Vio hanya bisa menjerit dan menangis di atas ranjangnya sembari menutupi tubuhnya dengan selimut saat melihat Ethan memukuli Abi terus menerus sampai pria itu tidak berdaya. “Cukup, Ethan!” Ia menutupi kedua telinganya.
Ethan menoleh pada Vio yang keadaannya tampak begitu buruk.
“Jangan membunuhnya. Biar polisi yang menghukumnya. Aku tidak mau jika kamu terkena masalah juga,” ucap Vio lagi ketika tahu jika Abi sudah tidak sadarkan diri. “Aku tidak ingin melihatnya lagi. Bawa dia pergi!”
“Aku bisa saja membunuhnya saat ini juga, tapi karena kamu melarang… baiklah.” Ethan menyeret tubuh Abi keluar dari kamar Vio dan menelpon salah satu kenalannya. “Tolong datang ke alamat yang akan aku kirimkan di pesan nanti. Pastikan dia mendapat hukuman yang berat.”
Tak lama orang suruhan Ethan pun datang yang tak lain adalah polisi. Abi pun dibawa oleh mereka dengan mobil polisi. “Pastikan dia menderita di balik jeruji besi,” ucap Ethan penuh dendam.
“Siap, Pak!” Kedua polisi itu pun pergi dari hadapan Ethan dengan membawa Abi yang masih setengah sadar.
Ethan mengusap wajahnya dengan kasar lalu menoleh ke arah kamar Vio yang pintunya masih terbuka. Ia pun perlahan berjalan ke sana dan melihat Vio masih bergelung di dalam selimutnya. Tubuh gadis itu bergetar hebat. Sepertinya dia sudah berpakaian lengkap karena tidak ada lagi pakaian yang berceceran di sekitarnya lagi. “Aku boleh masuk?” tanyanya sembari mengetuk daun pintu yang sudah terbuka.
Vio menoleh ke arah Ethan dengan wajah yang ketakutan. Ia tidak menjawab apa-apa tapi tidak juga melarang ketika pria itu berjalan mendekat. “Ka-kamu tidak akan macam-macam, kan?”
“Seburuk-buruknya aku, aku tidak pernah memaksa seorang gadis untuk melakukan hubungan intim. Aku akan melakukannya saat suka sama suka,” ucap Ethan yang sedikit tersinggung karena Vio mengiranya sama seperti pria liar yang habis ia pukuli beberapa menit yang lalu.
Vio hanya diam dan kembali menangis di tempatnya. “A-aku tidak tahu. Kenapa dia sejahat itu. Dia… dia tidak seperti Abi yang kukenal.”
“Pria bisa saja berubah. Kamu tidak bisa mempercayai siapa pun. Termasuk aku,” ucap Ethan yang hanya berdiri di depan Vio. Jarak mereka hanya dua meter. Apapun bisa Ethan lakukan dengan keadaan Vio yang seperti itu. Namun Ethan bukanlah pria b******k yang suka merenggut harga diri wanita secara paksa.
Vio hanya diam di tempatnya. “Aku sangat takut.”
“Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada calon istriku,” ucap Ethan dengan tegas. Vio menatap pria itu dan tidak menangkap kebohongan di sana. “Apa aku terlambat?” tanyanya dengan hati-hati.
“Dia sempat… menyentuhku tapi kamu datang tepat waktu.” Vio memeluk dirinya sendiri dan merasa jijik pada tubuhnya yang telah digerayangi pria lain. “Aku merasa jijik dengan tubuhku.”
Ethan mendengus kasar. “Aku pastikan dia dapat hukuman yang berat. Andai kamu mengijinkan, aku sudah membunuhnya tadi.”
“Ja-jangan mengotori tanganmu demi aku.” Vio duduk di ranjangnya dengan menyandarkan punggungnya. “Terima kasih sudah datang tepat waktu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang. Aku sangat takut.”
Ethan mengangguk pelan. “Tadinya aku hanya ingin lewat tapi aku melihat lampu rumahmu menyala dan pintu rumahmu terbuka. Aku curiga melihat mobil yang terparkir di depan pagar rumahmu. Sepertinya mobil itu masih ada di sana. Apa perlu aku melindasnya atau membuangnya?”
Vio hanya tersenyum sangat tipis. Sepertinya ucapan Ethan terdengar seperti lelucon. Padahal pria itu serius dan bisa melakukan apapun yang ia inginkan. “Kamu sedang menunjukkan kekuasaanmu?”
“Untuk apa? Tanpa aku tunjukan pun kamu sudah tahu. Sudah banyak berita soalku,” ucap Ethan dengan gaya angkuh. “Apa kita perlu ke rumah sakit? Aku cemas jika kamu kenapa-napa.”
Vio langsung menggeleng cepat. “Tidak. Ini sangat memalukan. Dia tidak sempat melakukannya kok.”
Ethan terdiam dan kemudian mengangguk mengerti. Bagaimana pun juga ini adalah aib bagi Vio. Ia tahu perasaan gadis itu saat ini. “Baiklah. Apa kamu mau istirahat di rumah dulu dan tidak ke tempat ayahmu?”
“Entahlah. Aku ingin ke sana tapi aku takut. Aku juga tidak mau disini. Aku benar-benar takut.” Vio memeluk dirinya sendiri. Seakan takut jika pria itu kembali dan melancarkan aksinya lagi. Padahal jelas-jelas Abi sudah dibawa ke kantor polisi.
“Aku akan menemanimu malam ini di rumah sakit. Kebetulan besok aku tidak ada jadwal.” Ethan menawarkan diri. “Bersihkan tubuhmu. Aku akan menunggu di luar. Kita akan ke rumah sakit bersama.” Ia langsung keluar dari kamar Vio dan menunggu di teras depan.
Vio menghela nafas berat, seberat apa yang sudah terjadi malam ini padanya. Bayang-bayang saat Abi menggerayanginya membuat tubuh Vio bergetar hebat. Namun ia harus menguatkan dirinya sendiri. Ia harus kuat karena ayahnya jauh lebih membutuhkannya saat ini. “Aku tidak boleh lemah.”
…………….
Setelah membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya, Vio keluar dari kamarnya. Ia menemukan ruang tamu yang kosong. Di sana hanya tertinggal cangkir yang isinya masih penuh, cangkir bekas Abi yang membuatnya jijik lagi. Ia harus membuang cangkir itu. Juga semua kenangan soal pria b******k itu. Ia harus melenyapkannya. Bahkan cintanya menghilang dalam sekejap saat melihat kebejatan pria yang pernah menjalin hubungan dengannya itu.
Gadis itu melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya dan melihat Ethan ketiduran di kursi teras depannya. Pria itu tampak sangat kelelahan. Bahkan dia bisa tertidur dengan posisi yang tidak nyaman itu.
“Ethan.”
Suara lembut Vio mampu membangunkan Ethan yang langsung membuka matanya dengan sempurna. “Kamu sudah selesai? Ayo kita berangkat. Pastikan semuanya terkunci.”
Vio hanya mengangguk pelan lalu mengikuti Ethan ke dalam mobil pria itu. Tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua. Hanya ada keheningan yang terpecahkan dengan suara hujan di luar sana. Lagi-lagi hujan turun begitu deras. Seakan berusaha menyamarkan segala luka yang tengah ia rasakan saat ini.
Apa ini pertanda jika pilihanku tepat? Namun, bersama Ethan… apa adalah yang terbaik? Pernikahan kami saja hanya di atas kertas. Batin Vio sembari melirik ke arah Ethan yang sedang menyetir mobilnya.
…………….
“Dasar bodoh! Seharusnya kamu tidak memperkosanya tapi membuat dia menyerahkannya dengan suka rela. Untung saja aku datang, jika tidak kamu akan jadi bulan-bulanan narapidana di sana,” ucap Fabian yang begitu kesal dengan apa yang terjadi pada adik semata wayangnya itu. Untung saja ia sedang di Indonesia, jika tidak pasti Abi akan tertahan lebih lama di penjara. Ia sangat kaget saat mendapat telepon dari kantor polisi yang mengabarkan jika adiknya ditahan karena percobaan p*********n. Tadinya ia pikir itu hanya penipuan. Setelah mendengar sendiri suara adiknya, ia baru percaya dan ke sini dengan cepat.
Abi sedari tadi hanya diam. Ia sangat menyesali apa yang telah ia lakukan. Ia merasa sangat b******k. Namun ia tidak bisa mengendalikan dirinya saat itu. “Aku salah, kak.”
“Ya, kamu memang salah. Persiapanmu sangat kurang. Kamu benar-benar tidak berbakat.” Fabian menggeleng-gelengkan kepalanya. Pantas saja adiknya terlihat begitu lugu.
“Aku sangat malu jika nanti bertemu dengan Vio di kampus. Aku benar-benar tidak punya muka lagi, kak.” Abi mengusap wajahnya dengan kasar. Namun penyesalan tinggalah penyesalan. Ia tidak bisa mengulang waktu. Memperbaiki kesalahannya pun ia tidak mampu.
“Sudahlah. Jangan terus menyalahkan diri kamu. Dia pantas mendapatkannya. Setidaknya kamu berhasil menyentuhnya dan melukai harga dirinya.” Fabian tersenyum sinis.
…………..
“Apa? Fabian memberi jaminan pada Abi?... Fabian Siandara?... Sial! Sudah kuduga. Pasti dia dalangnya juga dan memanfaatkan adiknya yang lemah itu. Cih!” Ethan menutup teleponnya dengan kasar dan melempar ponselnya ke atas sofa. Ia melihat Vio yang masih tertidur tak jauh darinya. Gadis itu terlihat sangat lelap dan kelelahan juga banyak luka yang tergambar di wajahnya. “Maafkan aku. Dia bisa lolos dengan begitu mudah setelah melukaimu. Aku berjanji, aku akan melindungimu.”