Part 7

1105 Kata
Bagi Naya, Sakha adalah tipe abang material. Bagi Naya, Adrian adalah tipe best friend forever. Bagi Naya, anak-anaknya Mama Rahee adalah keluarga yang tidak Naya pedulikan 'dia jenis kelamin apa', mau cewek atau cowok Naya sama ratakan. Kecuali satu. Abian Lorenzo. Ya, Abi. Si penghuni hati. Saat ini. Hanya dia yang Naya anggap lelaki, hanya Abi yang membuat Naya terluka ketika posisinya di hidup Abi sebatas 'adik-kakak' saja. Oh, nggak bisa gitu! Saat Abi membuat Naya terpesona, saat itulah nama Abi tercoret dari barisan cowok yang harus Naya anggap 'bukan cowok'. Maksudnya, ketika disentuh Sakha, digelitiki, Naya biasa saja. Alah, itu mah sentuhan Abang. Bagi Naya (anggap saja) Abang bukan cowok. Beda kalau Abi yang menggelitikinya, maka detik itu juga jantung Naya akan ngedrum hingga reaksi tubuh minta segera dihalalkan oleh gerangan. Simpelnya seperti ini: Disentuh Bang Abi, bisa jadi dosa, Naya berpotensi khilaf dan mau dikhilafin oleh dia. Kalau disentuh Sakha, nggak dosa. Sebab Naya bersaksi: nggak ada yang bisa bikin dia khilaf sampai berdosa kalau bukan Abi orangnya. Nah, itu, isi otak Naya. Yang dianggap betul dari sudut pandang dia, tetapi salah dari sudut pandang mana pun. Oh, Naya Giova. Tahu kenapa dia jatuh cinta kepada Abian? Itu ada sejarahnya. Saat di mana sebuah judul drama bisa menghangatkan hati Naya. Iya, hanya karena judul drama. Ketika papa dan mama membujuk Naya untuk menerima keadaan bahwa mereka sudah tak bisa bersama. Bang Abi mengatakan, "It's okay to not be okay, kamu tau?" Bukankah itu judul drama? Dan hati Naya teraba oleh apa yang Abi katakan sambil memeluk Naya, membiarkan air mata Naya tumpah di dadanya. Klise. Abian memang hanya bilang itu, tapi Naya terenyuh dan tertawa karena merasa lucu. Kenapa harus bawa-bawa judul drama? Naya kan jadi tergelitik selera 'kekonyolannya.' Abian tidak melakukan banyak hal selain pelukan dan datang di waktu yang tepat hingga Naya merasa punya dinding baru untuk dia sandarkan tubuhnya di kala penat. Sesimpel itu. Sekonyol itu. Tapi ... selamat, hati Naya tergerak. Padahal ... andai mata hati Naya belum tertutupi Abi, ada seseorang yang bahkan menjadi pahlawan kesiangan, namun harusnya jauh lebih berkesan. Seseorang yang mematikan pematik api di tangan Naya, membuang, dan mematahkan sebatang rokok di apitan jari Naya, juga berkata, "Sekali hisap, kamu menyesal seumur hidup." Gitu. Seseorang yang datang di kala hati Naya sudah terisi penuh oleh Abi. Seseorang yang datang di saat mata Naya telah tertutup oleh seorang Abian Lorenzo. Dan seseorang yang datang saat Naya patah hati oleh orang itu: Abi. "Abang!" Dia orangnya. Si pemuja kopi hitam rendah gula yang tahu keburukan Naya, tetapi diam dan menjaga citra Naya dengan caranya. Oh, Sakha ini abang material banget, kan? Iya, kan? Makanya ... Naya nggak bisa ganggu gugat hatinya sekalipun Mama Rahee sering menawarkan: Coba deh Naya tengok Abang, ganteng. Masa sih nggak demen? Abang loh ini. Bisa langsung jadi mantu Mama, kamu, kalau mau. "Ini aku udah dapet nomer Mbak Gisel." Sakha mengerling malas. "Kemarin gagal sama Mbak Siti, Abang juga nolak ajakan Papa buat cari yang bening di kampus Bang Abi. Sekarang boleh dong dicoba Mbak Gisel? Dia naksir Abang, betewe." "Terus kamu mau jadi Mak Comblang?" Naya mengangguk. "Udah aku kirim nomornya, ya. Pedekate aja dulu, siapa tau cocok." "Kenapa nggak coba pedekatein diri sendiri aja, Nay?" Itu Mama Rahee yang tanya. Duh, berkali-kali Naya menolak Abang. Masa harus nolak lagi? "Aku cuma bisa bantu ini, Ma." "Abang juga nggak mau sama Naya, Ma." Sakha menimpali. "Selera Abang nggak serendah itu." "Eiy, jangan salah! Dikata rendah juga gini-gini aku banyak yang ngantre, loh! Emangnya Abang, huh? Selera tinggi, tapi gak ada yang jadi!" Praktis Naya semprot pakai kekuatan seribu mulut dengan level pedas yang mengalahkan nyinyiran tetangga. "Amit-amit banget sama Naya." "Dih, aku juga amit-amit sama Abang!" Rahee menggeleng saja. Dah lah, dua-duanya sama. Sama-sama amait-amit. *** Di sini Naya bukan perempuan yang mudah disukai oleh seorang ibu untuk anaknya. Tetapi Naya menjadi perempuan yang mudah dicintai oleh anak lelaki dari seorang ibu. Nah, tetapi kasus itu menjadi sebaliknya jika dihadapkan dengan keluarga Lorenzo. Naya mudah dicintai oleh Mama Rahee, tetapi untuk dicintai sama anak-anak beliau ... sulit sekali. Bertahun-tahun Naya naksir Bang Abi, nihil tidak ada kemajuan untuk cintanya yang murni. Naya dengan Bang Sakha, itu sih bukan sulit lagi namanya, tapi mustahil dari dua belah pihak. Naya sadar diri. Lalu, Naya kepada Adrian, apalagi ini yang statusnya cuma bisa mentok di persahabatan. Terus, Naya sama Bang Refli ... aduh, itu mah amat sangat mustahil alamatnya. Secara, anak Mama Rahee yang itu sudah menjadi bucin orang sejak dini. Jadi, mari mengenang pada masa kecil Naya yang manis. "Nay, Nay, gantengan Bang Sakha, Abi, gue, apa Adrian?" Naya kecil menatap satu per satu sosok dari yang Bang Refli sebutkan. Hari itu Naya masih pakai seragam merah putih, sama seperti Adrian, sedangkan Sakha sudah ada di zaman putih abu-abu, lain dengan Abi dan Refli yang celananya biru. Mereka akrab. Hal yang membuat Naya tomboi pada zamannya, menolak bermain boneka barbie bersama Mbak Alifia dan Mbak Gina. Lebih suka main cacing tanah dengan Adrian, atau main petak umpet dan bola tendang dengan para abang. "Bang Refli ganteng." Maka lelaki itu joget-joget kesenangan. Memang, berdasarkan nilai visual, anak Mama Rahee yang paling ganteng adalah Bang Refli. Wajahnya mencerminkan keteduhan hakiki, kalem, manis, ganteng kronis. Namun, berbanding terbalik dengan tingkah lakunya. "Lo kalo udah gede, kira-kira mau dapet yang modelan gue, Bang Sakha, Abi, atau Iyan?" Pertanyaan semprul yang tidak Naya pahami hingga kepala Refli ditoyor oleh Sakha. Namun, Naya menjawab, "Naya mau sama Abang." Iya, Naya mau sama Abang. "Abang suka gendong Naya." Hanya Bang Sakha. "Kalo Naya jatoh, Abang yang suka tiupin lukanya." Bang Abi mana pernah! "Udah gitu, Abang suka traktir Naya es krim. Kalian pelit. Aku maunya Abang aja. Aku kenyang kalau sama Abang." Iya, begitu. Naya kecil. Yang mampir di mimpi Naya sendiri di masa kini. Tentang: "Aku maunya Abang aja. Abang mau kan, sama Naya?" Hingga di periode sekarang, ketika Naya bangun dari tidur dan mimpi, dia menggeleng geli. Ternyata sewaktu bocil dia nembak Bang Sakha! Oi, catat! Nembak Abang! NAYA NEMBAK ABANG! Tahu apa jawabannya? Bentar, Naya ingat-ingat lagi. Dia bangun dan berjalan ke teras balkon, udara dingin menembus kulit, ini pukul satu dini hari, lalu Naya melihat lelaki masa kecilnya di sana. Sama-sama menatap Naya, Bang Sakha yang sedang ngopi. Dulu ... Lelaki itu mengangguk. "Belum tidur, Nay?" Sekarang lelaki itu bertanya. Naya menggeleng dan menjawab, "Aku kebangun." Dan jawaban Sakha dulu adalah ... "Cepet gede ya, Nay." Di malam yang sunyi ini jantung Naya menari. Menatap ngeri sosok Abang yang lamat-lamat menikmati kopi. Hingga mata tajam itu beralih atensi, menatap Naya dengan satu kata tanya, "Kenapa?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN