Part 25- Ikhlaskan

1132 Kata
“Maafkan saya. Saya tidak bisa menyelamatkan Tuan Anton,” ucap dokter David ketika keluar dari ruang ICU, tempat dimana Anton dipindahkan dari kamar rawat saat kritis tadi. Vio langsung jatuh terduduk di lantai dengan tangisan yang memilukan. “Tidak mungkin! Ayah tidak mungkin pergi! Ayah sudah berjanji akan terus menjaga Vio!” jeritnya dengan tak tertahankan. “Vio. Tenanglah, sayang. Ini sudah takdir, sayang. Ayahmu sudah nggak merasakan sakit lagi,” ucap Mommy sambil memeluk Vio dengan erat. Rasa sedih gadis itu seakan ikut ia rasakan. “Tidak, Mom. Ayah pasti kuat, Mom.” “Sudah sayang sudah. Ikhlaskan biar ayah kamu tenang di sana.” Perjuangan Anton ternyata hanya bertahan selama enam jam. Segala penanganan telah diusahakan oleh dokter yang menanganinya. Vio benar-benar hancur ketika mengetahui keadaan ayahnya yang mendadak jadi sangat buruk. Padahal semalam ayahnya masih baik-baik saja. Mereka masih mengobrol seperti biasa meski wajah ayah memang terlihat lebih pucat. Kata-kata tempo hari yang Anton katakan pada Vio ternyata memanglah sebuah perpisahan. Sekarang pria itu benar-benar sudah meninggalkannya. Walau Anton mengingkari janjinya sendiri untuk menjaga Vio. Namun Vio yakin, sejauh apapun ayahnya pergi… dia akan tetap menjaganya dari tempat barunya sekarang. Vio merasa begitu hancur. Kini satu-satunya keluarga yang ia miliki telah pergi. Bahkan sebelum ayahnya menyaksikan hari bahagianya nanti. Padahal ia berharap, kehadiran sang ayah nanti bisa sedikit menghiburnya meski pernikahannya hanya akan bertahan sementara. Atau memang ini yang terbaik, kepergian ayahnya… jadi pria itu tidak akan menyaksikan kehancuran anaknya saat perpisahannya nanti dengan Ethan. Vio berjalan ke dalam ruang dimana ayahnya masih terbaring di sana. Pria itu terlihat seperti tertidur dengan tenang, seolah seluruh beban dan rasa sakit yang ditanggungnya sudah terlepas sehingga dia bisa pergi dengan tenang. Seketika hati Vio terasa begitu nyeri. Bagaimana pun juga kehilangan orangtua akan menjadi kesedihan yang berkepanjangan baginya. Dulu, saat ibunya pergi lebih dulu… ayah ada untuk menguatkannya meski pria itu lebih merasa hancur dari Vio. Namun, sekarang saat ayah sudah tiada… siapa yang akan menguatkannya lagi? “Vio.” Suara Ethan membuat Vio menoleh. Pria itu tampak terengah-engah dengan bulir keringat di keningnya seolah ia sudah berlari cukup lama untuk sampai ke sini. Seketika Vio hanya diam, hingga Ethan berjalan mendekat dan menariknya ke dalam pelukannya. Membuat Vio kembali terisak dengan suara yang begitu menyayat hati. “A-ayah… dia meninggalkanku, Ethan… aku… “ Tangan Ethan membelai rambut Vio dengan lembut. “Ikhlaskan ayah pergi, Vio. Dia sudah tidak sakit lagi. Ayah pasti akan tenang di sana jika kamu mengikhlaskannya.” Hanya itu yang bisa ia ucapkan untuk menenangkan calon istrinya. Ia sendiri belum pernah merasakan kehilangan orangtua seperti yang Vio rasakan. Namun, melihat Vio sehancur ini… membuat hatinya ikut nyeri. “Terlalu sakit, Ethan. Bagaimana aku bisa hidup tanpanya?” “Hei.” Suara Ethan melembut, pria itu melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Vio. Menatap gadis itu dalam-dalam. “Kamu masih punya aku, mommy dan daddy. Aku dan mereka akan menjadi keluarga barumu.” Vio masih terisak meski sudah mereda. Meski mungkin yang Ethan ucapkan hanya untuk menenangkannya, karena Vio tahu… cepat atau lambat… ia dan Ethan tidak akan bersama seperti ini lagi. Namun ia menghargai Ethan yang tetap berusaha ada untuknya. Bahkan di titik terendah dalam hidupnya ini. Seandainya… Seandainya Ethan akan selalu di sisinya sampai kapanpun, pasti Vio akan melewati kehidupannya dengan lebih mudah. Akan tetapi Vio sadar, ia tidak boleh berharap lebih. “Aku mencintaimu, Ethan… “ gumam Vio dengan sangat pelan tapi dapat Ethan dengar dengan jelas. Sayangnya kebisuan pria di depannya membuat harapan Vio menguap begitu saja. …………… Langit yang cerah dengan matahari terik di atas, serta awan putih yang begitu cantik seperti sebuah lukisan paling sempurna yang Tuhan ciptakan… seolah sedang menerima kedatangan ayah Vio dengan sangat baik. Gadis itu berharap, tempat baru ayahnya nanti… dimana pun itu, akan membuat ayahnya bahagia. Dan semoga saja ayah bisa bertemu ibu di sana dan menjaganya dari jauh. Vio menatap dengan mata nanar gundukan tanah merah bertabur bunga di depannya. Air matanya seakan sudah habis, hingga membuat gadis itu hanya termenung di sana. Dengan Ethan yang setia merangkul pundaknya, seolah menyalurkan kekuatan yang pria itu miliki. Hingga satu persatu pengantar jenazah Anton ke pemakaman terakhirnya pergi. Abi berdiri di depan Vio dengan raut wajah cemas. Ia mendengar dari teman-teman Vio soal kepergian ayah Vio sehingga ia datang ke pemakaman ini demi sedikit bisa menghibur mantan kekasihnya itu. “Aku turut berduka cita atas kepergian ayahmu, Vio,” ucapnya yang terdengar begitu tulus. Sementara tatapan tajam Ethan seakan menyuruh pria itu untuk segera pergi dari sini. “Terimakasih, Abi,” ucap Vio yang tetap menatap ke makam sang ayah. Bukan ia tak menghargai Abi, ia hanya tidak bisa melepaskan tatapannya dari sana. Berharap ada sebuah keajaiban. “Aku… pergi dulu,” ucap Abi yang tak nyaman dengan tatapan Ethan padanya. Dengan berat hati, ia meninggalkan gadis itu. Seharusnya saat ini ia yang menguatkan Vio, bukan Ethan. “Vio. Ayo kita pulang, sayang. Kamu tinggal di rumah kami saja daripada sendirian di rumahmu,” ucap mommy yang tak kalah sedih dengan kepergian besannya. Di sampingnya, daddy Andrew tampak berusaha tegar demi menantunya. “Iya. Lebih baik kamu tinggal bersama kami. Toh satu minggu lagi kalian akan menikah,” ucap Andrew yang lebih jarang bicara. Namun demi Vio, ia akhirnya berusaha membujuknya juga. Ia tidak tega jika gadis itu tinggal sendirian di rumahnya. Vio hanya menatap Ethan seolah meminta persetujuan dari pria itu. “Mommy dan daddy pulang duluan saja, Ethan akan menjaga Vio di sini. Vio pasti ingin lebih lama di sini,” putus Ethan akhirnya. “Baiklah. Jika butuh apa-apa, kabarkan kami segera,” ucap Andrew yang kemudian mengajak Maria segera pergi dari sana. Sebelum pergi, Maria menepuk-nepuk pundak Vio dengan lembut. Ia sudah menganggap Vio seperti anaknya sendiri. Tentu saja ia merasa sangat sedih jika melihat Vio sehancur ini. Gadis sebaik Vio, harus menerima banyak cobaan di umur yang sangat muda. Gadis itu sangat kuat. Beberapa menit setelah kepergian Andrew dan Maria, Vio masih di tempatnya. Hatinya masih begitu nyeri tapi kenyataan seolah menyadarkannya… jika ayah memang sudah benar-benar pergi. Tidak akan pernah bisa kembali, bahkan meski ia menangis sekeras apapun. “Aku mau pulang, Ethan… tapi aku tidak mau ke rumahku ataupun ke rumahmu. Aku tidak mau merepotkan keluargamu, aku juga tidak bisa tinggal di rumahku karena… aku hanya akan teringat dengan ayah terus,” ucap Vio dengan suaranya yang sudah serak, pertanda jika gadis itu sudah menangis sangat lama. “Apa kamu mau tinggal di hotel keluargaku? Sampai waktu pernikahan kita. Biar aku menyuruh orang untuk membersihkan rumahmu setiap hari, jadi kapanpun kamu ingin pulang… rumah itu akan selalu bersih,” ucap Ethan akhirnya. Vio hanya mengangguk kecil, menyetujui usul Ethan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN