Hujan baru berhenti ketika menjelang sore. Nia selaku ketua sesi konsumsi sudah sibuk di dapur bersama anggota-anggotanya untuk menyiapkan makanan para peserta untuk nanti malam. Untunglah saat siang mereka sudah menyediakan nasi kotak yang sudah dipesan karena memang tidak ada agenda masak untuk makan siang di hari pertama.
“Udah selesai, Ni?” tanya Vio yang baru memeriksa para peserta yang sibuk latihan. Ia juga baru memimpin kelompoknya sebelum sesi latihan dimulai. Gadis itu mengambil salah satu bakwan jagung buatan Nia dan melahapnya sembari mengunyah satu cabe rawit.
Nia hanya geleng-geleng kepala dengan teman satu komunitasnya itu. Vio terkenal suka sekali makan dan makannya pun porsinya banyak, tapi tubuh gadis itu hanya tinggi dan tidak gendut sama sekali. Tubuh Vio benar-benar proporsional untuk seorang wanita, membuat siapapun iri melihatnya. Termasuk Nia, ia saja jika bernafas bisa menambah bobot badannya sebanyak satu kilogram. “Bentar lagi nih tinggal nyusun di nampannya aja. Latihannya masih lama apa nggak?” tanyanya demi memastikan jika ia dan timnya masih punya cukup waktu.
“Sebentar lagi sih. Tapi masih ada pembagian kegiatan. Aku sama kelompokku harus mencari kayu bakar untuk nanti malam. Apalagi sepertinya nanti malam akan tambah dingin setelah hujan begini.”
“Iya juga sih. Aku sudah siapin jagung, ubi dan ikan untuk nanti malam bakar-bakar sekaligus sharing sama peserta baru.” Deria menanggapi. Gadis bertubuh gembil itu sibuk mengangkat nasi yang baru matang dari panci dan memindahkannya ke nampan besar. Entah kenapa kebanyakan sesi konsumsi hampir semuanya bertubuh subur dan juga kebanyakan yang jago masak. Entah wanita atau pria.
“Bagus dong. Ya udah aku balik ya. Mau nemenin kelompok aku nyari kayu bakar. Takut mereka nyasar.”
“Jatah gorengan kamu berkurang ya, Vio,” ledek Nia ketika Vio beranjak dari tempatnya dan mengambil satu potong tahu isi lagi juga dua buah cabai rawit.
Vio malah nyengir. “Jangan gitu loh, Nia. Ntar aku gelindingin baru tahu rasa!” Ia malah menjulurkan lidahnya.
“Hati-hati, Vio! Jalanannya licin. Awas malah kamu yang gelinding ke jurang.”
Vio hanya tertawa sembari berlalu meninggalkan teman-temannya itu. Karena Vio adalah pendamping di kelompok dua, maka ia bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Ketika ia kembali pun ternyata sesi latihan sudah hampir selesai. Mereka sekarang sedang melakukan tekhnik pendinginan. Setelah selesai dan sesi pelatihan dibubarkan oleh pelatih, Kak Amir, Vio mengumpulkan anggota kelompoknya.
“Baiklah. Sekarang kita akan masuk ke hutan di pinggir gunung gede ya sekaligus mencari kayu bakar. Kalian jangan lupa bawa senter karena sebentar lagi gelap. Oh iya, jangan sampai terpisah ya.” Vio mengingatkan para anggotanya yang langsung dijawab dengan tegas oleh mereka.
“Baik, Kak!”
Setelah yakin semua anggota kelompoknya sudah berkumpul, Vio berjalan di paling belakang sementara Andi selaku ketua kelompok dua memimpin jalan di depan. Sementara bagian tengah adalah para peserta wanita.
Jalanan yang cukup licin membuat langkah mereka sedikit terhambat karena mereka harus memperlambat langkah mereka demi mencegah hal yang tidak diinginkan. Apalagi di sekitar sini banyak jurang, walau tidak terlalu dalam tapi jurang itu terlihat gelap karena tertutup pepohonan dan semak belukar.
Setelah mendapatkan stok kayu bakar yang cukup, Vio menyuruh para anggotanya untuk kembali ke perkemahan.
Vio tiba-tiba memegangi perutnya yang terasa sakit sekali. “Sialan! Nia pasti nggak ikhlas nih gorengannya aku ambil. Jadi mules gini,” keluhnya kemudian menatap orang-orang yang berjalan di depannya. “Hei! Kalian duluan aja ya. Aku mau ke toilet dulu.
“Nggak apa-apa kita tinggal, kak? Mau ditungguin?” tanya Ayra, salah satu gadis yang berdiri di depan Vio.
Vio menggeleng cepat. Masa ia tega menyuruh mereka menunggunya buang air besar. Yang ada ia nggak akan bebas dan merasa tidak puas. “Kalian duluan aja. Aku hapal jalanannya kok.”
Andi dan teman-temannya akhirnya mengangguk. “Baiklah. Kami duluan ya, Kak,” ucap mereka dengan sopan.
Vio akhirnya berbalik dan berjalan menuju toilet umum yang tidak jauh dari sana. Seketika nyalinya ciut karena toilet itu terlihat sangat sepi. Akan tetapi, panggilan alamnya tidak bisa ditahan lagi. Ia harus menuntaskannya saat ini juga. Lagipula nggak baik kan kalo menahannya? Jadi penyakit yang ada.
…………..
Ethan hanya berjalan-jalan di sekitar villa pribadinya demi mengusir rasa bosannya. Ia menggunakan switer hitam dengan masker hitam yang menutupi sebagaian wajahnya. Walau tempat ini sepi, setidaknya ia hanya cari aman saja dari para pencari berita. Ia hanya bosan jika terus menerus dengan keadaan seperti ini, menunggu sampai berita tentangnya di luar sana mereda.
“Arghhh!”
Ethan mengerutkan keningnya saat mendengar suara jeritan yang tidak terlalu keras tapi cukup dapat didengar oleh telinganya yang peka ini. Ia sampai menghentikan langkahnya dan menoleh ke sekitarnya. “Padahal baru mau jam enam tapi kok malah horror.” Ia memeluk dirinya sendiri. Cuaca dingin di sekitarnya menambah kebekuan pria itu.
“Siapapun! Tolong aku!”
Suara jeritan itu lagi.
Ethan menggelengkan kepalanya, berharap suara itu hanya halusinasinya karena sudah lama tidak bertemu orang banyak.
“Aku di bawah sini!”
Ethan menutup kedua telinganya meski sama sekali tidak berhasil karena suara jeritan itu kembali terdengar. “Sepertinya ini suara manusia deh. Lagipula sejak kapan aku peka dengan hal seperti itu?”
“Aku di bawah sini! Lihat ke bawah kek!”
Pluk!
Sebuah kerikil kecil mengenai punggung Ethan, membuat pria itu langsung menoleh pada jurang yang tak jauh di belakangnya. “Sejak kapan ada jurang di sini?” Kerutan di kening Ethan semakin menjadi apalagi ketika pria itu melihat ke bawah jurang yang tidak terlalu dalam itu. “Itu manusia, kan?” Ia mengusap-usap matanya demi meyakinkan jika yang dilihatnya benar-benar manusia.
“Kalo aku bukan manusia, aku udah melayang ke kamu tahu!” balas gadis berjaket kehijauan itu dari bawah sana. Meski wajahnya tidak terlihat jelas, Ethan yakin jika gadis itu manusia biasa sepertinya.
“Ngapain di situ?”
“Aku jatuh lah! Masa sengaja guling-guling ke jurang!” sahut gadis itu lagi sembari membersihkan pakaiannya yang kotor. Ia sudah terjebak di dalam sini hampir satu jam. Saat mendengar suara langkah seseorang, ia merasa hidupnya masih bisa diselamatkan dengan lebih cepat dibanding menunggu teman-temannya menolong ke sini.
Ethan mengulum senyum. “Sebentar.” Ia menatap ke sekelilingnya. Jurang itu cukup curam, akan sangat sulit untuk gadis di bawah sana memanjat ke sini. Jika ada tali, mungkin bisa. “Aku butuh tali.”
“Kamu punya?”
Ethan menggeleng. Ia begitu malas untuk kembali ke villa. Ia pun mengeluarkan ponsel keluaran terbarunya itu untuk menghubungi Danish. Namun tangannya terasa lembab dan licin hingga ponsel itu malah melesat jauh ke dalam jurang, ia reflex ingin mencegahnya tapi tubuhnya malah kehilangan keseimbangan. “Arghh!” Ia terguling-guling jatuh ke jurang yang tingginya mungkin tidak mencapai lima meter itu. Beruntung tubuhnya mendarat di semak sehingga tidak terlalu terbentur ke tanah.
Gadis yang duduk tak jauh dari pria asing itu mengerutkan keningnya. Seketika ia mendengus kasar dan menghampiri pria itu dengan susah payah, karena kakinya sendiri pun sedang terkilir sehingga pergerakannya sangat terbatas. Jika tidak, ia sudah berhasil memanjat tebing ini sendirian sejak tadi.
“Ini semua gara-gara kamu!” Ethan berucap dengan ketus sembari menatap tajam ke arah gadis berambut panjang yang dikuncir ekor kuda itu.
Gadis bernama Vio itu membulatkan bibirnya. “Dasar! Bantuin orang aja nggak becus. Sekarang malah nyalahin orang lain!” sahutnya yang merasa pria yang ada di depannya ini begitu menyebalkan. Tahu gitu lebih baik ia menunggu teman-temannya yang datang saja dibanding dibantu oleh pria menyebalkan ini.