"Udah dua hari ini Papa nggak lihat Naya. Dia ke mana?"
Adalah Rahee bersama Sakha yang saling pandang memandang. Lalu Rahee menendang kaki putra sulungnya di kolong meja makan. Sementara Adrian mengunyah dengan tenang.
Sakha berdecak. "Ada lah, Pa."
"Ada lah gimana?"
"Naya juga nggak balas chat Iyan. Padahal kemarin-kemarin udah janji mau bikin ancang-ancang buat berburu tiket nonton film dari adaptasi n****+ favoritnya."
Well, penulis favorit Naya dikabarkan akan meluncurkan buku baru dan buku yang ini Naya wajib ikut PO, jangan sampai ketinggalan seperti waktu itu. Naya juga selalu mewajibkan diri untuk nonton film adaptasinya. Berburu tiket adalah salah satu action Naya yang paling nyata dalam menunjukkan kecintaannya pada karya author tersebut. Habisnya, tiap kali publish, pasti langsung habis.
Karya orang itu bersifat fenomenologi dan fantastisional, bikin baper hingga berpotensi menularkan uwuphobia kepada para penikmat karyanya. Naya suka.
Naya galau sepuluh hari waktu terlambat ikut PO dan gagal dapat tiket nonton, untungnya buku itu segera launching yang ready stok, juga filmnya diputar lagi di bioskop.
Sasaran galau Naya adalah Adrian. Hiperbolisnya Naya akan nangis tujuh hari tujuh malam di kamar Adrian, lalu wajah buruk rupa sehabis nangisnya akan diledek Bang Sakha.
Rahee mendesah. "Ini pasti gara-gara kelamin."
Altarik tersedak di tempat. Kalau bicara Rahee suka nggak ada akhlak. Alah, bodo amat. Anak sudah bukan remaja labil. Tapi memang tidak patut sih, apalagi bahasnya di ruang makan.
"Mama!" Sakha menegur.
"Maksudnya?" Adrian bertanya.
Rahee cuek-cuek saja memberi minum kepada suaminya sambil bilang, "Abang kamu tuh, Iyan. Lantang banget bilang kalau dia suka kelaminnya Naya, Naya dengar. Gini deh jadinya. Takut sama Abang dia mau mampir ke rumah kita."
Mati.
Papa Altarik batuknya lebih hebat lagi.
Sakha akan mendebat, tetapi urung sebab mama berkicau dari A sampai Z berbunyi pembelaan terkait betapa khawatirnya beliau pada orientasi seksual Sakha. Makanya topik kurang asem keluar dari mulut Sakha saat itu dan menghajar Naya.
Sampai pundung, Naya menolak ajakan Mama Rahee untuk numpang makan lagi seperti biasa. Alasannya sibuk lah, sudah kenyang lah, ngantuk lah, dan sebagainya.
"Sakha, besok kamu ikut Papa," kata Altarik setelah batuknya reda.
"Ke mana?"
"Ke tempat Abi."
"Untuk apa?" Sakha sudahi acara makannya.
Altarik memijat pelipis sambil bilang, "Cari pacar, milih aja yang sesuai, pasti ada, kalau memang manusia Ibu Kota nggak ada yang bikin kamu selera. Kampus tempat Abi ngajar isinya manusia dari berbagai daerah. Jadi ... cari sampai dapat, ya!"
"Loh, loh, nasib Naya gimana?"
Altarik menatap Rahee. "Kita usahakan Naya untuk Abi."
Adrian menelan gumpalan nasinya bulat-bulat.
***
Hari ini Naya kerja seperti biasa. Tiba di rumah saat malam. Naya pun turun dari motor pacar barunya, dia berikan helm kepada sang empunya.
"Makasih ya, Der."
"Okey. Ngomong-ngomong ... nggak diizinin mampir, nih?"
Naya melirik rumahnya, lalu menggeleng. "Rumah aku sepi. Kalo mau, siangan aja mampirnya."
Deri terkekeh. Dia cubit pipi Naya. "Oke deh. Besok aku jemput ya, Nay."
Senyum, Naya mengangguk. "Hati-hati, Der. Nyampe rumah langsung kabarin aku, ya!"
Deri pun hengkang dari sana setelah memberikan klakson tanda pamitan. Naya melambai sambil senyum. Duh, Deri pacarable sekali. Nggak salah Naya jadian dengan dia. Meski di hati Naya yang merajai adalah Bang Abi. Lelaki yang membangun istana di hatinya, tetapi juga merusak istana itu hingga hancur lebur.
Naya mengharap pada lelaki yang tak pernah memberinya asa. Naya mencinta pada lelaki yang tak pernah menganggapnya wanita. Naya mengungkapkan rasa pada lelaki yang detik itu juga langsung menolaknya. Oh, Abian Lorenzo. Kenapa hanya sakit yang diberikannya kepada Naya? Sedang di sini Naya tak bisa membunuh cintanya terhadap dia.
Kesal.
Tapi, Naya bisa apa?
Ketika Bang Abi kembali membangkitkan harap dan asanya di waktu Naya gagal membunuh rasa?
Ck! Sudahlah. Back to realita.
Lama Naya memandang jejak Deri, dia pun berbalik.
"Setan!"
Terkejut. Naya oleng. Entah kapan seseorang ada di belakang tubuhnya dengan kaos dan kolor putih. Pinggang Naya dipegangnya.
"Ba ... ba ... ba ..." b*****t! Naya melotot. "Bang Abi?!"
"Abi cocotmu!"
"Aw!"
Jidat Naya disentil Sakha. Dia pun melepaskan cekalan tangannya dari pinggang ramping itu, hingga Naya tersentak dua langkah ke belakang.
"Idih, duta sampo ngapain di sini?!" decak Naya garang.
Sakha nggak terlalu mirip dengan Abi, tapi karena rambutnya sedang di kuncir satu dengan mumpuni di saat isi kepala Naya penuh dengan seorang Abian, pasti refleks bibir menyebut nama itu.
Walau mata jelas tahu bahwa yang Naya sebut setan itu Aldyansah Sakha Lorenzo. Bukan Abian.
"Katanya naksir adik Abang, tapi kamu terlibat kencan sama lelaki lain?"
Naya mendengkus. Dia pun membuka gerbang rumahnya, diikuti Sakha. Naya memprotes, tetapi telinga Sakha dirakit tuli sampai-sampai Naya biarkan saja.
"Nanti aku putusin kalo Bang Abi pulang."
Sakha menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu rumah Naya. Baik, tentang status dan acara naksirnya Naya kepada Abi, Sakha nggak mau ikut campur.
"Kamu kenapa menghindar?"
"Eh? Kapan?"
Pura-pura bolot saja dulu. Naya ke dapur. Lalu datang lagi dan meletakkan kopi rendah gula di meja untuk Bang Sakha si pemuja kopi.
"Papa nanyain."
"Ah ... gitu."
Seolah jauh.
Padahal rumah bersebelahan.
"Mama juga rungsing nyariin. Sakit hati dia ditolak kamu dalam dua hari berturut-turut."
"Aku nggak nolak Mama."
Sakha seruput kopinya. Pas. Naya memang paling tahu takaran gula dan kafein untuk seleranya. Tidak pahit, tidak manis juga, kental, dituang dengan air yang lagi panas-panasnya. Cocok lah buat dijadiin istri. Oke, sip. Sakha perlu membenturkan kepalanya ke dinding. Bisa-bisanya dia mikir kayak gitu!
"Ya, ya, terserah lah." Sakha letakkan cangkir itu di tempat semula, menatap Naya. "Soal kelamin--"
"Astagfirullah, aku lupa!" Naya memangkas sambil berdiri. "Ya ampun, aku belum mandi. Udah malem ini, keburu tambah malem. Mending Abang pulang aja. Aku mau langsung--"
"Kopinya belum habis, Nay."
"Bawa aja bawa! Cangkirnya bawa aja gak apa-apa. Bawa!"
Yang Naya tarik-tarik tangan Bang Sakha, lalu mendorong tubuh itu hingga tiba di depan pintu.
"Pelan, Nay! Abang bawa kopi panas, nih." Menggerutu.
Naya cepat-cepat tutup pintu. Ya amsyong! Itu mulut manusia satu apa nggak mau pakai filter? Atau gini deh, punya malu dikit kek sewaktu mau bahas soal kemaluan. Ugh. Naya merinding. Bang Sakha sinting!
Bisa-bisanya naksir sama kelamin Naya!
Ih!
Amit-amit.
Gunting mana gunting?
Naya mau memangkas habis rambut gondrong pria sinting itu biar eling!
Huh.
TUMAN!
***