Hening malam dan hanya terdengar suara dari kipas angin di kamar sempit, menjadi tempat merenung Evelyn malam ini. Duduk di bawah, beralas karpet bulu yang sudah buluk. Eve memeluk kedua kakinya. Pandangannya kosong dan pikirannya menerawang. Sungguh, malam ini ia merindukan kedua orang tuanya yang telah tiada. Eve masih mengingat jelas percakapannya dengan Tirta. Pria itu begitu jelas dan tegas saat bicara lewat sambungan telepon. Meminta waktu agar besok bisa bertemu untuk membahas beberapa hal. Seketika saja jantung Eve berdetak cepat karena gugup serta khawatir. “Sampai sekarang nggak pernah menyangka kalau aku dan Tuan Arnesh akan terus berurusan,” gumamnya. “Semuanya serba kebetulan. Walaupun aku berutang sama dia, tapi setidaknya aku diselamatkan dari Tuan Alex. Membayangkan kelak