Gak apa-apa.
Itu jawaban Naya semalam. Lalu memilih masuk kamar dan meninggalkan Abang. Naya bobok duluan. Persetan dengan mimpi dan acara nembak Naya kepada Abang di masa kecilnya!
Well, Film karya penulis favorit Naya tayang di bioskop. Hari itu Naya sudah menyusun strategi dan gagal dapat tiket kloter pertama. Jadilah Naya ambil kloter kedua. Niat hati Naya mengajak Adrian, tetapi Adriannya kerja. Naya mau ajak pacar, tapi pacarnya sibuk. Terus, Naya ajak siapa?
Bang Sakha.
Cowok itu sedang mengunyah bakwan udang kesukaannya di meja makan. Mama Rahee sedang pergi main ke Tante Marine di rumah utama.
"Ngapain kamu liat-liat? Mau?"
Dih!
Lihat!
Naya tengok Abang saja sudah malas duluan. Masa iya Naya mau ajak Abang jalan? Nonton pula!
Tapi kalau nonton sendirian nggak seru. Hanya saja Naya nggak ada kandidat lain untuk dia ajak nongki sekarang. Cuma Abang ... yang maha pengangguran. Naya comot bakwan udangnya. Duduk di sana.
"Pernah nonton di bioskop?"
Sakha melegut kopinya. "Kamu kira Abang lahir di zaman batu?"
Naya mengerling. "Abang kan manusia gua! Siapa tahu nggak pernah duduk di bangku bioskop, kan?"
Sakha berdecak. "Terus kenapa? Mau ngajakin nonton?" Mending dia balik ke kamar. Namun, jawaban Naya ...
"Kuy, nonton!"
Membuat Sakha berbalik, henti melangkah. Memandang ngeri seorang Naya Giova. Masalahnya, ini Naya ... yang tidak akan pernah terbayangkan mau nonton sama Sakha!
"Ajak Adrian aja."
Makanya, Sakha nggak mau anggap serius ajakan Naya. Ya walaupun ... sebenarnya ajakan nonton Naya juga bukan hal besar, nggak usah diseriusin.
"Astagfirullah, Naya!" Sakha terkejut saat Naya nyeruntul dan berdiri di depannya, menghadang jalan Sakha menuju kamar.
"Kapan lagi aku ngajakin Abang nonton--eh, ralat. Kapan lagi ada cewek yang mau nonton sama Abang. Ya, kan?"
Langsung saja Sakha dorong jidat Naya dengan telunjuknya sampai-sampai perempuan itu berjalan mundur dan mentok di pintu kamarnya. Sakha bergeming.
"Minggir!" katanya.
Naya malah berbalik, memegang handel pintu dan akan membukanya. Tapi, sial! Dikunci. Dengan santai Sakha memasukkan tangannya ke saku celana seraya menatap datar wajah Naya. Sekarang cewek itu merentangkan tangannya.
"Ngapain sih, Nay?"
"Nonton. Film kesukaan aku tayang perdana. Yuk!"
"Biasanya juga kamu nonton bareng pacar, kan?"
"Dianya sibuk. Kerja. Aku kan meliburkan diri."
"Tunggu Adrian--"
"Lembur, Abang. Cuma Abang yang nganggur. Plis!"
Sakha mengguyar rambut panjangnya ke belakang. Ganteng. Naya suka lihatnya. Info saja, mata Naya bisa memfilter yang mana cogan dan mana yang bukan cogan dengan baik.
"Ya udah, minggir!"
Eh?
"Mau, kan?"
Sakha menjawab ketus, "Terpaksa."
Yeay! Dan Naya girang. Dia cubit pipi Abang sebelum kemudian hengkang sambil bilang, "Jemput aku jam empat sore!"
Sakha mengusap pipinya. Harus banget dijemput? Padahal jarak rumah juga istilahnya kan cuma lima langkah. Dasar Naya Giova!
***
"Tumben rapi. Mau ke mana, Bang?"
"Nonton."
Otot leher Rahee seketika melunak, menoleh cepat. "Wah!" Rahee semangat, matanya seolah mengeluarkan efek kembang api yang meledak-ledak. "Nontonnya sama cewek, bukan?"
Sebab jika diperhatikan, Sakha berpenampilan menawan. Ah, walau tiap hari juga putra sulungnya memang sangatlah tampan. Sayang banget, nggak laku di pasaran. Ehm.
"Iya." Malas-malasan Sakha menjawabnya.
Seketika Rahee gesit mendekat. Merapikan helai rambut Sakha yang menjuntai indah. "Dikuncir, Abang. Sini biar Mama yang ikat rambutnya!"
Belum Sakha merespons, mama sudah merebut ikat rambut di tangan Sakha, lalu memutar tubuh sang putra hingga Rahee berkutat dengan rambutnya. Ck! Si Gondorng ini kalau nggak sedang mau 'nonton sama cewek', detik itu juga Rahee ambil gunting dan pangkas habis rambut panjangnya.
Selesai.
Rahee kepo. "Ceweknya ... siapa tuh?"
Sakha pakai jaket yang tersampir di bahu sofa. "Naya."
Oalah ...
Semakin meledak-ledak. "Nah, iya betul. Nggak usah nonton sama yang jauh-jauh, yang deket aja. Udah bener banget itu, nontonnya sama Naya. Gih, berangkat! Pulangnya jangan lupa ajakin Naya makan ya, Bang!"
Altarik yang sejak tadi memantau di ruang keluarga pun berdeham. Mau bilang: Cie Abang, cie~
Takut Sakha batal pergi. Jadi, berdeham saja. Biarkan mamanya Sakha yang berkicau mewakilkan.
Sakha berdecak. "Cuma nemenin nonton aja kok, Ma."
"Iya paham, siapa tahu dari yang namanya nemenin ujungnya jadi nenenin, kan?"
Eh ...
Papa Altarik sampai berdeham lebih kencang.
"Nenenin cucu Mama maksudnya." Rahee nyengir.
Mohon bersabar, punya mama semprul memang begitu, harus extra sabarnya. Sakha yang sedang minum pun diburu-buru, katanya perempuan nggak boleh dibiarkan menunggu. Terus ...
"Jangan pulang malam ya, Bang! Pulang pagi aja gak apa-apa!"
Ihiy! Rahee kesenangan. Sedangkan Altarik sudah tersedak dari tadi oleh ucapan semprul istrinya.
***
"Nggak pakai mobil aja, Bang?"
"Gak punya. Adanya motor."
"Itu, sih?" Naya melirik pada sedan hitam di garasi. Bang Sakha memakai helmnya. "Itu punya Papa."
Nggak boleh dipinjam sama anaknya gitu?
"Cepetan!"
Naya mencebik. Dia meraih helm yang Sakha sodorkan. Lalu memakainya. Kemudian duduk di bonceng tepat di saat Sakha menyalakan mesin motornya.
Uh, sebal. Naya nggak terlalu suka motor nungging, dia lebih nyaman dibonceng matic ketimbang ninja. Sebab duduknya pegal kalau nggak bersandar ke depan. Nggak nyaman. Ya kali Naya sudi membuat dadanya terimpit dan nempel di punggung Abang?
Tapi, duduk tegak juga bukan pilihan yang tepat.
Ah, sudahlah! Mau nggak mau Naya duduk nungging sesuai body motornya di sana. Kalau d**a Naya bersentuhan dengan punggung Abang, ya sudah ... Naya ikhlas, hitung-hitung ngasih rezeki kepada lelaki 30 tahunan ini.
"Nih."
Mereka sampai, Naya berikan helmnya. Sakha terima dan langsung turun dari ninjanya. Sedangkan Naya sibuk menata rambut. Beginilah nasib kalau bepergian naik motor, rambut yang semula Naya tata dengan baik jadi awut-awutan lagi. Nggak parah sih, hanya perlu di rapikan sedikit.
Dan ... selesai. Sakha membantunya. Membuat Naya salting. Ih, kok Abang jadi manis gini sih?!
"Jam berapa mulai filmnya?"
Naya berjalan di sisi Bang Sakha, lelaki itu menyamai langkah kecilnya. Di lihat-lihat, kaki Abang panjang juga. Lalu saat Naya mendongak, wah ... Naya baru sadar kalau dia sekerdil ini. Pantas saja waktu dipeluk, ehm, Naya tersembunyikan dengan sempurna sampai nggak bisa lihat apa-apa gara-gara terhalang d**a. Kepala Naya mentok di d**a Abang. Padahal kalau jalan dengan Adrian, tinggi Naya sampai di dagu.
Dipikir-pikir lagi, ini kalau Naya (semisal) mau cium Abang (misalnya loh ya, jangan salah paham dulu) ... berarti Naya harus jinjit, atau pakai sepatuh hak tinggi? Kayaknya akan lebih simple kalau Abang duduk dan Naya dipangku, ciuman itu pasti laksana dengan sempurna. Iya, kan?
"Mau duduk di barisan mana, Nay?"
Eh?
Mengerjap. Naya nggak sadar kalau dia sudah tiba di depan mbak-mbak kasir kalau Abang nggak nanya.
Sakha berdecak. Naya malah bengong. "Di sini saja, Mbak," katanya kepada si pemberi tiket sekaligus kasir di sana.
Mau nggak mau Sakha menggenggam tangan Naya, barangkali cewek itu bengong di jalan menuju ruang bioskop. Kan nggak lucu semisal Naya ketinggalan di luar, sedangkan Sakha sudah duduk di dalam. Tujuannya nonton di sini kan karena Naya Giova.
Mereka duduk.
"Abang nggak beli popcorn?"
"Kamu nggak minta."
"Dan Abang nggak inisiatif?"
"Sst. Filmnya udah mau mulai."
Naya mencebik. "Dasar pelit!"
Minuman juga nggak beli. Alhasil, mereka fokus nonton filmnya. Ah, nggak. Bukan mereka, tapi hanya Naya. Karena Sakha ... mendengkur halus di tempatnya.
Argh!
Aldyansah Sakha Lorenzo ini kapan sih nggak jadi menyebalkan di mata Naya?!
Masa datang ke bioskop buat numpang bobok?! Ini Naya kalau punya pacar semodelan Abang, sudah dia mutilasi kali. Kesal. Naya pengin colok lubang hidungnya, dan sedang Naya tatap tajam bagian itu. Namun, melesat ... hidung Abang mancung banget. Terus matanya kalau sedang tertutup kelihatan adem dipandang. Belum lagi halisnya tebal seperti ulat bulu, garis rahangnya terpahat mulus, bongkahan bibirnya ... STOP, NAYA! Perhatikan cara kamu memandang!
Batin Naya menggeram edan.
Segera dia alihkan fokus dengan menatap lurus pada layar di depan. Berpikir dan mengakui bahwa Abang ini tampan, Naya merinding.
Singkat cerita film selesai. Sakha membuka mata, lalu mengerjap di kala beres menguap.
"Enak, boboknya?"
Sakha terkesiap. Oh, ada Naya. Memandang jengah padanya. Tak Sakha hiraukan.
"Ini jam berapa?"
Naya lekas bangkit dan menghentak kesal. Coba kalau tadi nontonnya sama Adrian saja. Ah, lagian Adrian pakai acara lembur segala sih. Naya kan jadinya nonton sama Abang, si pengangguran.
Heran deh. Adrian sama Bang Sakha bagai langit dan bumi bedanya. Sobat karib Naya itu rajin, pekerja keras, beda dengan abang dari sobat seperjulidannya itu. Bang Sakha ini ... setahu Naya, lebih suka menghabiskan waktu di kamar, atau balkon, dan mengganggu Naya yang sedang santai di sana.
Bang Sakha anak rumahan, sementara Adrian anak kantoran. Bang Sakha ini jomblo karatan, nggak laku, kata Naya. Sementara Adrian itu idaman, jadi incaran. Meski keduanya sama-sama jomblo. Tapi kan--
"Mau makan di mana?"
Naya menunjuk dirinya. "Abang ngajakin aku makan?"
Yang Sakha balas dengan tatapan datarnya sambil menjawab, "Bukan, tapi ngajakin setan."
"Ya udah terserah, pulang aja."
Sakha mengangguk. "Oke."
What the f**k, Aldyansah Sakha Lorenzo! Naya tercengang. "Begini Abang pas kencan sama cewek?"
"Kencan?"
"Bukan sama aku, tapi sama cewek Abang sebelumnya. Begini toh gaya kencannya? Nggak dibujuk dulu gitu ceweknya kalau dia bilang terserah?"
Wah, ini sih parah. Bang Sakha nggak romantisnya kronis!
"Ya kamunya nggak mau kan Abang ajak makan?"
"Aku bilang gitu?"
Malah debat di tempat parkir.
"Tadi kamu minta pulang."
"Ya tapi kan ada kata terserah di sana!"
Jangan-jangan Sakha nggak paham sama arti kata keramat bernilai mematikan milik perempuan, yakni 'terserah'?!
"Jadi mau makan, nggak?"
"Abang, ih!"
"Kalo mau, mau. Kalo nggak, nggak." Sesimpel itu, kenapa harus jawab terserah? Ribet.
Argh!
Naya mau cakar Abang, serius. "Iya, mau!"
Puas lo? Puas?! Baru kali ini Naya merasa kata 'terserah' perempuan tidak berguna.
Dan Sakha pakaikan helm Naya. Dia bicara, "Oke. Kita makan di resto Tante Seulgi."
***
Kalau boleh Naya menilai, ini cowok nggak ada romantis-romantisnya. Pernah berbuat manis, tapi seketika jadi pahit saat di bioskop bobok membiarkan Naya nonton sendirian. Ugh! Untung bukan pacar.
"Nggak enak makanannya?"
Dari tadi Naya hanya mengaduk-aduk isi piring saja. Nggak tahu kenapa, mendadak bad mood. Wajahnya juga ditekuk, bibir maju cemberut.
Sementara Sakha, sudah kenyang. Semua isi piring masuk ke perut.
"Aku tuh mikir."
Sakha habiskan air minumnya. Naya menyandarkan punggung di kursi, menatap Abang dengan pandangan seriusnya.
"Pantesan ya, sampe tiga puluh tahun usia Abang sekarang dan belum menikah ... ternyata begini toh cara kencannya. Cewek mana mau sama Abang, kaku begini, nggak ada romantis-romantisnya. Bawaannya emosi terus."
Sejak tadi Naya bahas soal gaya kencannya. Seolah Naya tahu dan pernah kencan dengannya saja.
"Nay--"
"Perbaiki lah, Bang. Kalo main sama cewek itu bukan begini, tapi--"
"Kayak gini?"
Naya terkesiap. Bola matanya nyaris gelinding saat telapak tangan Naya disentuh Abang, digenggamnya.
"Atau ini?"
Semakin mau copot saja itu mata ketika Naya melihat tangannya Abang tuntun untuk dicium.
Alamak!
Mama!
Ini lihat anakmu cium punggung tangan Naya!
Lihat!
Naya nggak sanggup saking merasa terkejut dan jantungnya mendadak jedak-jeduk. Mulut Naya terbuka, menatap horor bibir Abang di punggung tangannya, dengan tatapan Abang yang teduh mendamba.
Shit!
"Abang, ih!" Naya langsung menarik tangannya dari cekalan Bang Sakha. Lalu menyimpan tangan itu di atas pangkuan. Yang tak bisa dicegah, pipi Naya memerah. "Aku mau pulang aja deh!"
Uh, Abang menyebalkan!
***