Part 9

1347 Kata
Seulgia: RAHEE! OH MAY GAT, OH MAY NOW, OH MAY WAOOU! Banyu: Aya naon, yeuh? Aya naon? Jaelani: Hadir. Altarik: Iya, Mbak? Seulgia: Anakmu, Al, anakmu! Huhu. Seulgia: Ya amsyong! Induknya mana, sih? Oi! Altarik: Anak aku kenapa, Mbak? Rahee: Anak aku yang mana, nih? Chandra: Nah, repot kan. Ngadi-ngadi sih bikin anak sampe tujuh. Kai: Angjim surangjim wkwk. Lei: Kayaknya Rahee udah mulai mau sebar undangan, nih. Altarik: Ngaco! Saya nggak izinin Rahee nikah lagi sekalipun saya mati nanti. Banyu: Yeu, si Bangke kalo ngomong suka bau-bau gitu. Heran aing. Rahee: Umm ... undangan apa ya, Bang? Seulgia: Sakha, Ra, Sakha! DIA KISSEU KISSEU TANGAN NAYA, AW AW! (´∀`)♡ Alia: Wah ... harus cepat-cepat diresmikan itu, Ra. Kai: Dari tangan dulu, naik ke bahu, mampir di dagu, baru deh ... menggeliat nackal di bibir. Ahay! Marine: Segitu ada pawang juga berani ya, Bang Kai. Chandra: Wah, anakmu sudah positif mau nikah, Bunda. Hayuk, hayuk, kita musnahkan kutukan lama. Kai: Gue nggak ngutuk, njir. Itu canda doang, elah! Rahee: Tapi buktinya Sakha nggak nikah-nikah sampe sekarang, Bang. Tiga puluh tahun dia, otewe tiga satu. Seulgia: Tenang, Ra. Tenang. Ini Mbak udah mengabadikan momen kencannya Sakha sama anak tetangga kamu itu loh. Seulgia: Mbak kirim sini, ya, futu-futunya. Uhuhu. Marine: Ya ampun! Tatapan Bang Sakha bikin dedek mau meninggoy (´ε` )♡ Jaelani: Emotnya, Rin, minta diseleding, ya. Lei: Ceweknya sampe salting, Ra. Banyu: Semriwing-semriwing yahud. Wendi: Aw, aw, mau dong dicium. Chandra: Otewe kamar, Bund. Kai: Insaf lah wahai manusia~ Altarik: Duh, lihat Sakha berasa ngaca zaman saya jatuh cinta sama mamanya. Chandra: Tai qotoq lediq. Banyu: Hahaha, anjir. Chandra nu gelo. Kai: Udah pada tuwir, kapan mau jaga jempol dari setan yang terkutuk? Alia: Astagfirullah. Kai: Emang bini gue doang yang paling bener. Chandra: Alah! Banyu: Alia istigfar buat maneh, Kai. Chendrawasih: Siap-siap, Kai, dirukiyah bini. Wkwk. Seulgia: Jadikeun ya, Ra. Jadikeun! Samudra: Kalo Sakha nikah, Abang mau salto depan mobil pas turun nih. Irina: Jangan bercanda! Banyu: Encok tau rasa maneh, Bang. Umin: Sadar umur, plis. Jaelani: Awas rontok semua itu tulang wkwk Marine: Kan ada Oscadoni-SP. Tenang aja. Ya, kan? Wkwk Dion: Doni denger bisa kena amuk tujuh hari tujuh malem kamu, Rin. Ledekin nama dia. Chandra: Lagian ngasih nama anak ngadi-ngadi banget, angjim. Rahee: Bagus kok namanya, Oscadoni Lascar Kusuma. Rahee ngakak guling-guling di tempatnya. Dia simpan ponsel dan menutup ruang chat keluarga. Tentu saja, kelakuannya tidak luput dari pandangan Mr. Altarik yang sedang nonton TV. Sedangkan Rahee rebahan di kasur lantai sambil menunggu putra sulungnya. "Ra." "Hm?" "Abang baru kepikiran." Rahee pun duduk tegak merapikan helai rambut yang menjuntai panjang. "Apa, tuh?" Altarik menyesap teh hangatnya. "Kita punya banyak anak, tapi rasanya tetep aja ... sepi, ya?" "Terus? Mau minta bikin baby? Nggak bisa, ya, nggak bisa! Aku udah lima puluhan!" Altarik pun menampol tubuh istrinya dengan bantal sofa. "Anak udah gede semua, maksud Abang, kenapa cucu kita nggak ada yang suruh tinggal di sini aja?" Ah, iya ... Semuanya digondol pasangan. Membawa serta hasil dari percintaan. Hanya ada satu harapan ... detik di mana lantunan salam terdengar, membuat Rahee dan Altarik menoleh sambil jawab serempak. Melihat Sakha yang ngeluyur menuju kamar tanpa cakap apa hal yang telah terjadi di acara nontonnya hari ini. "Abang." Makanya, Rahee memanggil. Sakha henti melangkah, berbalik demi menjaga sopan santun plus merespons mamanya. "Iya, Ma?" "Mama mau minta cucu." Berasa ngomong minta s**u, tinggal beli ke warung depan, seduh, jadi. Sakha sudah meneruskan langkah. "Abang! Mama lagi ngomong, loh!" Sakha menggeleng. "Sakha!" Baik, Sakha berhenti. Menatap mama dari tangga teratas menuju kamar dia berucap, "Permintaan Mama ngaconya maksimal. Minta cucu kok sama yang bujang? Nanti giliran dikasih cucu tanpa mantu, pasti Sakha lagi kan yang diomelin? Sana minta cucu ke Fia, Gina, atau Refli, Leon juga boleh!" Uh, Sakha. Selalu sensitif kalau mama bahas soal cucu. Yeah, itu pasti karena belum bisa kasih mantu. *** Sementara itu di lain tempat. Naya memikirkan Abang, kilasan tatapan Sakha di restoran Tante Seulgi membuat dia kepikiran. Oh, ya ampun! Kenapa tatapan Abang kayak gitu, sih? Meresahkan perawan tahu, nggak?! Membuat Naya tidur susah, bangun pun gelisah. Hingga resmi di malam itu ... wajah Sakha menari-nari di pikiran Naya bahkan mampir di mimpinya sekalipun. Kacau. Mimpi itu membuat Naya bangun siang, sedang dia harus kerja pagi. Naya menggeram keki. Dia buru-buru bangun dan menghangatkan lauk kemarin, sambal telur bikinan sendiri. Walau Naya seringnya numpang makan di rumah Mama Rahee, tapi sesekali dia masak di rumah sendiri, walau hanya sambal telur dua biji. Oke, makan cepat. Habis makan, mandi. Naya rempong sekali. Namun, hari itu ... Naya mendengar suara motor yang amat dia kenali. Pergerakan Naya terhenti. Dia urung ke kamar mandi, memilih keluar rumah untuk memastikan apa yang dia dengar tadi. Oh, Tuhan ... benar, Bang Abi pulang. Naya melotot dan lumer di tempat bahkan hanya dengan melihat penampakan punggungnya saja. Iya, lelaki itu ... yang mencuri hati Naya, bertahta di kasta tertinggi istana hatinya, pulang, dia datang, menghapus nama Sakha yang semalam terukir di sana. Semudah membalikkan telapak tangan, secepat berkedip, bayang-bayang wajah Sakha yang Naya galaukan semalam hilang dipupus bersih oleh seorang Abian. "Demi Dewa! Itu Bang Abi? Oh, Bang Abi pulang?" Naya girang. Dia terlalu senang. Ya ampun! Persetan dengan kesiangan! Cepat-cepat Naya bercermin, dia rapikan rambut, lalu pakai minyak wangi. Oke, sip. Cantik. Nggak kelihatan belum mandinya. Cepat, Naya, cepat! Teriak batinnya yang kesenangan. Ini hari terindah. Bayangkan! Lelaki yang bertahun-tahun kamu cintai telah kembali, dapat kamu lihat dari jarak terdekat ... andai kamu berani. Seperti Naya saat ini. "Itu Bang Abi, kan?" Naya bertamu, ketuk pintu ke rumah Mama Rahee, padahal biasanya juga langsung masuk dan duduk di ruang makan melegut kopi milik Abang. Sekarang Naya bertindak lain, dan yang membukakan pintu adalah Sakha. Si Sulung Lorenzo berdecak. "Gercep ya kamu kalau soal Abi." Tidak peduli. Naya justru bertanya rempong kepada Sakha tentang: "Abang, liat ... gigi aku ada cabenya nggak? Habis makan sambal telur tadi." Memastikan, walau Naya sudah bercermin dan tidak ada apa-apa di sana. Atau: "Bentar. Badan aku bau, nggak? Belum mandi." Meski Naya sudah semprotkan minyak wangi. Secukupnya, jadi tidak akan pusing saat menghirup aroma dia hari ini. Dan atau: "Mata aku nggak ada beleknya, kan? Mulut aku nggak bau kan pas ngomong? Belum sikat gigi, tapi gak bau, kan?" Kepada Sakha Naya begitu, bicara pelan takut Abi mendengar. Sakha jawab dengan kerlingan mata malas. "Mau masuk, nggak?" Naya buru-buru masuk melewati tubuh Abang di lubang pintu utama. Ya ampun! Ehm. Oke. Tenang, Nay, tenang. Nanti Abian ilfeel kalau Naya belingsatan. Jadi, kalem. Sungguh, Naya super kalem. Membuat Sakha menatapnya ngeri. Seolah makhluk sejenis Naya nggak ada cocok-cocoknya kalau kalem begini. Menyisipkan helai rambut ke belakang telinga, bertingkah anggun, senyum, tertawanya dijaga dan ditutupi, tutur kata pun manis sekali. Tentu, Naya begitu karena di depan Abi. Ikut sarapan bersama dan haha-hihi cantik. Padahal Naya sudah sarapan dengan sambal telur tadi, setahu Sakha. Ditanyai Abi soal kabar, berasa diajak hangout ke kamar, Naya merona. Sakha melihatnya. Ada image yang teramat Naya jaga. Seperti menjadi orang lain saja. Sebab Naya harus tampil cantik, bersih, dan wangi di depan lelaki pujaannya. Padahal ... kalau di depan Sakha, Naya kentut, Naya menguap, Naya ngakak, semuanya, yang membuat ilfeel lelaki ditunjukkan kepada Sakha. Jadi, sudah. Sakha selesai dengan makannya. "Eh, mau ke mana, Bang? Belum habis itu nasi." "Ada tugas yang belum kelar, Abang ke kamar." Rahee dan Altarik mencibir. Sedangkan Abi tertawa, ganteng, di mata Naya. Sementara Adrian bertanya, "Nay, nggak kerja?" "Mati!" Naya menepuk jidatnya. Astagfirullah! "Duh, Iyan. Aku pulang ya, Ma, Pa," dan ... malu-malu kucing. "Aku pulang, Bang." Abi kian tergelak. Dia bicara, "Naya lucu banget." Di dengar Naya. Ucapan Abi seperti bom waktu, percayalah. Hanya perlu menunggu detik ke berapa Naya pasti meledak. Dan, ya. Di rumahnya. Di kamar. Naya menjerit-jerit salah tingkah. Terlihat oleh Sakha yang duduk di balkon, siluet Naya nampak di jendela tembus pandangnya. Benar, jendela besar itu tembus pandang. Detik di mana Naya sadar tengah diperhatikan, dia berhenti, menoleh, dan ... bertatapan dengan Abang. Ada jantung yang bekerja secara gila-gilaan. Entah, jantungnya siapa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN