Rumah sakit Albina…
Tempat yang paling Vio hindari sejak kepergian Ibunya beberapa tahun yang lalu. Tempat yang menjadi saksi bisu merenggangnya nyawa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, wanita yang merawatnya dengan sangat baik dan penuh kelembutan. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan menginjakkan kakinya ke tempat ini lagi, sayangnya saat ini ia harus melanggar janjinya sendiri. Karena satu-satunya orangtua yang ia punya sedang jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit ini.
Dengan langkah tergesa-gesa, Vio langsung menuju meja informasi untuk menanyakan keberadaan ayahnya. Setelah ia mendapatkan info di kamar mana ayahnya dirawat, ia pun langsung berlari ke sana. Ia membuka pintu ruangan dimana ayahnya kini terbaring. Di sana ada tiga ranjang tapi yang terisi hanya ranjang yang paling dekat dengan pintu, tempat Anton terbaring kini. “Ayah!” Vio langsung memeluk ayahnya yang sudah membuka matanya dan menyambut kedatangannya dengan senyum hangat yang khas. “Ayah kok bisa sakit sih? Pasti makannya nggak bener nih.”
Anton menggeleng pelan sembari mengusap punggung ayahnya dengan lembut. “Ayah baik-baik saja kok. Hanya sakit sedikit, mungkin kecapekan.”
“Tuh kan! Ayah pasti nggak makan dengan benar deh. Aku khawatir tahu. Cukup Ibu yang ninggalin kita, ayah jangan.” Vio menggeleng-gelengkan kepalanya di dalam pelukan sang ayah, pertanda ia begitu takut jika kehilangan ayahnya.
“Iya. Maafin ayah ya.”
Tiba-tiba pintu ruangan Anton terbuka dan seorang wanita berseragam khas perawat datang dan memeriksa keadaan Anton. Vio pun terpaksa melepaskan pelukan mereka dan membiarkan wanita itu memeriksa keadaan ayahnya.
“Bagaimana, sus? Ayah saya baik-baik saja, kan?” tanya Vio dengan nada cemas.
Wanita itu tersenyum tipis. “Mbak keluarganya pak Anton ya? Dokter sudah menunggu anda di ruangannya. Mari saya antarkan,” ucap wanita itu yang membuat Vio menatap ayahnya dengan bingung. Ayahnya hanya mengangguk lalu Vio akhirnya mengikuti perawat itu keluar dari ruangan Anton dan berjalan menuju ruangan dokter yang berada di lantai yang sama.
………….
Langit sore yang kelabu, seakan siap menumpahkan bebannya saat itu juga. Terbukti, beberapa menit kemudian air turun dari langit perlahan dan mulai deras.
Gadis berambut cokelat bergelombang itu tengah duduk di kursi yang mengarah pada taman rumah sakit yang kini basah oleh air hujan. Hatinya terasa sakit saat mengetahui fakta yang baru ia ketahui. Fakta soal penyakit yang menghinggapi tubuh sang ayah. Andai penyakit itu ringan dan dapat dengan mudah disembuhkan, mungkin Vio masih bisa punya harapan. Sayangnya penyakit tumor otak ayahnya sudah perlu pengobatan dengan cepat.
Saat Vio menemui dokter yang menangani ayahnya beberapa menit yang lalu, ia baru tahu jika selama beberapa bulan ini ayahnya diketahui mengidap penyakit tumor otak yang sudah cukup parah. Harus segera dilakukan operasi pengangkatan yang tentu saja membutuhkan biaya yang besar. Ayahnya hanya karyawan biasa di kantornya, dan tentu saja kantornya tidak akan bisa membantu untuk biaya pengobatan ayahnya. Kamar saja pun hanya dibiayai untuk kamar kelas dua. Sisanya dari obat-obatan apalagi operasi, harus biaya sendiri.
Hutang karena pengobatan ibunya dulu saja belum bisa Vio lunasi. Sekarang ia harus memikirkan biaya untuk operasi ayahnya yang harus segera dilaksanakan demi menyelamatkan nyawa orangtua satu-satunya yang ia miliki.
“Bagaimana ini?” Vio memeluk lututnya sendiri dan menangis sendirian di sana. Ia tidak berani kembali ke kamar ayahnya karena takut jika ia tidak kuat untuk tidak menangis di depan ayahnya. Ia tidak mau jika ayahnya semakin drop karena melihat kesedihannya.
Tiba-tiba Vio teringat atas penawaran yang Ethan berikan. Jika memang ia bisa menerima tawaran itu, maka ia tidak perlu repot memikirkan soal hutang dan biaya pengobatan ayahnya, kan? Apa ia bisa menerima kontrak yang Ethan buat? Kontrak gila yang membuatnya harus terikat dengan pria itu. Lalu bagaimana dengan hubungannya dan Abi? Apa yang harus ia katakan pada kekasihnya itu? Memutuskannya dan menikahi pria lain yang baru ia kenal. Abi pasti akan berpikiran buruk soal dirinya.
Vio tidak ingin berpikir panjang lagi. Saat ini kesembuhan ayahnya lah yang terpenting. Ia akan melakukan apa saja demi Anton agar bisa hidup sehat seperti dulu. Ayahnya pasti selama ini sangat kesakitan. Dengan keadaan begitu pun ayahnya masih harus bekerja dengan keras. Vio jadi tidak tega jika ayahnya saja berjuang keras untuk kehidupannya, masa Vio tidak bisa berkorban demi ayahnya sendiri?
Gadis itu akhirnya berlari menembus hujan dan segera naik bus menuju rumah Ethan yang sebelumnya sudah menyelipkan kartu nama pria itu di dalam tasnya ketika ia pergi meninggalkan Ethan di café beberapa waktu yang lalu. Mungkinkah Ethan tahu jika suatu hari ia akan mencari pria itu?
………….
Begitu sampai di depan gerbang rumah Ethan yang bergaya mediterania dan sangat mewah itu, Vio terdiam di sana sembari mengatur nafasnya. Hujan masih turun sangat deras, membuat seluruh tubuh Vio basah kuyup.
Sebuah mobil mengklakson dari arah belakang Vio, membuat gadis itu terkejut dan menepi lebih ke pinggir. Dekat pos satpam. Kaca mobil terbuka saat mobil berhenti tepat di samping Vio dan menampilkan wajah Ethan yang menurunkan kacamata hitamnya, memperhatikan gadis yang kini basah kuyup di depannya dengan wajah yang menyimpan banyak kekhawatiran.
Detik kemudian Ethan langsung melajukan mobilnya masuk ke dalam halaman rumahnya yang luas. Ia sudah memberi kode pada security rumahnya agar menyuruh gadis yang di depan masuk.
“Mari, nona. Tuan muda Ethan ingin anda masuk ke dalam,” ucap security yang membawa payung hitam besar itu.
Vio pun mengangguk kemudian mengikuti security itu ke halaman depan rumah Ethan. Lalu security itu meninggalkan Vio di sana.
Ethan menatap Vio dari atas ke bawah. Gadis di depannya ini benar-benar basah kuyup. “Apa yang kau lakukan hujan-hujan begini? Cepat masuk,” ucapnya sembari berjalan lebih dulu ke dalam rumahnya tanpa mendengar penjelasan dari Vio. Yang jelas pria itu yakin jika kali ini ia bisa mendapatkan Vio dan membuat gadis itu menandatangani kontrak yang telah dibuat. “Masuk. Kenapa malah diam di situ? Lantainya jadi basah tahu.” Ia menyilangkan kedua tangannya di depan d**a ketika Vio hanya berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka. “Tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu jika kamu tidak mengijinkan.” Ia tersenyum tipis, penuh percaya diri.
Vio menelan ludahnya lalu mengikuti Ethan masuk ke dalam kamar pria itu. Kamar yang luas. Jauh lebih luas dari kamarnya. Bahkan perabotannya sangat bagus. Ranjang king size, lemari berbahan kayu jati yang terlihat sangat kokoh. Rak buku yang terisi penuh. Bahkan di dalam kamar itu ada sofa yang tampak begitu nyaman.
“ Duduk!” Ethan menyuruh Vio duduk di sofa. Sementara ia berjalan ke arah lemari pakaiannya dan mengambilkan handuk. Lalu meletakkan handuk itu di samping Vio. “Keringkan dulu tubuhmu. Aku akan menyuruh asisten rumah tanggaku untuk membuatkanmu teh hangat,” ucapnya yang seraya pergi meninggalkan Vio tapi gadis itu memegang tangannya, membuatnya menoleh lagi pada gadis yang kini menunduk. “Ada apa?”
“Tolong aku.”