“Maafkan aku, Bi. Aku salah.” Vio tertunduk di depan Abi yang menatapnya dengan menuntut jawaban. “Harusnya aku bilang semuanya dari awal. Semua terlalu tiba-tiba. Aku mendapat banyak masalah dan aku pikir caraku mungkin salah untuk menyelesaikannya. Aku tidak berniat untuk menyakitimu.”
Abi tampak enggan membalas ucapan Vio. Pria itu hanya mengulurkan tangannya, menarik Vio ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang selalu ia rasakan, tapi kali ini kehampaan terasa jelas di rongga dadanya. Sebuah rasa kehilangan yang besar, yang tiba-tiba merambat di rongga dadanya sampai membuatnya nyeri. Sekuat mungkin ia menahan diri untuk tidak menangis apalagi menunjukkan kekecewaan yang amat sangat di depan Vio meski saat ini ia akui jika dirinya kecewa. Karena Vio adalah gadis pertama yang membuatnya nyaman dalam berhubungan. “Aku pikir hubungan kita bisa berjalan lama tapi kamu memilih jalan yang berbeda. Aku hargai itu. Aku harap kamu bahagia bersamanya.” Ia melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata milik Vio yang menempel di pipi gadis itu.
Vio masih terisak. Melihat ketegaran Abi saat ini malah semakin membuat hatinya nyeri. Harusnya ia bisa memberitahu Abi lebih dulu sebelum Abi tahu dari media. Sekarang ia malah berkali-kali lipat menyakiti mantan kekasihnya ini.
“Kita masih bisa jadi teman kok. Kamu tenang saja. Walau mungkin aku akan jarang menemuimu karena aku juga manusia, Vio. Aku butuh waktu untuk sembuh dari rasa sakitku.” Abi menatap Vio dengan sendu. Lalu ia melepaskan tangan Vio dan berbalik. Langkahnya tampak goyah tapi ia berusaha tegar dengan sisa-sisa kekuatan hatinya yang ia miliki.
Beberapa orang tampak menatap penuh rasa kasihan pada Abi yang akhirnya pergi meninggalkan Vio. Juga tatapan penuh kebencian saat mereka menatap Vio yang tengah menahan isakannya agar tidak semakin menjadi. Bukan simpatik, mereka malah menghujat gadis berambut cokelat itu.
“Dasar matre! Bersyukur Abi mau jadi pacar kamu, tapi malah selingkuh sama selebgram. Dasar manusia yang nggak pernah puas!”
“Cih! Kok mau ya Ethan menikah sama Vio?”
“Dipelet kali tuh Ethan sama Vio.”
“Apa udah dihamilin sama Ethan duluan kali ya?”
“Bisa jadi. Ethan kan punya catatan buruk walau ya dia tampan dan kaya juga sih.”
“Duh! Siapa sih yang menolak dihamilin sama pria sesempurna Ethan?”
Tidak kuat mendengar segala caci maki tentang hubungannya dengan Ethan, Vio memilih untuk pergi tanpa memperdulikan berbagai kecaman tentangnya lagi yang masih terus berlanjut. Bahkan beberapa orang terang-terangan menyorakinya. Ia tahu dirinya salah telah menyakiti pria sebaik Abi. Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti dengan masalah yang ia hadapi, juga pilihan-pilihan yang sebenarnya tidak ia inginkan. Terkadang memilih justru akan menjatuhkanmu, tapi selagi pilihan itu adalah yang terbaik menurutmu, maka jalanilah. Orang lain hanya bisa berkomentar dengan pilihanmu, tapi kamu yang menjalani kehidupanmu sendiri, tanpa mereka.
Berjalan tanpa arah, Vio berdiri di depan taman yang berada di pusat kota. Taman itu begitu ramai, walau begitu ia tidak merasakannya. Hatinya terasa begitu sepi saat ini. Ia tidak menyangka jika hubungannya dengan Abi yang selalu baik-baik saja harus berakhir seperti ini. Demi kesehatan sang ayah. Jika harus memilih pun, Vio akan tetap memilih ayahnya sendiri. Satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Kekasih apalagi cinta dari pria, mungkin masih ada kesempatan suatu saat nanti. Tapi untuk kehidupan seorang ayah yang telah membesarkannya sejak dulu, hanya ada satu kesempatan. Yaitu saat ini. Jika ia kehilangan kesempatan itu maka tidak akan ada kesempatan lain.
Mendadak hujan turun begitu deras, orang-orang di sekitar Vio berhamburan mencari tempat meneduh. Namun gadis itu masih duduk diam di kursi yang menghadap ke air mancur. Tetesan hujan yang semakin deras mengenai kulitnya tak ia pedulikan. Ia hanya berharap jika semua rasa sakit dalam rongga dadanya kini bisa memudar seiring air hujan yang mengenai tubuhnya. Perlahan gadis itu bangkit dari tempatnya, berjalan menuju rumah sakit tempat ayahnya kini masih dirawat. Tidak terlalu jauh dari taman ini, tapi jika berjalan di bawah hujan seperti ini… tubuhnya akan jauh lebih basah.
Dari dalam mobil, Abi hanya memperhatikan langkah kaki yang terlihat gontai dari gadis yang pernah menjadi kekasihnya selama beberapa tahun terakhir ini. Gadis yang begitu ia cintai tapi sudah tidak bisa ia miliki lagi. Meski cintanya seluas samudera sekalipun, tapi jika Vio memilih pergi… Abi tidak bisa menahannya sama sekali. Baginya cinta adalah sebuah rasa yang tidak bisa dipaksa, begitupun sebuah hubungan. Hubungan harus dimulai dengan rasa suka sama suka, bukan berdasarkan paksaan. Jadi jika pada akhirnya Vio memilih untuk bersama Ethan, ia tidak bisa berbuat banyak.
“Kata orang, membiarkan orang yang dicintai bahagia dengan pilihannya sendiri akan membuat kita juga bahagia. Akan tetapi, kenapa kamu terlihat tidak bahagia dengan pilihanmu? Dan aku pun di sini juga tidak bahagia sama sekali. Jika semua ini memang pilihanmu, aku hanya bisa mendukungmu, Vio. Aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat kamu lagi. Maaf jika selama beberapa waktu aku hanya akan memandang kamu dari jauh. Karena berada di dekatmu, aku merasa begitu rapuh.” Perlahan Abi kembali menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari sana. Menyisakan sejuta rasa perih yang ada di dalam hatinya, yang entah kapan akan membaik.
…………..
“Kamu habis darimana?” Suara pria menyambut Vio yang baru masuk ke dalam kamar rawat ayahnya. Ternyata Ethan. Pria itu masih mengenakan jas navy, sepertinya saat pulang kerja dia langsung ke sini. Ethan tampak heran melihat Vio yang datang dengan baju basah kuyup. Apalagi ia tahu jika di luar sana hujan turun sangat deras.
“A-aku… “
Ethan berjalan mendekat ke arah Vio. “Tadi ayahmu sempat kritis. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Jangan biarkan dia sendiri terlalu lama. Untung saja tadi aku mampir ke sini sekaligus memastikan semua tagihan rumah sakit sudah lunas.”
“Apa? Ayah… ayah kritis?” Vio membulatkan matanya dengan tak percaya. Ia langsung berjalan mendekat ke tubuh Anton yang masih terbaring tapi Ethan mencegahnya.
“Bersihkan dulu tubuhmu. Ayahmu sedang sakit, bisa saja kamu malah menularkan bakteri atau virus dengan keadaan seperti ini,” ucap Ethan dengan agak ketus.
Vio menyadari tubuhnya yang memang basah kuyup dan pastinya kotor. Padahal kesehatan ayahnya sedang tidak baik, seharusnya ia bisa menjaga ayahnya dengan baik bukan malah memperparah keadaannya. “Baiklah. Terima kasih sudah menjaga ayahku.”
“Kamu tidak perlu bekerja paruh waktu lagi,” ucap Ethan lagi ketika Vio bersiap masuk ke dalam toilet.
Vio langsung membalik badannya, menatap Ethan dengan bingung sekaligus tak terima. “Kenapa? Aku butuh pekerjaan itu.”
“Kamu tidak membutuhkannya lagi. Uang bulanan dariku pasti cukup untuk kehidupanmu dan ayahmu. Aku yang akan menanggungnya.”
“Tapi… itu terlalu…”
“Anggap saja sebagai balas budi dariku,” potong Ethan langsung. “Karena kamu telah mengorbankan masa depan dan cintamu untuk menikah denganku,” lanjutnya yang kemudian keluar dari ruangan Anton, meninggalkan Vio yang masih mematung di tempatnya.