Part 14- Kejadian Tak Terduga

1458 Kata
Ethan masih sibuk di salah satu cabang restoran miliknya. Seperti biasa, setiap akhir bulan ia akan memantau segala pemasukan dan pengeluaran di restoran yang ia urus ini. Memang tidak semua cabang bisa ia pantau, hanya beberapa saja ketika sempat. Sisanya ia serahkan pada beberapa asistennya yang lain. Kecuali Danish, karena asistennya yang satu itu lebih sering bersamanya dan lebih sering mengurus soal akun social medianya. Tepatnya, Danish seperti manajernya sendiri dalam dunia social media. Maka ketika berita soal Lilian dan dirinya, Danishlah yang paling heboh dan sangat melindungi Ethan. Bagi Danish, Ethan adalah tanggung jawabnya. “Promo-promo untuk restoran kita sudah diupload, kan?” tanya Ethan pada Mario, manajer pemasaran restorannya. Karena kebetulan Mario juga sedang di restoran itu. “Sudah, Pak. Semua promo untuk bulan ini sudah kami upload. Responnya juga sangat bagus, seperti biasa.” Ethan mengangguk-angguk mengerti. “Baguslah. Tapi di cabang Malang sepertinya omset menurun ya?” Ia sedang memeriksa beberapa dokumen di emailnya yang dikirim langsung oleh asisten pribadinya yang ada di sana. “Apa tempatnya kurang strategis?” “Sepertinya karena cuaca di sana sedang tidak bagus, Pak. Jadi pengunjungnya berkurang. Padahal di sana dekat dengan tempat wisata keluarga. Harusnya sangat strategis. Namun tempat wisata itu sudah beberapa hari ini tutup karena perbaikan. Sepertinya karena cuaca jadi ada beberapa tempat yang rusak dan diperbaiki.” “Kamu benar. Sepertinya saya harus menambahkan promo khusus di cabang Malang agar banyak yang tertarik ke sana meski tidak ke tempat wisatanya. Bagaimana menurutmu?” “Boleh juga, Pak. Apalagi di libur panjang seperti ini. Pasti banyak yang tertarik.” Ethan mengangguk. “Baiklah. Kamu urus itu, saya harus pergi sekarang. Terima kasih atas waktunya.” Ia beranjak dari tempatnya. Mario mengangguk. “Sama-sama, Pak. Terima kasih sudah repot-repot mampir ke sini.” Ethan kemudian keluar dari ruangan pribadinya. “Setelah ini mau langsung pulang?” tanya Danish yang menunggu di luar setelah menghabiskan makan malamnya. “Sepertinya aku harus ke rumah sakit lagi. Oh ya, soal persiapan pernikahanku sudah sampai mana?” tanya Ethan sembari melonggarkan dasi yang ia kenakan. “Gaun pernikahannya sudah siap. Ukurannya sudah disesuaikan dengan ukuran Nona Vio. Tinggal fitting terakhir saja.” “Mungkin minggu ini kami akan ke sana. Waktunya sudah semakin sempit.” “Tapi jika ayahnya Nona Vio belum siuman, apa pernikahan akan tetap berlanjut?” tanya Danish yang terlihat ragu. Ethan tampak terdiam. Ada sedikit keraguan di wajahnya. “Aku harap takdir sedikit saja berpihak dengan pria penuh dosa ini.” Ia tersenyum getir. “Aku pergi dulu. Video-video endorsenya harus di upload hari ini juga ya. Para pembisnis itu sangat cerewet. Padahal jelas-jelas kita sangat pilih-pilih dan jelas butuh sedikit waktu. Menyebalkan.” Ia berjalan keluar dari restorannya, menuju mobilnya yang terparkir. Selama ini Ethan banyak menerima barang serta makanan untuk diendorse dengan akunnya. Jelas semua itu tidak asal ia terima. Ia memilihnya dengan teliti. Terutama makanan dan kosmetik-kosmetik yang ia pastikan harus aman dan ber-BPOM. Untuk makanan pun ia harus memastikan proses pembuatan dan bahan-bahannya yang aman. Ia selalu mereview dengan jujur. Jika buruk maka ia akan mengatakannya, maka beberapa orang yang mengendorsenya pun bisa memperbaiki kualitas produknya menjadi lebih baik lagi. Walau beberapa orang juga tidak menyukai reviewnya yang terlalu jujur dan dikira tidak menghargai, padahal ia dibayar untuk setiap postingan dan video endorsenya. Ethan tidak peduli. Baginya ini adalah caranya untuk mereview dan mengendorse. Jika mereka tidak menyukainya, mereka tidak harus mengendorse-nya. Benar, kan? “Aku akan ke rumah sakit sebentar. Bagaimana pun juga ayah Vio akan menjadi mertuaku. Maka aku juga turut andil untuk menjaganya. Apa Vio di sana? Seharusnya iya. Dia kan sudah tidak bekerja lagi. Namun aku harus coba ke rumahnya dulu. Toh sekalian lewat.” Ethan bicara pada dirinya sendiri dan kemudian melajukan mobilnya menembus jalan raya ibukota yang cukup padat. ……………. “Abi?” Vio agak terkejut saat melihat Abi berdiri di depan pintu rumahnya dengan tatapan yang tidak ia mengerti. Seakan ada tumpukan kerinduan dalam tatapan itu. Abi mengusap tengkuknya, pria itu tampak gugup. “A-aku kebetulan lewat. Aku hanya mampir. Aku lihat lampu rumahmu menyala.” Vio mengerutkan keningnya. “Aku pikir kamu tidak mau menemuiku lagi.” Ada kekecewaan dalam nada bicaranya yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia sadar jika dirinya salah, tapi dijauhi oleh pria yang ia cintai juga melukainya. “Maaf. Aku tidak bisa mengendalikan diriku saat itu. Sekarang aku lebih bisa menerima hubungan baru kita.” Abi tersenyum dengan rasa bersalah dalam dirinya. Vio akhirnya tersenyum. Ia senang mendengar keputusan dari mantan kekasihnya itu. Ia tidak menyangka jika semua akan begitu mudah dan Abi bisa menerima segala keputusannya tanpa menuntut lebih. “Aku senang mendengarnya. Aku tahu kamu pria yang baik, Bi.” Tidak selalu begitu, Vio. Abi membatin. “Ayo masuk. Aku buatkan teh hangat ya. Aku mau ganti baju dulu. Soalnya aku baru saja pulang.” Vio segera mempersilahkan Abi masuk ke rumahnya seperti biasa. Toh Abi sudah biasa masuk ke rumahnya seperti ini. Ia tahu Abi adalah pria yang sopan. Abi mengangguk lalu masuk ke dalam rumah Vio yang sudah sangat ia hapal letak setiap barang di sana saking seringnya ke sini. Ia pun duduk di sofa yang biasa ia duduki dulu. “Sebentar ya.” Vio langsung masuk ke dalam dapur dan membuatkan Abi teh hangat. Ia tahu pria itu menyukainya apalagi cuaca malam ini juga sangat pas untuk menikmati secangkir teh hangat. Ia kembali dengan secangkir teh untuk Abi dan meletakkannya di depan pria itu. “Diminum dulu. Aku mau ganti baju dulu ya.” “Iya.” Abi hanya menjawab singkat sembari memperhatikan Vio yang masuk ke dalam kamarnya yang tidak jauh dari ruang tamu. Tanpa curiga sedikit pun, Vio masuk ke dalam kamarnya dan membuka bajunya untuk menggantinya dengan yang baru. Tadinya ia mau mandi dulu tapi karena ada Abi, ia tidak mau pria itu menunggu lama. Brak! Vio terkejut saat pintu kamarnya yang memang tidak pernah ia kunci tiba-tiba terbuka dan Abi berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tak ia mengerti. Vio yang baru saja membuka kaosnya tampak terkejut dan menutupi tubuhnya yang terekspos dengan kaos yang dipegangnya. “Abi. Kamu kenapa?” Ia terlihat takut saat melihat Abi malah berjalan mendekat dengan seringaian yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Abi. Jangan mendekat.” Abi hanya berjalan mendekat ke arah Vio dengan hati-hati, apalagi ia tahu jika gadis di depannya ini pintar bela diri. Tentu tak akan mudah baginya. “Aku kecewa dengan pilihanmu. Aku kecewa dengan keputusan sepihakmu, Vio.” “Ka-kamu kan sudah menerimanya, Bi. Lalu kenapa lagi?” Vio memperhatikan sekitarnya, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. “AKU TIDAK PERNAH MENERIMANYA! PRIA MANA YANG TERIMA JIKA DITINGGALKAN!” Abi tiba-tiba berteriak histeris, membuat Vio semakin ciut di depannya. Vio yang biasanya pintar beladiri pun mendadak kehilangan akal saking takutnya. Apalagi ini adalah yang pertama kali ia hadapi. Ketakutannya jauh lebih besar dibanding keberaniannya selama ini. Ditambah sekarang tangannya yang sibuk menutupi tubuh bagian atasnya. “Jangan macam-macam, Bi. Aku bisa teriak. Kamu bisa celaka nanti.” “Kamu tidak akan berani.” Abi mencengkeram rahang Vio hingga gadis itu tidak berkutik. Lalu matanya menatap ke bawah, area tubuh Vio yang sedikit terekspos. Membuat tubuhnya menegang. “Abi. Kamu pria yang sop…” “Aku bukan Abi yang dulu! Yang bisa kamu lukai dan kamu tinggalkan seenaknya!” Abi langsung melempar tubuh Vio ke atas ranjang hingga kaos dalam genggaman Vio terlepas, menampakkan tubuh bagian atas Vio yang hanya mengenakan bra berwarna merah. “Abi! Stop!” Vio tidak bisa menahan tangis sekaligus rasa nyeri punggungnya yang membentur tepi ranjangnya yang terbuat dari kayu. Rasaya begitu sakit. Harga dirinya seperti diinjak-injak saat Abi menindihnya dan berusaha menciumnya dengan ganas. Ia terus menghindarinya. “Jangan, Bi! Lepasin aku!” Ia terus meronta-ronta. “Diam! Seharusnya aku lakukan ini sejak dulu agar kamu tidak bisa pergi dariku, Vio sayang!” Tangan Abi meremas gundukan di depannya dengan ganas. Vio semakin merasa tidak punya harga diri lagi. Apalagi Abi berusaha membuka celana jeans yang ia kenakan. “Jangan, Bi. Aku mohon.” “Diam dan nikmati saja, Sayang.” Abi memegang erat kedua tangan Vio dengan satu tangannya sementara satu tangannya lagi sibuk menggerayangi tubuh gadis itu. “Lepas, Bi! Argh!” Vio menjerit ketika tangan kekar Abi berusaha mengekspos bagian pangkal pahanya dan berusaha memasukkan jarinya ke dalam sana. “Jangan, Bi!” Abi yang seperti kesetanan pun tidak memperdulikan jeritan menyayat hati dari gadis di depannya. Ia sibuk memainkan jarinya di bawah sana sembari menciumi leher Vio. “b******k!” Sebuah suara terdengar seiring ambruknya tubuh Abi yang menabrak lemari kayu di belakangnya. “Argh!” Abi memegangi kepalanya yang terasa sakit. Penglihatannya terasa memudar. Ia menatap orang yang baru saja menyerangnya. “Ethan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN