Abi membawakan nampan berisi dua mangkuk soto bogor dan es kopi kesukaan Vio. Setelah ia selesai bimbingan dengan dosen beberapa menit yang lalu, ia langsung menemui gadis itu di kelasnya yang kebetulan baru saja selesai dan mengajaknya makan siang bersama seperti biasa. Ia tahu akhir-akhir ini Vio seperti banyak pikiran, hal itu membuatnya khawatir dan memutuskan untuk semakin memperhatikan kekasihnya itu. Ia tahu Vio adalah tipe gadis yang menyembunyikan semua masalahnya sendiri. Ia tahu gadis itu kuat dan bisa menyelesaikan masalahnya, tapi andai Vio mau bercerita sedikit padanya, mungkin saja ia bisa membantunya. Atau setidaknya meringankan beban gadis itu agar tidak memikirkan masalahnya sendirian.
“Makan siang dulu ya. Kamu kelihatan kurus banget akhir-akhir ini. Apa ada masalah di komunitas atau keluarga kamu?” tanya Abi mencoba membujuk agar Vio mau sedikit membuka dirinya.
Vio hanya menggeleng pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, hal yang biasa ia lakukan untuk menutupi kegundahannya. Abi sudah sangat hapal dengan tingkah kekasihnya ini. “Aku nggak apa-apa kok. Hanya ada sedikit masalah di café,” ucapnya berbohong.
“Kalo mau kamu bisa bekerja di restoran keluargaku, Vio. Mereka juga menerima part time kok. Mungkin akan menjadi peluang yang bagus untuk kamu,” ucap Abi yang sejak awal sering menawarkan Vio untuk bekerja di restoran milik keluarganya yang sudah memiliki banyak cabang di kota ini maupun di luar kota. Sayangnya Vio selalu menolak.
“Aku tidak mau merepotkanmu, Bi.” Vio menggeleng, menolak penawaran kekasihnya untuk kesekian kali. “Aku senang kok bekerja di café yang sekarang.”
“Ya sudah jika kamu nggak mau. Sekarang makan dulu ya. Nanti aku antar kamu ke café. Oke?”
Vio hanya mengangguk pelan. Ia pun memakan makanan yang sudah Abi pesankan untuknya. Pria itu selalu tahu kesukaannya. Soto mie Bogor. Makanan simple yang bisa ia nikmati meski moodnya sedang berantakan.
“Permisi. Anda nona Vio, kan?” suara berat seorang pria membuat Vio yang sedang asik menikmati makanannya mendongak dan agak kaget ketika melihat wajah pria itu. Pria yang ia temui saat di Bogor dan yang menolongnya untuk naik dari jurang. Pria yang sepertinya teman dari pria angkuh bernama Ethan itu.
“Anda siapa ya?” tanya Abi yang terlihat curiga.
“Saya hanya ingin nona Vio menemui bos saya. Apa nona bersedia?” tanya pria berjas abu-abu itu lagi.
“Untuk apa?” tanya Vio kali ini. Keningnya telah mengerut sempurna. Untuk apa Ethan ingin menemuinya lagi? Bukankah sudah jelas jika ia telah menolak penawaran gila dari pria itu? Dan sejak kapan Ethan tahu jika ia kuliah di sini? Ah! Pria angkuh itu pasti melakukan segala cara untuk menemukannya. Dasar menyebalkan!
Danish pun mendekat ke arah Vio, membuat Abi semakin curiga. Pria itu membisikkan sesuatu ke telinga Vio. “Soal Restu dan hutang keluargamu.”
Sial! Bagaimana dia bisa tahu soal hal itu? Batin Vio dengan kesal. Ia pun akhirnya setuju untuk ikut dengan Danish. “Aku harus pergi sebentar, Bi,” ucapnya pada Abi yang masih menaruh curiga pada pria berjas abu-abu itu.
“Aku bisa menemani kamu, Vio. Bagaimana jika dia ingin berbuat jahat?” Abi menatap tajam pria yang kini berada di samping Vio itu.
Vio menggeleng seraya tersenyum kecil, pertanda jika semua akan baik-baik saja dan ia bisa menjaga diri. “Aku bisa menjaga diri kok. Lagipula aku mengenal bosnya. Nanti aku akan kembali atau mungkin aku berangkat ke café sendiri aja,” ucapnya.
Abi akhirnya hanya menghela nafas lalu akhirnya pria itu mengangguk. “Baiklah. Terserah kamu. Kabari jika terjadi sesuatu ya,” ucapnya yang akhirnya pasrah.
“Baiklah.” Vio pun akhirnya mengikuti Danish ke sebrang kampusnya yang terdapat sebuah café. Café yang ia tahu menu-menunya cukup mahal untuk ukuran anak kampus. Hanya anak-anak orang kaya yang biasanya menghabiskan waktu di café itu. Bukan mahasiswi dengan gaji part time pas-pasan sepertinya.
Vio melihat pria berkemeja merah maroon itu duduk membelakanginya, Danish tampak menghampiri pria itu hingga dia menoleh ke belakang dan menatapnya. Senyum pria itu mengembang, membuat perasaan Vio jadi tidak enak. Danish pun menyuruh Vio agar duduk di depan Ethan. “Ada apa?” tanyanya to the point. Ia merasa tidak enak jika harus berlama-lama dengan pria yang baru bertemu dengannya seminggu yang lalu itu. Apalagi kesan pertama di antara mereka sangat buruk.
Sementara itu Danish memilih pergi dan memesankan makanan untuk dua orang yang sedang duduk berhadapan itu.
“Aku sudah bilang kan, jika kita akan bertemu lagi,” ucap Ethan sembari tersenyum tipis dan menyandarkan punggungnya di sofa.
Vio memutar bola matanya dengan malas. “Lalu kenapa?”
Ethan menyodorkan map yang berisi sebuah dokumen ke depan Vio. Gadis itu hanya menaikkan sebelah alisnya. “Bacalah, dan kau akan tahu maksudku menemuimu di sini. Aku sudah bilang, penawaranku sangatlah menguntungkan untukmu. Ya, itu juga jika memang kamu bisa memanfaatkan peluang. Atau kau mau menyia-nyiakannya? Itu terserah.” Ia mengedikkan bahunya.
Vio hanya menghela nafas lalu membuka map di depannya dan membaca isi dokumen yang ada di dalam sana. Ia membaca kata demi kata di dalam dokumen itu dengan teliti. “Ini sebuah kontrak? Dua ratus juta?” Ia membulatkan matanya saat melihat nilai yang tertera di sana.
Ethan tersenyum kecil saat melihat reaksi gadis di depannya setelah membaca isi kontrak yang Danish buatkan. “Itu hanya bayaran awal setelah kamu menandatangani perjanjian pernikahan kita. Selebihnya kau akan mendapatkan apapun dariku. Uang, kartu kredit, bahkan biaya kuliahmu sampai selesai. Atau kau mau lanjut sampai S2 dan S3 sekalipun, aku yang tanggung. Kau juga bisa bekerja di restoran milik keluargaku jika kau mau, tentu dengan gaji yang besar.” Ia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, dirinya sangat optimis jika Vio akan menerima tawarannya.
Namun yang dilakukan Vio selanjutnya membuat Ethan melotot kesal. Gadis itu menutup mapnya dengan cepat dan membantingnya ke atas meja. “Aku tidak mau. Kau pikir aku gadis matre hah? Menikah pura-pura hanya karena uang.” Nafasnya memburu saking emosinya dengan pria yang duduk di depannya saat ini. Jika saja ini bukan tempat umum, ia sudah pasti akan menghabisi pria menyebalkan ini.
“Aku memilihmu karena aku tahu kamu bukan gadis matre. Aku hanya ingin kamu memanfaatkan peluang yang aku berikan. Apa sulitnya?”
“Aku tetap tidak mau.”
“Dan membiarkan rumah penuh kenangan itu diambil oleh lintah darat?” Ethan menaikkan alisnya dengan tatapan meremehkan.
“Bagaimana kau bisa tahu sejauh itu hah?”
“Tentu aku tahu segala hal soal calon istriku.” Ethan menekankan dua kata terakhirnya dengan senyuman tipis yang membuat Vio merinding seketika.
“Aku masih bisa berusaha. Terimakasih. Jangan pernah menemuiku lagi.” Vio langsung beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Ethan yang sama sekali tidak berniat mencegah kepergian gadis itu.
Ethan hanya diam sembari menatap lurus ke arah Vio yang telah menyebrang kembali ke gedung kampusnya. Ia tahu gadis itu tidak akan dengan mudah menuruti keinginannya. Tapi cepat atau lambat, ia tahu gadis itu akan jatuh ke tangannya. Ia hanya perlu sedikit bersabar.
“Bagaimana ini, Pak? Dia langsung kabur begitu.” Danish tampak khawatir. Pasalnya, awalnya atasannya ini sangat percaya diri jika dia bisa membuat gadis itu menandatangani perjanjian mereka. Tapi sayangnya gadis itu malah pergi begitu saja.
“Kau tenang saja. Kita hanya perlu sedikit bersabar. Tidak sampai satu bulan lagi dia akan kembali padaku dan menawarkan dirinya langsung. Aku yakin, mulai detik ini dia akan terus memikirkanku.”