“Mau aku jemput nanti malam?” tanya Abi saat sampai di depan Bright Café, tempat Vio bekerja paruh waktu sejak wanita itu masih SMA hingga kini. Jadi Vio sudah sangat dekat dengan pemilik café yang ternyata sangat pengertian dan sudah menganggap Vio seperti anaknya sendiri. Jadi Vio cukup mudah untuk ijin dari tempat kerjanya ini. “Jadi berapa hari di gunung gedenya? Ada acara sampai nanjak gunung gak?” tanyanya lagi.
“Boleh kok kalo kamu sedang tidak sibuk.” Vio tersenyum manis, membuat Abi sangat gemas dengan kekasihnya itu.
“Tentu saja tidak. Aku selalu ada waktu untuk kamu, sayang,” ucap Abi dengan sangat manis. “Apalagi besok pagi-pagi sekali kamu sudah berangkat ke gunung gede. Aku pasti merindukanmu.”
Vio tertawa geli. “Berlebihan sekali kamu. Hanya dua hari kok. Tidak lebih.”
“Ya, ya. Ya sudah sana kerja. Nanti malam aku jemput.” Abi mengusap puncak kepala Vio sebelum meninggalkan gadis itu.
“Romantisnya kalian itu,” ucap Bian, pria paruh baya pemilik café tempat Vio bekerja.
Vio terkejut karena Pak Bian sudah berada di belakangnya, membuat gadis itu memegangi dadanya sendiri yang berdebar cukup keras. “Bapak nih mengagetkan saja.”
Bian malah tertawa kecil. “Jarang-jarang ada pria seperti Abi. Kalian sangat cocok. Semoga kalian berjodoh ya.”
Vio tersenyum penuh rasa syukur. Bukan hanya ia yang merasa Abi sangat baik, tapi orang yang melihat mereka pun pasti sadar sebaik apa pria seperti Abi. “Saya harap begitu, Pak. Tapi saya tidak mau berharap banyak. Keadaan saya dan Abi sangat jauh berbeda.” Ia tersenyum miris memikirkan nasib keluarganya.
“Jangan begitu. Hidup itu kan seperti roda, akan berputar pada waktunya. Kamu tidak akan selalu ada di bawah. Dengan segala kerja keras yang kamu lakukan selama ini, saya yakin jika suatu saat kamu akan sukses, Vio.” Bian menasehati karyawan kesayangannya itu. Bukan hanya karena Vio anak yang manis, tapi pekerjaan Vio juga sangat bagus. Vio bahkan sering lembur di hari weekend demi mendapat uang yang lebih banyak. Bian sudah tahu banyak soal masalah yang Vio hadapi. Ia hanya bisa membantu gadis itu sebisanya.
“Terimakasih, Pak.”
…………….
Sepulangnya dari café, Abi benar-benar menjemput Vio. Pria itu memang sangat pengertian. Di saat dia sibuk dengan skripsinya tapi dia tetap menyempatkan dirinya untuk mengantarkan Vio pulang.
Vio memang gadis yang beruntung. Dia bisa menarik perhatian Abi hingga membuat pria itu jatuh cinta padanya. Padahal di kampus mereka banyak sekali wanita popular bahkan yang kekayaannya setara dengan keluarga Abi tapi pria itu hanya terus menatap ke arahnya. Jika kebanyakan pria yang tampan seperti Abi, kaya raya juga memiliki banyak wanita yang menyukainya akan bersikap angkuh serta sombong. Lain halnya dengan Abi, dia tetap pria yang ramah, baik hati dan selalu memperlakukan Vio dengan baik. Jelas sekali banyak gadis yang iri di kampus dengan Vio. Karena keadaan Vio jauh lebih biasa sekali jika disandingkan dengan Abi tapi Vio punya keberuntungan yang bagus.
“Terimakasih sudah mengantar aku ke sini ya,” ucap Vio sembari tersenyum manis pada kekasihnya.
Abi tersenyum kecil. “Ayahmu belum pulang?” tanyanya ketika melihat lampu rumah Vio yang masih gelap.
Vio mengedikkan bahunya. “Seperti biasa, ayah pasti lembur lagi. Mau mampir dulu?” tanya Vio, menawarkan.
Abi mengangguk pelan. “Sebentar aja tapi ya. Semoga saja ayahmu cepat pulang.”
Vio mengangguk lalu membuka pintu pagar besi yang sudah karatan itu dan Abi pun memarkirkan motor di halaman rumahnya. Abi memilih duduk di kursi yang berada di teras depan selagi Vio mencari kunci rumah dan membukanya. “Mau minum apa?”
“Nggak usah repot-repot. Aku Cuma mau menemani kamu kok.”
“Nggak apa-apa kok. Aku ambil cemilan dulu ya. Seadanya tapi.” Gadis itu tersenyum kecil lagi lalu masuk ke dalam rumahnya dan menyalakan lampunya hingga terlihat isi rumahnya yang sangat sederhana. Karena beberapa barang di rumahnya telah terjual saat menutupi hutangnya dulu. Terlebih saat ibunya menjalani pengobatan yang menghabiskan begitu banyak biaya. Walau pada akhirnya nyawa ibunya pun tidak bisa diselamatkan. Tiba-tiba perasaan sepi merambat di dalam rongga d**a Vio ketika menyadari kehidupannya jauh berubah selama lima tahun terakhir ini.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Abi yang merasa tidak tenang karena Vio tak kunjung keluar. Jadi ia sengaja menyusul ke dalam dan melihat Vio hanya terdiam di dapur sembari mengaduk-aduk teh hangat yang sedang dibuatnya.
Vio menggeleng pelan dan dengan cepat ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya. “Aku nggak apa-apa kok.”
Abi memang tidak terlalu mengenal Vio. Selama mereka menjalin hubungan, Vio sangat jarang menceritakan soal keluarganya. Yang ia tahu Vio telah kehilangan ibunya dan ayahnya yang bekerja sangat keras. Hal itu membuat Abi ingin selalu ada di samping Vio dan menemani gadis itu. Pria itu pun menarik Vio ke dalam pelukannya. “Kalo ada masalah apa-apa cerita aja. Jangan dipendam sendiri.”
Akhirnya Vio menumpahkan tangisnya di d**a bidang milik pria itu, meluapkan segala rasa sakit dan rasa sepi yang selama ini ia tahan. Ia benar-benar kesepian dan tidak tahu harus curhat pada siapa soal semua masalahnya. Bahkan meski ia ingin sekali bercerita soal masalah yang tengah menerpanya, ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak mau Abi menganggapnya lemah dan membicarakan hutang hanya akan membuat keluarganya terlihat lebih buruk lagi.
………………..
Keesokan paginya, Vio sudah berada di kampus sebelum jam lima pagi bersama para peserta yang akan melaksanakan pelatihan anggota baru di wilayah Bogor. Sebelum jam enam pagi, mereka sudah berada di perjalanan menuju kawasan gunung gede.
Perjalanan pun memakan waktu cukup panjang karena saat itu adalah hari sabtu sehingga banyak orang dari luar kota yang ingin berwisata ke Bogor. Untungnya mereka berangkat lebih pagi jadi tidak kena buka tutup jalan yang biasa dilakukan di kawasan puncak. Sekitar pukul Sembilan pagi mereka akhirnya sampai di kawasan kebun raya, tempat yang biasa digunakan untuk berkemah.
Rudi selaku ketua mulai mengatur rencana pertama ketika mereka sampai di sana. Yaitu memasang tenda di bagian yang paling ujung agar lebih sepi dan jauh dari kemah yang lain.
Saat pagi menjelang siang begini, pemandangannya memang bagus apalagi hamparan kebun teh, jurang-jurang sekaligus gunung gede itu sendiri. Mereka memang tidak akan sampai mendaki ke puncak karena terlalu banyak resiko apalagi para anggota di sini kebanyakan masih baru dan masih awam soal pelatihan di alam liar. Jadilah Rudi hanya membuat acara outbound dan pendakian ke curug cibereum.
Namun untuk hari pertama, mereka hanya perlu membuat tendanya sendiri dulu lalu para peserta nanti akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Setelah itu mereka akan istirahat sebentar sampai jam makan siang baru melakukan latihan pencak silat seperti biasa dan mencari kayu bakar untuk membuat api unggun nanti malam.
Vio yang menjadi ketua kelompok di kelompok dua pun menyuruh para anggota baru untuk segera mendirikan tenda mereka karena langit sedikit mendung dan sepertinya sebentar lagi akan hujan. Apalagi di musim hujan begini, hujan memang akan menjadi salah satu penghias kegiatan mereka selama dua hari ke depan.
Benar saja, setelah dua jam akhirnya hujan turun perlahan dan berubah menjadi deras. Semua orang langsung disuruh masuk ke dalam tenda mereka terutama menyelamatkan barang-barang bawaan mereka. Untunglah untuk sesi konsumsi memiliki ruangan tersendiri yang bisa melindungi bahan makanan untuk semua orang.
“Nggak apa-apa deh hujannya siang asal jangan malam. Bisa gagal semua rencana kita,” ucap Vio sembari menatap langit yang masih menurunkan hujan cukup deras.
“Iya ya. Mana besok pendakian ke curug. Kalo habis hujan pasti jalannya pada licin deh. Di atas pasti tambah dingin,” komentar Nia, salah satu sesi konsumsi.
Vio dan anggota lain mengangguk sembari berharap hujan akan segera berhenti.
…………..
Ethan menatap ke luar jendela yang menampilkan awan gelap yang menyelimuti siang ini dengan tetesan air yang lumayan deras. Pria itu sampai memeluk dirinya sendiri dan mengencangkan jaketnya. “Harus berapa lama aku bersembunyi di sini? Sementara berita itu saja masih jadi trending topic. Bisa-bisa aku harus bersembunyi terus.”
Danish memperhatikan bosnya yang terlihat sedang berpikir keras di depan jendela itu. Ia hanya menghela nafas sembari berusaha menghapus beberapa berita yang sudah tersebar di luar sana mengenai Ethan demi membersihkan kembali nama baik pria itu. Walau jejak digital sangat sulit dihilangkan, setidaknya berita tentang Ethan dan Lilian tidak banyak seperti beberapa waktu yang lalu.
“Apa nggak ada cara biar aku bisa keluar dari masalah ini?” tanya Ethan yang tiba-tiba berjalan kea rah Danish.
Danish membenarkan posisi kacamatanya. “Ada sih.”
“Apa?” tanya Ethan langsung.
“Ya, menurut saya, anda harus menikah dengan wanita lain agar berita soal kedekatan anda dengan Lilian bisa lenyap perlahan,” ucap Danish yang sebenarnya sudah memikirkan soal solusi dari masalah Ethan. Walau ia sendiri tidak yakin. Karena pria seperti Ethan sama sekali tidak berniat menikah.
“Kau gila?!” Ethan menatap tajam pada asistennya itu.
Danish menelan ludahnya sendiri. Ia sudah tahu reaksi yang akan Ethan tunjukan padanya. “Itu solusi terbaik. Atau anda bisa pura-pura menikah dengan wanita yang tidak terkenal tapi punya kualitas bagus.”
“Maksudmu?”
“Ya, anda bisa membuat perjanjian dengan wanita dan pura-pura jika kalian menikah. Itu juga jika anda tidak ingin menikah… “
“Tentu aku tidak ingin menikah!” potong Ethan langsung.
“Ya, jadi berpura-pura saja.”
“Tapi wanita mana yang mau pura-pura menikah sama saya?” Ethan tampak mulai bisa menerima saran dari asistennya itu. Walau jelas solusinya tidak banyak membantu. Malah membuat Ethan harus berpikir keras soal wanita yang mau bekerja sama dengannya.
“Akan saya coba pikirkan. Atau mungkin anda punya kenalan.” Danish mengedikkan bahunya.
Ethan hanya memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Wanita yang ia kenal kebanyakan matre dan hanya ingin numpang tenar dengannya. Jika ia bekerja sama dengan mereka yang ada mereka hanya akan memanfaatkan kelemahannya.