Part 13- Dipengaruhi

1320 Kata
“Baru pulang, Bi?” tanya seseorang yang saat itu duduk di ruang TV dan sedang menonton acara sepak bola favoritnya. “Kakak sudah pulang? Sejak kapan?” Abi bertanya balik saat tahu Fabianlah yang sedang duduk di sana. Kakak satu-satunya yang Abi miliki. Padahal setahunya Fabian masih di Singapore karena sedang membuka restoran keluarga mereka yang terbaru di sana.”Kok nggak ngabarin aku?” “Sengaja. Mau kasih surprise ke kamu.” Fabian tersenyum tipis. “Bagaimana sidang skripsinya?” Abi mengulas senyum yang terlihat terpaksa. “Lulus kok.” Fabian beranjak dari tempatnya, lalu menepuk-nepuk pundak adiknya. “Kakak tahu kamu bisa. Lalu kenapa wajahmu seperti tidak senang? Kan sudah jadi sarjana sekarang. Sebentar lagi bisa melanjutkan bisnis keluarga kita.” Abi menundukkan kepalanya, menutupi rasa kecewa yang sebenarnya tidak akan pernah bisa ia sembunyikan di depan kakaknya sendiri. Satu-satunya keluarga yang dekat dengannya karena kedua orangtuanya tinggal di luar kota. Seakan tahu apa yang membuat sang adik sedih, Fabian mengulas senyum setipis mungkin dan penuh arti. “Pasti gara-gara gadis itu. Siapa namanya? Vio? Dia pacar kamu kan… eh! Mantan pacar,” ucapnya membuat Abi menangkat wajahnya dan menatap Fabian dengan bingung. “Darimana kakak tahu soal Vio?” Abi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Padahal ia tidak pernah cerita apapun ke Fabian soal Vio. Meski mereka begitu dekat, tapi untuk membicarakan pacarnya sendiri rasanya sungkan. Apalagi Fabian sudah lama sendiri sejak disibukkan dengan bisnis keluarga mereka. “Kakak sibuk bukan berarti tidak memperhatikan kamu, Bi. Kakak tahu semuanya termasuk soal gadis itu yang mengkhianati kamu.” Fabian menekankan kata ‘mengkhianati’ dalam ucapannya. “Aku tidak tahu alasan dia melakukan itu, Kak. Mungkin ada hal yang tidak aku tahu. Atau sesuatu yang tidak dia temukan padaku tapi dia temukan pada pria itu.” Abi tampak melengoskan wajahnya, lagi-lagi menyembunyikan perasaan sakit yang melanda hatinya. “Ya. Harta yang kamu punya jelas tidak sebanyak yang pria itu punya makanya dia lebih memilih pria itu dibanding kamu.” Fabian menyimpulkan dari berita-berita yang telah ia baca. Abi menatap kakaknya kembali dengan tatapan tajam. “Vio tidak seperti itu, Kak. Sepeserpun dia tidak pernah memerasku dulu. Dia gadis yang mandiri. Jadi harta jelas bukan alasannya meninggalkan aku. Aku yakin itu.” Fabian malah tersenyum sinis. “Itu hanya topengnya demi mendapatkan pria yang jauh lebih kaya. Gadis itu murahan, Bi. Dia tidak pantas untukmu.” “Jangan bicara seperti itu, kak. Kakak tidak mengenal Vio. Aku mengenalnya dengan baik. Dia… dia tidak seperti itu.” “Jangan munafik, Bi. Semua gadis seperti itu. Itulah alasan kakak menyendiri hingga kini, karena semua yang diinginkan para gadis adalah uang. Jarang sekali mereka yang tulus.” Fabian terlihat serius kali ini. Abi hanya diam di depan Fabian, tidak berani menatap kakaknya balik. “Buat dia kapok telah menyakitimu, Bi. Jangan terlalu jadi pria yang baik. Yang berkhianat harus dapat balasannya. Kamu ingat yang mommy lakukan pada daddy, kan?” ucap Fabian lagi. “Mommy meninggalkan daddy dan kita demi pria yang lebih kaya. Mantanmu itu seperti itu.” Abi kembali teringat akan masa kecilnya ketika satu-satunya wanita yang ia miliki dalam hidupnya meninggalkan ia, kakaknya serta daddy-nya demi pria lain. Sekarang mereka sudah bahagia dengan keluarga barunya di London. Sedetik pun tidak pernah wanita itu menanyakan kabar mereka di sini. Meski sekarang ia telah memiliki Ibu tiri yang sangat baik, tetap saja ditinggal Ibu kandung adalah hal yang paling menyakitkan. “Menjadi yang tidak dipilih itu menyakitkan, Bi,” ucap Fabian yang sama terlukanya. Namun ia lebih pintar menyembunyikan kesakitannya. Tentu saja karena ia lebih dewasa dari adiknya. “Sedikit saja, beri gadis itu hukuman. Hukuman yang akan membuatnya menyesal karena telah memilih pria itu dibanding kamu.” “Maksudnya?” Abi tidak mengerti dengan ucapan Fabian. “Renggut sesuatu yang berharga darinya. Itupun jika kalian memang belum pernah melakukannya.” Fabian tersenyum miring, menyiratkan apa yang ia katakan. Abi terdiam dan tampak berpikir. Sebagai pria, tentu ia tahu apa yang Fabian maksud. Namun hal itu… hal itu tidak pernah terbersit sedikit pun olehnya. Selama ini hubungan ia dan Vio hanya sekedar jalan, belajar bersama, makan malam, liburan. Untuk hal sedalam itu, jujur saja Abi tidak pernah melakukannya. Mereka hanya pernah berciuman singkat dan saling memeluk erat. Wajahnya mendadak memerah setelah menyadari apa yang Fabian maksud. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, Kak. Aku tidak mau melukainya.” “Dan membiarkan dia melukaimu? Bahagia di atas penderitaanmu? Jika kamu bisa merenggutnya, kakak yakin dia tidak akan bahagia apalagi jika pria itu tidak bisa menerima kekurangan Vio. Kakak yakin pernikahan mereka akan berantakan. Dia akan merasakan rasa sakit yang sama, seperti yang kamu rasakan. Bahkan jauh lebih sakit, Bi.” Fabian kembali meyakinkan adiknya. “Pikirkanlah baik-baik. Menjadi baik tidak selamanya membuatmu bahagia, terkadang kamu butuh sedikit menjadi lebih jahat. Maka gadis itu tidak akan meremehkan kamu lagi.” Ia menepuk-nepuk pundak Abi lalu naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Abi mengepalkan tangannya, kembali memikirkan apa yang Fabian bicarakan barusan. Kepalanya menggeleng dengan cepat. “Tidak. Aku tidak bisa melukainya.” …………… “Vio. Kamu katanya putus sama Abi ya?” tanya Tasya yang kebetulan sedang duduk bersama Vio di ruang komunitas pencak silat. Vio yang sedang melamun pun langsung tersadar dan menatap gadis berambut panjang yang dikuncir ekor kuda yang sedang duduk di depannya. “Eh. Itu… benar.” Kepalanya mengangguk pelan. Ia bahkan siap jika Tasya akan memakinya seperti gadis lain di kampus ini. “Dan kamu benar mau menikah dengan Ethan? Dia kan pengusaha besar. Dia juga selebgram loh dan banyak jejak buruk soal dia. Kamu yakin? Kok bisa?” Tasya kembali bertanya dengan bersemangat. Vio mengedikkan bahunya. “Aku juga tidak mengerti, Sya.” “Aku harap pilihanmu benar, Vi. Aku tidak akan menyudutkanmu seperti yang lain karena aku tahu gadis seperti apa kamu. Aku hanya khawatir jika kamu hanya dimanfaatkan oleh Ethan. Terlebih jika fans-fans dia membully kamu.” Vio tersenyum tipis, merasa lega karena Tasya sama sekali tidak menyudutkannya. Tepatnya semua anggota di komunitas ini tidak ada yang banyak berkomentar soal hubungan rumit di antara Vio, Abi dan Ethan. Tidak seperti mahasiswi lain yang hanya bisa menghujat tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. “Aku harap aku akan baik-baik saja.” “Jika kamu butuh bantuan atau mereka mulai kelewatan, kami siap mendukung kamu kok.” Tasya menepuk paha Vio, berusaha menguatkan temannya itu. “Terima kasih, Sya.” “Jangan lupa undang-undang ya pas pesta pernikahan nanti. Siapa tahu komunitas kita jadi terkenal.” Tasya mengedipkan sebelah matanya, berusaha mencairkan suasana. Vio terkekeh kecil. “Tentu saja. Kalian pasti diundang kok.” ………….. Abi terdiam di dalam mobilnya yang tak jauh dari pagar kayu yang menjadi pembatas rumah sederhana milik seseorang yang pernah ia miliki. Seseorang yang pernah berbagi rasa dengannya. Rumah yang dulu sering ia kunjungi, bahkan hampir setiap hari. Hanya demi memastikan jika gadisnya sampai di rumah dengan selamat. Namun sekarang, semua itu hanya kenangan. Berada di sini sebenarnya hanya membuat lukanya kembali menganga. Padahal selama tiga hari ini ia berusaha menghindari Vio di kampus. Untunglah ia hanya tinggal merevisi skripsinya sebelum di hardcover dan disahkan kembali. Jadi waktunya akan semakin sempit untuk menemui gadis itu. Namun untuk saat ini ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat Vio. Ia rindu. Tiba-tiba ucapan Fabian terngiang kembali dalam benaknya. Ucapan-ucapan yang terasa mustahil untuk Abi lakukan. Namun dengan cepat segala berita soal Vio yang akan segera menikah dengan selebgram sekaligus pengusaha ternama itu melintas di dalam kepalanya bagai memory-memory yang berusaha ia lupakan. Memory-memory yang membuat luka lebar dalam hatinya. Abi melihat Vio memasuki pagar rumahnya dengan gontai. Ia tidak bisa melihat wajah Vio dengan jelas karena keadaan di sekitarnya cukup gelap. Lampu-lampu jalan pun sangat redup ditambah rintik hujan yang membuat suasana semakin sendu, seperti hatinya saat ini. “Aku hanya ingin menemuinya sekali. Ya, hanya menemuinya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN