Part 1 (ISJD Seris)
Aldyansah Sakha Lorenzo, siapa yang tidak kenal dengan lelaki fenomenal di kompleks rumahnya? Menjadi incaran wanita, yang sayangnya Sakha terlalu kalem menghadapi kaum semodelan mama.
Sampai usia 30 tahun pun, Sakha masih betah melajang. Pernah pacaran, tetapi tidak sampai jenjang pelaminan, hingga kini rambut Sakha panjang sebahu pun, dia masih bujang.
"Jadi gimana, mau sama Naya apa sama Adinda aja?"
"Naya nggak usah dibawa-bawa, Ma." Sakha duduk dengan kaki di atas kursi sambil makan bakwan udang buatan sang mama. Rambut Sakha dikuncir satu.
Astagfirullah. Kadang Rahee gemas, ingin dia potongkan rambut putra sulungnya.
"Loh ya kenapa? Naya itu kandidat nomor satu padahal."
"Kayak yang nggak ada cewek lain aja."
"Loh, bukannya kamu--"
"Samlekom!"
"Bilang salam yang bener dulu kalo mau masuk rumah orang!" Sakha yang menyahut.
Gadis berseragam kerja itu pun menghempaskan tubuhnya di kursi makan, sebelah Sakha, lalu meneguk air di gelas ... milik Sakha.
Rahee sediakan bakwan udang lebih banyak di piringnya. Memberikan kepada Naya, putri tetangga.
"Baru pulang banget, Nay?" tanya Rahee.
Naya mengangguk. "Sebel banget aku sama tamu bos, genit. Masa aku ditanyain tarif service semalam berapa coba, Ma?!"
"Cocoklah. Pakaian kamu mengundang." Sakha melirik baju yang Naya kenakan.
Praktis Naya menjawab dengan keganasan mulut merconnya. "Loh, ini kan seragam kerjanya! Bos yang kasih, bukan cuma aku yang pakai, banyak! Kami pakai ini karena tuntutan kerja, bukan kemauan! Huh, pengangguran banyak acara mana paham sama seragam kerja!"
Sakha mencebik. Dia masukkan bakwan udang ketiga pada mulutnya. Naya pun lakukan hal serupa, makan udang dengan ganas. Seolah yang sedang dia kunyah adalah abangnya. Eh, ralat.
Abang dari sobat karibnya.
"Iyaaaan!" teriak Naya memanggil sang kawan.
Adrian. Baru pulang dari kerjanya di kantor papa. Duduk manis dituntun Naya pada kursi makan sebelah Bang Sakha.
"Dimakan bakwannya, Iyan. Enak. Bikinan Mama, top markotop!"
Rahee terkekeh sambil memasak bakwannya. Belum beres. Rumah kalau ada Naya pasti rame.
Sakha mencibir. "Jelaslah enak. Yang masak kan Mama, emangnya situ? Masak air juga gosong pancinya."
Loh, loh, kok nyindir?! Naya nggak terima. "Yeah, senggaknya ya, aku gosongin panci juga LAKU. Beda sama yang katanya bisa masak, tapi gak bisa ngasih MANTU!"
"Ngapain nyambung ke sana?"
"Fakta, kan? Aku gosongin panci, tapi ada kok yang mau sama aku. Beda sama yang ahli dapur, cowok, katanya mah ganteng, tapi jomblo, ya buat apa?"
"Nggak ada kaitannya!"
"ADA!"
"NGGAK!"
Kalau bicara dengan Bang Sakha, selalu saja tarik urat sampai menonjol di batang lehernya. Sakha pun sama, dia kalau disatukan dengan sobat adiknya, selalu adu mulut. Untung mulutnya bukan diadu secara fisik, kalau fisik, Sakha pastikan Naya kalah!
Mereka saling lempar tatapan tajam.
Adrian dan Rahee menatap keributan, seperti biasa, sampai menunggu detik di mana Sakha yang mengalihkan pandangan lebih dulu, mundur, pamit ke kamar. Tapi sebelum hengkang, dia ucapkan, "Cewek kok mulutnya kayak mercon, yang jadi cowok gak bakal tahan. Awas jadi perawan tua entar."
Naya langsung berdiri. Berkacak pinggang. "Eh, eh, ngaca ya Masnya! Yang sekarang jadi bujangan tua tuh siapa?! NGACA, WOI!"
Sakha sudah ngeluyur menaiki anak tangga. Naya masih 24 tahun, sedang Sakha 30. Naya sudah punya pacar, sementara Sakha bujang tua!
Naya ngos-ngosan. Lalu duduk kesal di kursi makan.
"Mama tuh, anaknya! Beneran anak Mama bukan, sih?! Kok Bang Sakha beda? Nggak ada kalem-kalemnya?"
Adrian tertawa. Rahee juga. Katanya, "Abang nggak kalem kan cuma sama Naya aja."
"Ih, sebel!"
"Lo belum balik, Nay? Maksud gue, belum ke rumah dulu buat ganti baju?" Adrian mengalihkan obrolan.
Naya cemberut. Mulutnya penuh oleh bakwan, dia sedang menetralisir bara emosi yang dihidupkan oleh Bang Sakha, si bujang lapuk!
"Belum lah, laper."
Isi perut Naya kan ada di rumah tetangga. Selalu dan selalu numpang makan. Itu juga atas izin orang tuanya Adrian kok. Katanya, Naya sudah dianggap anak, jadi jangan sungkan.
"Kita jadi nih ke Gramed?" Adrian bertanya lagi.
"Jadi lah! Wajib. Gue balik bentar, ganti baju." Sebelum dibalas, Naya langsung cus ke rumahnya, cuma lima langkah istilahnya.
Rumah mereka sedekat itu.
***
Karena dekat, membuat posisi kamar Naya ada di tempat yang tidak beruntung. Menyayangkan bos kuli bangunan yang mendirikan rumah dengan desain balkon kamar menghadap balkon kamar tetangga. Parahnya, balkon kamar itu punya Bang Sakha!
Catat!
Orangnya sedang menatap jijik ke arah Naya.
Ih, apa deh?! Naya lagi lipstikkan tahu! Dandan di balkon, enak, ada angin sepoi-sepoi. Cuma suram, karena ditonton oleh salah satu penduduk ragunan!
"Gak pernah lihat cewek cantik, ya?"
"Bukan. Tapi baru kali ini lihat perempuan dandan nggak ada cakep-cakepnya."
Shit!
Gincu yang Naya poles tercoret melewati sirkuit bibirnya. Gara-gara Abang! Dan sekarang lelaki itu tertawa meledeknya.
"Badut Ancol lebih menarik kayaknya."
Naya mencebik keki. Berucap sebelum berbalik, "Ya udah sana, kawin sama badut Ancol aja! COCOK!"
Dan ...
Brak!
Naya banting pintu balkon. Kesal, Lur! Ada saja yang merecoki ketenangan Naya di balkon.
Waktu itu Naya sedang semedi baca n****+ karya penulis favoritnya, eh tahu-tahu Bang Sakha muncul dan nyinyir nggak ada tandingannya. Ngatain Naya gadis pemalas, lah! Calon istri kualitas rendah, lah! Dan bawa-bawa soal dia yang waktu kecil sering nempelin Abang. Lalu hari ini, Naya mau kencan. Sedang bersolek di balkon ternyaman, eh setan malah datang. Sialan!
Sementara itu, di rumah Sakha. Dia sudah turun ke ruang makan seperti biasa. Saatnya isi perut.
"Kamu tuh cowok loh, Bang. Masa betah di rumah? Main kek, atau nyari kerjaan gitu," celetuk Mama.
"Penghasilan Abang selama ini kurang, Ma?"
Rahee berdecak. Nggak bisa lawan kalau bahas soal penghasilan. Di rumah saja Sakha bisa memberikan puluhan juta selama satu bulan. Padahal kerjanya cuma ngamar, rebahan, dan makan. Sial! Anaknya yang nomor wahid ini kenapa, sih?!
"Cari pacar sana, Bang! Kenalin, nikahin. Udah tiga puluh loh, Mama pengin gendong cucu."
"Cucu dari Alifia, kurang?" Sakha makan dengan tenang. "Gina juga lagi hamil kan, Ma?"
Rahee berdecak. Sedangkan Altarik berdeham. Debat dengan Sakha memang perlu pengendalian emosi yang kuat. Well, Gina adalah pangais bungsu yang lahir dari pasangan Rahee dan Altariksa Lorenzo.
"Mama maunya cucu dari kamu, Sakha!"
"Nanti, Ma."
"Kapan? Mau nunggu ajal menjemput?!"
"Mama!" Ini Papa yang negur. Mengusap punggung tangan Rahee. Sakha anteng-anteng saja.
Sore itu papa sudah pulang, makan sore bareng, ada Adrian yang tiba-tiba nyeletuk, "Mau dikenalin sama temen aku nggak, Bang?"
Sakha melirik. "Naya maksudnya?"
"Nah, boleh tuh! Sama Naya aja udah, deket. Nanti pas nganjang, tinggal lempar aja lewat balkon barang-barangnya!"
Sakha berdecak. Naya terus. Naya lagi. Selalu Naya. Betul-betul kayak nggak ada cewek yang lain saja.
"Jangan Naya juga lah, Ma."
"Loh, yang dulu ngebet pengin jadi sama Naya siapa, ya?"
Adrian berdeham. Sedang Bang Sakha melotot padanya.
"Yang dulu nyaris bikin bonyok adeknya gara-gara ngira Naya pacaran sama--"
"Ma!" Sakha menegur.
Tepat sekali, Naya datang nyeruntul dan duduk manis di sisi Mama Rahee sambil menyapa, "Eh, ada Papa. Sore, Pa. Baru pulang kerja, ya?"
Altarik tersenyum. "Naya udah makan?"
Sudah dibilang, Naya sudah seperti putrinya.
Dan Naya memberenggut. "Belum, Pa. Rencananya mau makan sambil kencan nanti, eh gara-gara ada setan di balkon kamar aku, jadi batal!"
Sakha tahu siapa setannya. Tapi kok bisa batal gara-gara dia?
Rahee siapkan piring dan nasi untuk Naya. "Ayo, makan yang banyak, Sayang!"
Naya mengangguk. Mengambil lauk di depan piring Bang Sakha, dan saat itu ... Sakha pukul tangannya.
"Abang!"
"Sopan dikit!"
Bibir Naya mengerucut. Mau balas dengan kata-kata pedas, rasanya nggak ada akhlak sebab ada mama dan papa yang sedang makan juga. Naya pun batal mengambil lauk yang itu, dasar Abang pelit!
Naya yang cemberut menjadi hiburan untuk Adrian. Dia baru akan menyodorkan lauk pilihan Naya di depan piring Bang Sakha, tetapi urung sebab keduluan oleh abangnya.
Sakha geserkan piring itu ke dekat Naya. "Minta tolong didekatin piring lauknya kan bisa." Begitu katanya.
Rahee iseng menyahuti, "Kalo minta tolong didekati jodohnya, bisa? Jangan jauh-jauh deh, sama tetangga aja."
"Nggak!" seru Sakha dan Naya kompak.
Altarik menahan senyumnya. Rahee terus-terusan nyinyir, "Ihiy, jodoh nih. Ngomongnya barengan."
"Mama!" Lagi, barengan.
Naya mendelik kepada Sakha. Lalu bilang, "Aku nggak mau sama Abang!"
"Kamu pikir Abang mau sama kamu? Nggak!"
"Aku juga nggak!"
"Ya sama, amit-amit banget." Sakha nyeletuk yang ingin Naya tusuk biji matanya dengan garpu. Ugh!
Untung saja Papa Altarik angkat bicara, "Makan, Sayang. Jangan debat di depan makanan." Lalu melirik Sakha. "Kamu juga, udah gede jangan cari ribut terus sama Naya."
Sakha mendengkus. Sementara Naya ...
Tunggu saja, nanti, Naya pasti akan colok Bang Sakha!
***