Selama dua hari kepergian Ethan, Vio tidak bisa menghubungi pria itu. Ponselnya tidak aktif sejak hari terakhir mereka bertemu. Membuat hati Vio jadi tidak tenang. Bahkan acaranya untuk belanja barang-barang dan keperluan rumah yang akan ia tempati dengan Ethan setelah mereka menikah pun tidak membuatnya bahagia sama sekali. Toh, rumah ini mungkin paling lama ia tempati hanya satu tahun.
Mommy yang terlihat jauh lebih semangat memilih berbagai furniture untuk rumah baru anak dan menantunya nanti. Pilihan warna peach menjadi yang paling mommy incar. Vio seperti biasa hanya menurut saja. Ia tidak mengerti untuk belanja hal-hal seperti ini. Apalagi furniture-furniture di sini harganya sangat mahal dan tidak pernah Vio bayangkan jika ia bisa membelinya.
“Kitchen setnya bagus ya, sayang. Gimana menurut kamu?” tanya Mommy pada Vio sembari menatap kitchen set berwarna silver. “Jangan warna peach semua ya. Nanti tabrakan warnanya.”
“Iya, mom.”
“Kamu kenapa sih? Kok kayak gelisah gitu?” tanya Mommy yang menyadari kegelisahan gadis yang berdiri di sampingnya.
“Hmm. Aku tidak bisa menghubungi Ethan, mom. Apa dia baik-baik saja?” Akhirnya Vio mengungkapkan kegelisahan yang ditahannya sedari kemarin.
Mommy tersenyum mengerti. “Ethan memang begitu. Dia jarang mengaktifkan ponselnya saat pergi ke luar kota. Katanya biar nggak ada yang ganggu. Coba kamu hubungi Danish. Ponsel asistennya pasti aktif.” Ia memberi saran.
“Ah. Tidak deh, mom. Nggak enak. Aku kan nggak terlalu kenal sama Danish. Takut dikira cerewet.”
Mommy malah terkekeh geli. “Ya sudah. Besok juga Ethan pulang kok. Dia kalo kerja emang maunya fokus banget. Nanti mommy bilangin deh, setelah menikah dia dilarang matiin ponselnya pas pergi kemana-mana. Namanya istri, pasti akan cemas kan. Mommy mengerti sayang.” Ia mengusap pundak Vio demi menenangkan gadis itu.
“Iya deh, Mom.”
Tiba-tiba ponsel Vio bergetar saat ia sedang menemani mommy melihat-lihat peralatan masak yang sangat modern. Dari dokter David. Dokter yang menangani ayahnya di rumah sakit.
Gadis itu pun segera mengangkatnya. Ekspresi wajahnya berubah, seketika dunianya seakan runtuh mendengar ucapan dokter David di sebrang sana. Sampai ia menjatuhkan ponselnya sendiri.
“Tuan Anton sedang kritis saat ini. Tekanan darahnya tiba-tiba tinggi sampai mengalami kejang. Detak jantungnya juga sangat lemah. Kami sedang mengusahakan yang terbaik. Kalo bisa segera datang ke rumah sakit.”
Ucapan it uterus terngiang-ngiang di kepala Vio.
“Ada apa, Vio?” Mommy terkejut saat Vio menjatuhkan ponselnya dan wajah gadis itu seperti sedang sangat shock.
“A-ayah. Ayah kritis, Mom,” ucap Vio dengan suara yang serak seakan menahan tangisnya.
“Astaga. Kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Mommy tak kalah panic. Tangannya langsung menggenggam tangan Vio dengan sangat erat sepanjang perjalanan mereka ke rumah sakit. “Mommy akan coba hubungi Ethan.”
Vio hanya bisa menangis. Pikirannya sudah sangat kacau saat ini.
……………..
“Apa menurut kamu, pernikahanku dan Vio dibatalkan saja?” tanya Ethan yang terlihat ragu. Mereka kini dalam perjalanan kembali ke hotel setelah sibuk dengan acara di restoran Rosewilton.
“Hah? Jangan aneh-aneh deh. Kamu tiba-tiba menikah aja berita udah heboh, gimana kalo dibatalin?” Danish tampak tak suka dengan sikap labil Ethan saat ini. “Kenapa sih memangnya? Ada masalah sama Vio?”
Ethan hanya menggeleng pelan. “Seperti yang kamu bilang. Aku tidak mau dia jadi janda di usia muda,” ucapnya mengingat ucapan Danish tempo hari.
Danish menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran.
“Toh berita soal Lilian sudah tidak ada lagi. Malah mungkin akan lebih heboh kalo berita batal menikahku keluar. Bagaimana menurutmu?” tanya Ethan lagi seolah dia tidak bisa berpikir apa-apa saat ini.
“Menurutku? Menurutku, kamu sudah gila, Ethan.”
“Apa maksudmu? Aku hanya bertanya. Itu juga karena ucapanmu yang membuatku kepikiran akhir-akhir ini.”
“Apa jalan pikiranmu seburuk itu, Ethan?” tanya Danish lagi.
“Ah! Sudahlah. Aku kan hanya bertanya.”
“Aku mengatakan hal itu agar kamu berpikir. Aku pikir dengan aku bilang Vio bisa saja jadi janda dalam usia muda, dan kamu akan berpikir untuk berpikir serius dengan pernikahanmu. Bukan malah membatalkannya. Itu hanya akan semakin melukai calon istrimu.” Danish berdecak sebal.
“Bagaimana mungkin dia terluka? Sejak awal Vio tahu pernikahan ini hanya untuk sementara.”
Danish terlihat tak sabaran. Ia mengendarai mobilnya dengan agak cepat. “Semengerti apa sih kamu tentang perasaan wanita? Memangnya kamu tahu apa soal perasaan Vio?”
“Dia kan… baru putus dari pacarnya. Dia pasti sangat mencintai pacarnya, bukan aku.” Ethan semakin ragu dengan ucapannya sendiri.
“Benarkah? Aku tidak pernah mendengar jika Vio menangisi pacarnya tuh. Sepertinya dia baik-baik saja,” ucap Danish dengan nada cuek. “Mulailah berpikir lebih dewasa, Ethan. Umurmu sudah hampir kepala tiga, tidak ada salahnya untuk mulai berpikir serius dengan sebuah pernikahan. Mantanmu saja udah bahagia dengan pernikahannya.” Ia mengedikkan bahunya, sengaja membahas mantan pacar Ethan agar pria itu segera sadar jika hidup ini jangan terus untuk main-main.
“Justru aku takut, Danish. Aku takut jika aku mulai membuka hatiku untui Vio… “
“Dan Vio akan celaka? Iya?” desak Danish yang sangat tahu jalan pikiran Ethan. Apalagi mereka telah bekerja sama selama bertahun-tahun. “Itu takdir. Bukan kesengajaan. Yang terluka bukan Aurel saja, tapi kamu juga. Jika Aurel hanya menderita fisik, kamu menderita fisik dan hati begitu lama.”
“Tetap saja. Aku penyebabnya, semuanya menyalahkanku.” Ethan tampak putus asa. “Selama aku tidak ada perasaan apapun pada Vio, dia pasti akan baik-baik saja.”
“Ya, menurutmu dia akan baik-baik saja. Menurutku tidak sama sekali. Dia hanya akan semakin terluka, terutama saat perpisahan kalian nanti. Kamu hanya akan melukai hati gadis lain demi keegoisanmu, Ethan.” Danish sudah sangat lelah menasehati bosnya itu. Namun ia juga tak segan-segan menegur Ethan ketika tindakan pria itu sudah di luar nalar. Termasuk membatalkan pernikahannya yang hanya tinggal satu minggu lagi. “Duh! Siapa sih daritadi nelpon? Berisik banget,” ucapnya yang kemudian menepikan mobilnya di pinggir jalan sebelum mengangkat telepon. Karena Ethan paling nggak suka kalo seseorang yang sedang menyetir juga sambil menerima telepon. “Nyonya besar nih.”
“Mommy?”
Danish hanya mengangguk. Lalu menerima telepon itu yang ternyata sudah ke tiga kalinya.
“KALIAN HARUS SEGERA KEMBALI KE JAKARTA. AYAH VIO KRITIS.”
Suara memekakkan telinga itu seketika membuat Danish menjauhkan ponselnya. “I-iya, mom. Kami akan segera kembali,” ucapnya lagi yang kemudian mommy memutuskan sambungannya di sebrang sana.
“Ada apa? Kok kita balik?” tanya Ethan dengan bingung.
“Ayahnya Vio kritis.”
“Apa?!” Ethan tak kalah panic. Terutama dengan keadaan Vio saat ini.
“Masih mau kamu batalin pernikahannya? Bunuh aja sekalian tuh anak.” Danish masih berkomentar sebal dengan ucapan Ethan tadi.
Ethan hanya diam, tak menjawab apa-apa. Yang dipikirkannya saat ini hanya… bagaimana perasaan Vio? “Sudahlah. Pastikan kita dapat penerbangan secepatnya,” ucapnya dengan cepat.
Danish hanya mengulum senyum. “Khawatir tapi kok sok-sok mau batalin pernikahan.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.