Eps 6

1026 Kata
"Kamu kenapa lagi sih, Na. Tolong dong jangan cari gara-gara terus, aku pusing!" Reaksi Emil yang langsung percaya Desi seutuhnya. Una masih mematung, ia tahu sebagai anak Emil memang harus berpihak membela Ibunya, tapi Unakan bukan musuh yang harus terus dicurigai. Ia disini sebagai seorang istri dan menantu yang pantas untuk dicintai. Tangisnya pecah, gadis itu langsung memilih pergi malam itu juga. Percuma, hanya akan menjadi sia-sia dirinya disini, dicurigai selalu diminta mengerti, dan yang paling terpenting tak pernah dianggap. Una mengepakkan semua barang-barangnya, tak peduli kemana langkah kakinya membawanya pergi. "Una..!" 0anggil Emil serius, ia tak mengerti kenapa Una begitu marah. "Aku mau pergi, Mas!" gumam Una sendiri dengan suara sesegukkan menahan tangis. "Pergi kemana?!" Emil menyentuh bahu Una, meminta istrinya untuk berbalik badan kearahnya. "Ini udah malem, kamu mau kemana?" tanya Emil lembut. Una menggeleng, yang ia tahu hatinya sekarang terluka. "Ingat, kalau kamu pergi, itu artinya mau kamu sendiri, dan jangan minta aku lagi buat cari ataupun jemput kamu!" Una langsung menatap manik mata Emil tak percaya, amarahnya yang tadi sempat reda karena mengira Emil akan berkata lembut justru semakin membuncah karena ancaman suaminya itu. "Minggir, Mas!" Una sudah siap dengan kopernya. "Mau kabur, istri macam apa kabur dari suaminya?!" sarkas Desi yang memang sengaja menunggu Una didepan kamar. Sekarang wanita itu memilih tak peduli, ia menulikan pendengarannya dan tetap pada pendiriannya. "Una...!" "Mas, kalau Mas sayang sama aku, tolong Mas jangan selalu nyakitin perasaan aku, aku juga mau dingertiin, disayang sama kamu!" ucap Una begitu emosional, wajahnya bahkan memerah dengan tangannya yang menggenggam erat pegangan kopernya. "Aku kurang apa? Kamu minta aku jemput kamu, aku datang. Dan selama ini jugakan aku pulang, aku cuma minta kamu buat gak ikut campur sama kerjaan aku nantinya!" geram Emil. "Terserah, Maslah...!" Una benar-benar pergi, lagi-lagi perasaannya di liputi kecewa karena Emil tak mengejarnya sama sekali. Sekarang gadis itu memilih tinggal di kost-kostan dekat rumah Emil, hari sudah larut dan Una tak mau mengganggu tidur orangtuanya. #Skip satu minggu kemudian. Tak ada yang bisa wanita itu lakukan dikostan, ia bahkan jadi jarang makan, perasaannya justru selalu merindukan Emil. Dan bodohnya ia masih terus merajut asa suatu hari nanti lelaki itu mau mencarinya. Una memang memutuskan untuk tidak kembali kerumah orangtuanya, ia takut itu semakin membuat masalah jadi rumit. Yah terkadang wanita seperti itu, mereka hanya ingin dimengerti saat marah, bukannya terus diajak berdebat. Dari jauh Una memandang rumah Emil, ia memang hanya memilih kostan diseberang rumah mertuanya itu, dan seharusnya Emil juga tahu. Karena Farhanna pernah melihat Una yang keluar dari kostan itu. Walaupun Una tak tahu, apa adik ipar judesnya itu cerita atau tidak kepada Emil. Hatinya panas, saat sebuah mobil mercy berhenti dan keluar dua orang yang ia kenali, Emil dan Siska. Oooh... Hohoho, jadi amat sangat percuma dirinya berharap lelaki itu tersiksa jauh darinya, nyatanya hanya ialah yang tersiksa tanpa Emil. Una melangkah lebih dekat, otaknya sangat penasaran apa yang Siska lakukan dirumah suaminya. "Nak Siska...! tumben mampir!" pekik Desi kencang mendatangi Siska yang baru masuk, sampai Unapun dapat menangkap suasana hati ibu mertuanya itu yang sangat bahagia bertemu Siska. "Iyah Tante, aku mampir. Sekalian anterin Emil pulang!" sahut wanita itu ganjen. Hei.. memangnya Emil anak TK yang pulang ajah mesti diantar?!. "Gakpapa Nak, sering-sering ajah main kesini, biar Farhanna juga ada temennya" Apa? Kenapa dengan Una, Desi tak pernah memperlakukan ia seperti itu, bahkan Desi tak berusaha mengakrabkan Farhanna dengan kakak iparnya itu, justru wanita itu seakan mentransfer amarah tiap kali bicara tentang dirinya ke Farhanna. "Aku gak enaklah, Tan. Sekarangkan Emil udah nikah!" sahut Siska sambil melihat Emil dengan tatapan manja. "Nikah apaan, sekarang ajah istrinya kabur!" balas Desi tanpa basa-basi. "Ma..!" Begitu kesal membuat Una keluar dari persembunyiannya. "Una...!" panggil Emil yang nampak kaget. "Mas, Mas juga pasti tahukan kalau aku cuma tinggal dikostan depan rumah kamu, tapi kenapa kamu gak jemput aku, Mas?!" tanya Una penuh penekanan, ia sangat berusaha merendam rasa kecewanya meski air mata yang membumbung dikelopak matanya siap untuk dijatuhkan "Apa karena wanita ini, Mas. Sampai kamu gak pernah cari aku!" tambahnya bergetar. "Kamukan yang mau pergi, Una!" teriak Emil "Iyah tapi'kan kamu harusnya cari aku, bukannya jalan sama cewek ini, kita baru nikah Mas belum juga ada sebulan!" Una telah gagal mempertahankan harga dirinya, kini gadis itu menangis sejadinya-jadinya tersedu, merasa tak ada satupun yang memahami perasaannya. "Aduh Una, kamu kapan sih gak malu-maluin, masa didepan Siska kamu marah-marah gitu, sama suami kamu pula!" "Iyah Ma, karena Mas Emil suami aku, makanya aku marah melihat ia jalan sama wanita lain, seharusnya Mama juga ngertiin perasaan aku!" "Kamu tuh lebay Una, suami nikah bukan berarti harus selalu sama istrinya, kalau kamu kayak gini terus jangan salahkan Emil kalau sampai dia punya wanita lain!" "Udah.. Udah, Ma! Una kamu masuk saja, biar nanti barang-barang kamu aku yang ambil dari kostan. Siska maaf,yah Una memang masih labil, jadi suka marah-marah gitu" Una ingin berbalik badan tapi tangan Emil yang dibahu Una memaksa ia berjalan masuk ke kamarnya. "Iyah Emil gakpapa kok, kan kita bisa ketemu dicafe tiap hari..!" ahut Siska tanpa perasaan, semakin menambah rasa kecewa dan cemburu dihatinya. Setelah Siska pulang, Emil ikut masuk ke kamar, melihat Una yang masih terlihat shock dengan kejadian tadi. Tangannya hanya menaruh tas kecil Una. "Mas, koperku mana?!" Heran Una. "Koper kamu masih dikostan percuma jugakan aku ambil, besok juga kamu mau kabur lagi dari sini. Sekalian ajah aku taroh disana biar gampang!" sahut Emil memilih langsung tidur. Una meremas dadanya, sedingin itu Emil padanya, haruskah ia menyalahkan sikapnya yang tanpa pikir panjang langsung menerima pinangan Emil padanya, atau memang ini takdir yang harus ia jalani agar ia jadi lebih dewasa. --- #Skip 2 bulan kemudian Entah kekuatan berasal dari mana, sampai Una berhasil melewati hari-hari penuh ujiannya dirumah Emil. Jangan disangka Emil sudah berubah, tidak lelaki itu semakin menjadi, dan bahkan terang-terangan membawa minuman keras kerumah. Jika sudah seperti itu, Emil akan meminta jatahnya pada Una tak peduli walaupun harus menyakiti wanita itu. Pasrah, hanya itu yang bisa Una lakukan. Ia tak mau dianggap lemah, karena itu ia memutuskan bertahan. Hidup memang tak akan pernah mudah, justru kitalah sebagai manusia yang harus semakin kuat menjalani segala cobaan yang ada. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN