“Tolong aku.” Vio mengatakannya dengan bibir bergetar.
Ethan mengusap rambutnya ke belakang lalu duduk di samping Vio, menatap gadis itu dalam-dalam. Ia memang sudah menduga jika Vio akan segera menemuinya dan mungkin menyetujui kontrak mereka. Akan tetapi ia tidak menyangka jika semua itu secepat ini. “Ada apa?”
Vio menoleh ke arah Ethan dengan mata yang sudah berkaca-kaca karena menahan tangisnya. Sedari tadi ia mencoba untuk kuat tapi nyatanya ia tidak bisa. Ia benar-benar butuh seseorang untuk berbagi. Walau seharusnya ia punya Abi sebagai tempatnya berbagi keluh kesah, entah kenapa ia malah ke rumah Ethan. Orang yang pertama ada di dalam pikiran kacaunya hanya pria yang bahkan tidak terlalu ia kenal. Vio nekad hanya demi biaya pengobatan sang ayah yang tak mungkin bisa ia dapatkan sendiri. Padahal ia tidak tahu pria seperti apa Ethan. Ia hanya tahu pria itu dari berbagai berita di social media yang ia baca dan jelas hal itu tidak cukup menjelaskan semuanya.
Vio akan menerima resiko apapun. Bahkan meski Ethan adalah pria yang mengerikan sekali pun, ia akan tetap berusaha agar pria ini mau membiayai pengobatan ayahnya. Agar ayahnya bisa segera dioperasi dan sembuh. “A-aku butuh biaya untuk pengobatan ayahku. Apapun… apapun akan aku lakukan, termasuk menandatangani kontrak… itu,” ucapnya dengan nada terbata-bata.
Ethan terdiam sejenak. Pria itu hanya mendengus kasar lalu beranjak dari tempatnya. “Baiklah jika kamu akhirnya mau menyetujui semuanya.” Ia mengambil map yang ada di laci lemarinya dan menyerahkannya pada Vio. “Tanda tangan di atas materai. Dan aku akan memberimu waktu selama satu minggu untuk kamu mengatakannya pada pacarmu soal pernikahan kita. Atau kamu ingin dia tahu sendiri dari media, itu terserah.” Ia mengedikkan bahunya.
Vio menelan ludahnya. Bahkan ia harus mengorbankan hubungannya dengan Abi demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Ia hanya mengangguk pelan lalu mengambil pulpen dan menandatangani kontrak di depannya. Ia menghela nafas ketika kontrak itu kembali diambil oleh Ethan dan digenggam oleh pria itu.
“Di mana ayahmu?”
“Di rumah sakit Albina.”
“Baiklah. Ayo kita ke sana.” Ethan langsung menarik tangan Vio dan mengajak gadis itu turun.
…………..
Setelah biaya pengobatan dan perawatan ayah Vio dilunasi oleh Ethan, Vio duduk di depan ruangan ayahnya. Ia tampak sangat tertekan dan ketakutan saat ayahnya sudah masuk ke dalam ruang operasi.
Ethan hanya duduk di samping gadis itu dan menepuk-nepuk pundaknya demi menguatkan calon istrinya ini. “ayahmu pasti akan selamat.”
Vio menatap Ethan yang baru saja menguatkannya. Ia hanya mengangguk pasrah.
“Soal pernikahan, aku yang akan siapkan semuanya. Kamu hanya perlu menyiapkan diri.”
“Per-pernikahan? Kamu bilang itu hanya pura-pura, kan?” tanya Vio yang terlihat bingung.
Ethan akhirnya menghela nafas. Ia salah karena tidak mengatakan sejak awal. “Maaf. Tapi mommy tahu rencanaku dan dia tidak suka jika aku mempermainkan pernikahan. Dia mau aku sungguh-sungguh menikahimu. Bahkan dia mau aku membawamu untuk menemuinya.”
“Ta-tapi…”
“Sebagai gantinya, semua hutang dan biaya hidup kamu dan ayahmu aku yang tanggung. Bahkan setelah kita nantinya berpisah jika tidak ada kecocokan. Yang penting kita melakukan pernikahan sungguhan.”
Vio masih tidak mengerti. Itu artinya dia harus menjadi istri Ethan yang sesungguhnya, menjalani pernikahan yang sebenarnya. Entah untuk berapa lama. Beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun? Siapa yang bisa menjamin jika semua berjalan sesuai rencana? Itu berarti hubungannya dengan Abi harus benar-benar berakhir. Mana mungkin Abi mau menunggunya dan tetap menjalin hubungan dengannya ketika ia sudah menjadi janda nantinya. Itu pun jika pernikahannya dengan Ethan memang akan berakhir. Jadi, demi kebaikan mereka berdua… Vio benar-benar harus mengakhirinya dengan Abi. Ia tidak mau mempermainkan pria yang baik itu.
“Terimakasih.”
…………..
Abi menutup pintu ruangan dosen tempatnya bimbingan. Ini adalah bimbingan terakhirnya karena dua hari lagi ia akan melaksanakan sidang skripsinya. Jadwalnya sudah keluar dan kebetulan ia mendapat jadwal di hari terakhir. Ia sudah sangat siap untuk sidang skripsinya. Ia pun berjalan menuju kantin kampus karena Vio telah menunggunya di sana. Gadis itu menjadi penyemangatnya untuk lekas lulus dan bekerja. Ia ingin segera menabung agar bisa menikahi gadis yang sangat ia cintai itu.
Saat sampai di kantin, Abi melihat Vio yang sedang mengaduk-aduk milkshake strawberrynya dengan tatapan kosong. Ia pun duduk di samping gadis itu yang membuat Vio langsung menoleh ke arahnya. Gadis itu tampak kaget dengan kedatangannya. “Kamu udah dateng.”
“Kamu kemana aja sih?” Abi langsung merangkul pundak Vio, membuat orang-orang yang ada di sana iri dengan keromantisan mereka berdua. Apalagi Abi yang selalu memperlakukan Vio dengan sangat baik. Jelas menimbulkan rasa iri di mata gadis gadis yang menyukai pria itu.
“A-ayahku sakit dan baru dioperasi. Makanya aku nggak masuk kerja dan kuliah beberapa hari kemarin,” ucap Vio yang merasa gugup. Meski ia tidak berbohong soal dirinya yang ijin tidak kuliah dan tidak bekerja serta ayahnya yang jatuh sakit. Semua itu benar.
“Om Anton sakit? Ya ampun. Kok kamu nggak bilang ke aku sih? Aku mau jenguk ayahmu.” Abi terlihat khawatir.
Vio menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Ayah butuh istirahat banyak karena masih kritis pasca operasi.”
“Kok kamu nggak ngabarin aku sih? Kamu melewati semua itu sendirian. Padahal kamu punya aku untuk berbagi. Kamu kebiasaan deh. Aku tahu kamu kuat, tapi sesekali bersandarlah ke aku, Vio. Aku akan senang jika kamu mau berbagi soal kehidupan kamu ke aku. Kita sudah lama pacaran, kan?” Abi memegangi tangan Vio dan mengusapnya dengan lembut.
Vio hanya diam. Ia bingung. Sebenarnya ia ingin mengatakan semuanya saat ini juga, soal ia yang ingin mengakhiri hubungan mereka yang sudah terjalin tiga tahunan ini. Tapi ia jadi tidak tega, terlebih ia masih mencintai Abi. Sayangnya rasa cintanya pada Abi masih kalah besar dengan rasa cintanya pada sang ayah sehingga ia harus mengorbankan kekasihnya demi keselamatan ayahnya. Apalagi yang ia tahu jika dua hari lagi Abi akan melaksanakan sidang skripsi. Jika ia mengatakannya sekarang, itu sangatlah egois. Ia yakin Abi pasti tidak akan fokus dan Vio takut jika pria ini bisa kacau dalam sidang skripsinya.
Cinta pada kekasih mungkin memang bisa diakhiri dan dimulai lagi dengan lembaran baru. Tapi cinta pada orangtua, hanya punya satu kesempatan dalam seumur hidup.
“Maaf ya, Bi. Aku hanya tidak ingin merepotkan kamu.”
“Aku malah sangat senang jika direpotkan sama pacar aku sendiri, Vio. Setelah sidang selesai, aku janji kalo aku akan menjenguk ayah kamu ya. Kamu jangan khawatir, ayahmu pasti baik-baik saja.” Abi mengusap puncak kepala Vio dengan lembut.
……………..
“Bi. Ini pacar kamu, kan?” tanya Meta, gadis yang kebetulan satu kelompok dengan Abi saat mereka berdua sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruang sidang skripsi. Kebetulan mereka ada di dua nomor terakhir. Gadis berambut pendek itu menunjukkan ponselnya ke Abi.
Abi membulatkan matanya tak percaya saat melihat berita yang ada di depan matanya. Berita yang mengatakan soal rencana pernikahan Ethan dengan salah satu gadis yang masih menjadi mahasiswi di kampus Unibda. Kampus mereka saat ini. Di sana jelas-jelas ada foto Vio yang sedang makan malam dengan Ethan. Senyum yang terulas di wajah gadis itu menimbulkan rasa nyeri pada rongga dadanya. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit.
“Gila ya! Masa sih dia mengkhianati kamu karena Ethan? Mata duitan banget ya ternyata cewek kamu itu. Pantas saja banyak yang nggak setuju sama hubungan kalian. Vio tuh terlalu buruk untuk kamu, Bi.”
Abi hanya diam dan mengembalikan ponsel di tangannya ke Meta. Ia tidak berkomentar apa-apa. Yang ia tahu pikirannya sangat kacau saat ini. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Dua hari yang lalu hubungan mereka masih baik-baik saja dan Vio tidak mengatakan apa-apa. Jadi apa maksudnya semua ini?
……………..
Walau dengan pikiran yang kacau, Abi tetap menyelesaikan sidang skripsinya dengan baik. Meski beberapa pertanyaan membuat otaknya ngeblank, tapi ia berhasil menjawabnya dengan benar. Ia pun dinyatakan lulus dengan nilai sempurna. Perjuangannya sama sekali tidak sia-sia, meski ia harus belajar begitu keras demi mematangkan materi tentang skripsinya. Begitu ia keluar dari ruang sidangnya karena ia mendapat giliran terakhir, beberapa orang langsung menyambutnya. Terutama para gadis yang memberinya bucket bunga, boneka maupun snack terutama cokelat.
“Selamat ya, kak. Akhirnya kakak lulus.”
“Selamat ya kak Abi.”
“Akhirnya lulus ya kak. Doakan biar aku segera menyusul ya.”
“Dimakan ya cokelatnya, kak. Semangat revisiannya ya.”
Berbagai ucapan selamat hanya Abi tanggapi dengan senyuman dan anggukan kecil. Pikirannya benar-benar sedang tidak ada di sini. Ia melihat ke sekitarnya dan menemukan Vio yang berdiri di barisan paling belakang. Gadis itu menatapnya dengan ekspresi sedih sembari memeluk bucket boneka di tangannya.
Kenapa justru gadis itu yang terlihat sedih? Harusnya kan dirinya. Abi terlihat bingung. Ia pun memutuskan untuk menghampiri Vio yang seakan semakin menciut di tempatnya. “Ada yang mau kamu katakan?” tanyanya dengan nada dingin.
Vio tidak berani membalas tatapan Abi yang terlihat begitu menusuk dirinya. Ia tahu ia memang salah. Seharusnya sejak awal ia memberitahukan ke Abi soal semua yang terjadi. Setidaknya ia yang memberitahu Abi lebih dulu dibanding Abi yang tahu dari orang lain, bahkan dari berita yang beredar sejak tadi pagi. Terkadang memang begitu mneyakitkan ketika kamu mengetahui fakta buruk soal kekasihmu dari orang lain, bukan dari kekasihmu sendiri. Rasanya pasti seperti dikhianati. “Maafkan aku.”