus Mama juga...!"
"Mama kenapa? kamu tuh harusnya bersyukur diterima tinggal disini, bukan jelek-jelekin Mama heran deh aku! gerutu Emil seraya kembali pergi
#Skip 3 minggu kemudian
Semenjak Una menginjakkan kakinya kedalam rumah ini. Hari-hari yang dijalaninnya tidaklah mudah, bagaikan ia yang berjalan seorang diri dalam pekatnya malam. Begitu terasing tanpa satu orangpun yang ada dipihaknya.
Bukan, bukannya Una ingin menciptakan kubunya sendiri, tapi gadis itu hanya ingin diterima dengan tulus menjadi anggota keluarga disini oleh keluarga barunya itu, setulus perasaannya untuk terus mengabdi kepada suaminya.
"Tok... tookk...tokk..! "Budek... Buka pintunya!" pekik Emil kasar.
"Mas Emil!" Una segera membuka pintu kamarnya, kembali mendapati Emil yang baru saja selesai mabuk-mabukkan.
"Mas, mau sampai kapan sih kamu minum-minum gini, gak baik, Mas. Itu sama ajah Mas menentang ajaran agama!" gumam Una sangat tak senang dengan keadaan Emil kini. Ia bahkan menghembuskan hidungnya, sangat tak suka dengan bau Emil. Tak peduli Emil terus berlalu masuk, suara Una hanya seperti angin lewat di telinganya.
Tubuhnya ia hempaskan ke kasur, berniat langsung tidur.
"Ganti baju dulu, Mas! Una sudah mengeluarkan baju piyama, sesaat wanita itu melirik jam dinding. Pukul 04.00 pagi, ia menggeleng selama itu Emil pergi?
"Mas kamu dari mana sih, Mas?. kamu jalan tadi jam 8 loh, Pulang jam 4 pagi. Kamu udah sholat isya belum?!" tanya Una masih dengan gerutunya.
"Heheehe..!" Emil yang masih mabuk hanya tertawa tak jelas.
"Lagi juga Mas bisa sakit kalau terus-terusan keluar malem, balik pas sebentar lagi adzan subuh. Tolong Mas berubah sedikit buat kita!" tambah Una seraya membantu Emil mengganti bajunya, bisa dipastikan lelaki itu tak akan sholat subuh juga.
Emil yang sudah selesai dibukakan baju, langsung tertidur lelap. Sementara Una hanya terduduk dipinggir kasur, mau sampai kapan ia menerima tingkah Emil?.
Sebagai seorang istri, ia juga ingin dimanja, disayang, terlebih cita-citanya dapat di imami dalam sholat sehingga hatinya merasa damai akan bimbingan seorang pemimpin.
Bukankah salah satu hikmah pernikahan, supaya hati ini merasa tenang?
Tapi nyatanya ia selalu resah dan gelisah, tak ada menit yang Una lewatkan tanpa teriakan Desi.
Mengadu kepada Utami dan Romi? Tidak... Una sadar inilah jalan yang ia pilih, ia merasa kini ia harus bisa bertanggung jawab dengan keputusannya.
Lagipula, Una masih sangat mencintai Emil, ia tak mau karena mengadu membuatnya jauh dari suaminya, ia sama sekali tak berniat menyerah.
Una hanya mampu mengadu kepada sang pencipta, berharap suatu hari nanti hati Emil tergugah.
---
Pagi tiba, kini Una mulai "pintar" mengatur urusan dapur, yang sekarang menjadi tanggung jawab penuhnya
Pagi sekali Una akan mencuci baju, setelah itu ia baru memasak sarapan untuk satu keluarga. Hari ini Una hanya memasak nasi goreng karena semalam ia menunggu Emil sampai larut malam. Ia bahkan sangat jarang beristrahat dengan benar
"Semuanya udah!" gumamnya sendiri bangga, ia tersenyum puas dengan hasil masakannya. Una sudah menyiapkan piring, menatanya di meja makan.
"Eeh.. Mas udah bangun?!" sapanya lembut, ia mengalungkan lengannya ditangan Emil.
"Makan duluyuk, Mas!" ajaknya
"Nanti aku mau pergi,yah. Temenku Siska ajak ketemuan!"
"Siska? cewek, Mas?!" tanyanya curiga, kedua alisnya telah bertaut sangat tak suka saat Emil menyebutkan nama gadis lain.
"Iya, ceweklah. Emang ada gitu cowok namanya, Siska?!" balas Emil lucu sendiri.
"Tapi, Mas..!"
"Udah ngapain sih kamu tanya-tanya? biar ajah kenapa sih?!" Suara Desi menyimbrung obrolan Una dan Emil.
"Ma, tapi apa lebih baik Mas Emil tidak menemui wanita lain lagi, Ma. Mas Emil sudah menikah sama aku!"
"Hahhaa... Terus kenapa?!" Desi mendekat, menatap nyalang kearah Una. Tak perlu di ijabarkan bagaimana tak sukanya wanita itu pada menantunya.
"Gini, kamu tahukan Emil nikah sama kamu itu usianya masih sangat muda, usia yang seharusnya ia bisa bersenang-senang dengan teman-temannya atau banyak wanita yang cantik-cantik. Terus sekarang kamu minta dia untuk terus nurut sama kamu? jangan posesif, Una!" sarkas wanita itu, jemarinya berjalan menunjuk ke bahu Una. Membuat Una sedikit goyah karena dorongan tangannya.
"Tapi kan seharusnya memang begitu, Ma. Suami yang telah menikah tak bisa sembarangan menemui wanita lain!" sahut Una dengan mata berkaca-kaca, bahkan suara yang keluar dari mulutnya begitu parau.
Una menatap Emil yang masih terlihat datar, ia memang tak pernah mencoba membela Una. Perasaan wanita itu semakin sakit, ingin rasanya ia berteriak 'Mas ngomong dong! Mas gak bisa gini'
"Udah... Kamu tahu apa sih tentang pernikahan? Anak masih bau kencur, mending kamu kedepan ajah. Siramin taneman tuh. Tenang ajah, Emil pasti balik kok dalam keadaan utuh! masalah apa yang ia lakukan diluar rumah bukan urusan kamu!" Desi membalikkan tubuh Una dan mendorongnya agar pergi dari hadapannya.
Sampai didepan, Desi langsung menyerahkan selang air. Ia sama sekali tak peduli Una yang belum sarapan.
Airmatanya tak mampu lagi wanita itu bendung, shock dan kecewa bersarang di kalbunya.
---
"Ini gak bisa!" gerutunya seorang diri, ia tak mengikuti perintah Desi, Una justru pergi kekamarnya dan mulai mengepakkan semua barang-barangnya.
Sebenarnya, wanita itu tak ingin perpisahan, ia hanya ingin Emil sadar, dan apakah Emil akan merindukan sosoknya saat ia pergi? Tidak tahu... Tapi Una ingin mencoba, ia tak ingin merasa selalu tak dianggap seperti sekarang.
Ragu, membuat Una sekali lagi terduduk dikasur, menutup wajahnya dan kembali menangis sesegukkan.
"Ngapain kamu?!" tanya Desi tak menemui Una diperkarangan rumahnya.
"Mau pergi? Udah ngepakin barang-barang kamu? Ya udah sana silahkan?!" tambahnya yang masih menatap Una dari ambang pintu, mimik wajahnya sangat merendahkan tingkah Una.
Una berdiri, hatinya begitu panas, sampai ia menghampiri Desi.
"Ma, aku salah apa sih? kenapa Mama benci banget sama aku?!" tekannya kuat, rasa kecewa telah membuncah dan tak mampu ia tahan.
"Hahaaha salah apa? yah salah kamu karena kebelet nikah! Makanya kalau belum siap, gak usah ngajakin nikah!" balas Desi santai. Una mendelik kaget, bukan ia yang sangat menginginkan pernikahan ini, tapi Emillah orangnya.
"Ma, Mas Emil yang nglamar aku, aku bahkan masih ingin menyelesaikan kuliahku!" katanya semakin geram, sesaat Desi nampak berfikir. Sepertinya anak lelakinya itu bohong, bilang kalau ia menikahi Una sekarang karna Una yang ingin secepatnya menikah.
"Ya terus sekarang kamu nyesel gitu? Makanya mau pergi? Silahkan! tapi jangan ngarep,yah Emil bakalan jemput kamu" sahut Desi menakut-nakuti Una. Una mengepal tangannya kuat.
Jika ia pergi sama saja ia lemah, tapi jika ia tetap disini itu artinya ia ikhlas diperlakukan semena-mena.
Dan tadi Desi sudah bilang, Emil tak akan mengejarnya seandainya ia jadi angkat kaki dari sini? Lalu bagaimana nasibnya? Rumah tangga apa yang nantinya ia jalani?
Sungguh semua membuat Una bingung sendiri.
Bersambung.