Sudah tiga hari sejak kepergian Anton, Vio masih menyendiri di dalam kamar hotel keluarga Ethan. Gadis itu sering termenung di dekat jendela sembari menatap langit seolah berharap bisa melihat ayahnya lagi.
Pemandangan seperti itu tentunya membuat Ethan semakin tak tenang. Bahkan demi Vio, ia sendiri tinggal tepat di samping kamar gadis itu. Jadi, jika Vio butuh sesuatu… ia akan dengan mudah memenuhinya. Tentunya demi menjaga gadis itu juga. Ia jadi kepikiran dengan ucapannya pada Danish beberapa waktu lalu, soal pembatalan pernikahannya. Namun tak lama setelah ia mengatakan hal itu, ternyata hal yang tidak terduga terjadi. Seolah semua itu menyadarkannya untuk mengurungkan niatnya. Niatnya yang nantinya hanya membuat Vio semakin terluka.
Ethan berjanji pada dirinya sendiri, untuk selalu menjaga gadis yang kini sebatang kara itu.
Hari ini, Ethan telah mengosongkan semua jadwal pekerjaannya. Di hari terakhirnya bekerja sebelum cuti yang cukup panjang, ia mampir ke sebuah toko perhiasan. Di sana ia membeli sebuah cincin berwarna putih dengan ukiran cantik serta berlian kecil yang mengelilinginya. Cincin ini jauh lebih baik daripada yang ia asal beli demi formalitas di depan mommy dulu untuk Vio.
“Dia pasti senang. Walau aku sendiri masih ragu, tapi aku ingin membahagiakannya. Jika semua itu bisa menebus semua masa depannya yang kurengut.” Ia menatap cincin yang berada di dalam kotak berwarna peach itu dan tersenyum tipis. Dimasukkannya cincin itu ke dalam saku jasnya dan ia pergi kembali ke hotel.
Ethan mengetuk pintu kamar milik Vio, tak lama gadis itu membukakannya. “Masih betah di kamar?” tanyanya begitu wajah kusut Vio menyambut kedatangannya.
“Ada apa?”
“Aku mau mengajakmu makan malam di restoranku. Itupun jika kamu mau sekedar membersihkan dirimu dan menggunakan pakaian yang bagus,” ucap Ethan sembari tersenyum penuh arti.
“Apa aku bisa menolak?”
“Yahhh. Tidak apa-apa juga sih. Kamu hanya melewatkan makanan paling lezat di negara ini. Dan juga kehilangan kesempatan makan malam special bersama pemiliknya langsung,” ucap Ethan yang membetulkan letak dasinya dengan wajah angkuh.
Vio mendengus geli. “Baiklah. Tunggu sebentar.”
“Di luar sini?” tanya Ethan dengan alis terangkat.
“Bukankah kamarmu di sebelah?” Vio ikut menaikkan alisnya.
“Bagaimana kamu tahu? Aku tidak pernah memberitahumu?”
“Karena setiap aku bilang, aku butuh kamu… suara pintu di sebelah langsung terbuka dan kamu muncul di depan pintu kamarku.” Vio mencebik, tersinggung karena pasti Ethan mengiranya begitu polos.
Ethan malah tertawa dan masuk ke dalam kamar Vio.
“Hei. Aku tidak menyuruhmu masuk.”
Ethan memperhatikan setiap sudut kamar Vio. “Kamar ini cukup nyaman, seharusnya aku tidur di sini saja, bersamamu,” ucapnya dengan kedipan mata yang sukses membuat wajah Vio memerah.
Vio memutar bola matanya dengan malas. “Aku mau mandi, Ethan,” ucapnya dengan ketus mengingat Ethan mengabaikan ucapannya.
“Silahkan. Aku akan tidur sebentar di sini. Bukankah sebentar bagi wanita akan sangat lama bagi pria?”
Vio mencebik lalu berjalan ke arah kamar mandinya. “Kamu tahu banyak soal wanita, atau memang kamu mengenal banyak wanita,” ucapnya seraya menutup pintu kamar mandi dengan keras.
Ethan tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Gadis itu barusan cemburu?
…………….
Vio mengira makan malam yang Ethan maksud adalah makan malam biasa. Namun ternyata itu sebuah makan malam khusus. Bahkan mereka kini berada di sebuah ruangan yang hanya ada meja untuk mereka berdua. Dengan lilin di tengahnya dan penerangan lampu yang temaram. Vio menyadari betapa kayanya calon suaminya ini. Restorannya saja sangat mewah. Apalagi makanan yang tersaji di depannya terlihat begitu menggiurkan, meski porsinya mungkin hanya akan mengganjal perutnya sebentar.
“Kamu menyiapkan semua ini?” tanya Vio yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Tentu saja,” balas Ethan dengan bangga.
“Untuk apa? Apa ini hari ulang tahunmu?” tanya Vio penasaran.
“Sudahlah. Lebih baik kita makan dulu. Karena setelah ini, mungkin sesuatu yang menghabiskan banyak energimu akan terjadi.” Ethan tersenyum tipis, membuat Vio semakin bertanya-tanya.
“Apa maksudmu?”
Ethan berdecak sebal. “Tidak bisakah kamu hanya makan tanpa bertanya terus?” tanyanya.
Vio menggembungkan pipinya, ia kemudian mulai menyantap hidangan di depannya. Meski porsinya kecil, ternyata rasanya sungguh enak. Dan ternyata cukup untuk membuatnya kenyang. Ia akui, foodvloger-foodvloger yang sering mereview makanan di sini ternyata jujur. Makanan di sini sangat enak.
“Bagaimana makanan di sini?” tanya Ethan sembari meminum ‘champagne’ yang telah disediakan.
“Enak. Enak sekali,” ucap Vio dengan jujur dan wajah yang ceria.
Ethan jadi ikut tersenyum melihat perubahan Vio saat ini. Meski sisa-sisa kesedihan itu masih ada, tapi ia berhasil membuat gadis itu tersenyum lagi. Ia pun menuangkan ‘champagne’ ke gelas milik Vio. Lalu mengangkat gelasnya. “Cheers?”
Vio tersenyum kecil. Meski ini pertama kalinya akan meminum minuman mahal ini, tapi Vio akhirnya melakukannya. Ia mengangkat gelasnya juga, “cheers.” Lalu menyesap minuman itu hingga sensasi manis, dingin itu memenuhi mulutnya.
Ethan pun beranjak dari kursinya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. Kotak berwarna peach itu membuat Vio sedikit bingung. Apalagi ketika Ethan berlutut di depannya sembari membuka kotak yang ternyata berisi sebuah cincin yang begitu cantik. “Malam ini, aku ingin mengungkapkan sesuatu padamu, Vio.”
“Ada apa ini, Ethan?” tanya Vio yang tak bisa menyembunyikan wajah memerahnya.
“Aku ingin melamarmu dengan sungguh-sungguh. Bukan lagi soal pernikahan sementara tapi untuk pernikahan seumur hidup kita. Aku sudah banyak berpikir, dan aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamamu. Aku ingin selalu menjagamu dan melihatmu sepanjang hidupku. Meski aku belum bisa sepenuhnya membalas rasa cintamu, tapi aku ingin melakukannya… tolong beri aku kesempatan untuk itu. Maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu dari anak-anakku dan menua bersamaku?”
Kedua bola mata Vio kini berkaca-kaca. Ia mengusap sudut matanya yang sudah basah. Meski Ethan belum mencintainya, tapi yang pria itu lakukan kini membuatnya sangat tersentuh. Setidaknya, Ethan mau berusaha untuk membuka hatinya. “Apa kamu sedang bercanda?”
Ethan memutar bola matanya dengan malas. “Aku sudah menyiapkan semua ini, dan kamu masih mengira aku sedang bercanda? Keterlaluan sekali,” ucapnya dengan ketus.
Vio tersenyum geli. “Kamu tidak perlu bertanya. Tentu saja aku mau menikah denganmu, aku ingin menjadi ibu dari anak-anakmu, dan aku mau menua bersamamu,” ucapnya dengan suara parau seolah menahan tangisnya.
Kedua sudut bibir Ethan tertarik membentuk sebuah senyuman yang begitu manis. Ia pun memegang tangan Vio, menarik cincin yang lama di sana dan menggantikannya dengan cincin yang baru. Dikecupnya punggung tangan gadis itu dengan lembut. “Terimakasih sudah menerimaku, sayang,” ucapnya yang semakin membuat wajah Vio memerah. Ia pun berdiri dan memeluk gadis itu dengan erat.
Vio tidak bisa menahan tangisan harunya lagi. “Terimakasih, Ethan. Terimakasih sudah mau membuka hatimu untukku,” ucapnya.
Setelah acara makan malam itu, Ethan pun mengajak Vio kembali karena malam sudah larut. Namun tak jauh setelah mereka masuk ke sebuah tol dalam kota…
Brak!!
“Ethan!”