1. BALAS BUDI
Suara gemericik air terdengar di sebuah ruangan, yang merupakan toilet apartemen mewah. Tidak lama, suara tersebut menghilang dan berganti dengan suara gosokan halus sebuah kain pada lantainya. Digosok hingga mengering dan juga bersih. Jangan sampai meninggalkan noda sedikit pun.
“Akhirnya beres juga.”
Evelyn Addlisa atau yang akrab dipanggil Eve, berusia 22 tahun. Malam ini ia memiliki tugas menggantikan pekerjaan Sukma. Hal ini dikarenakan bibinya yang tengah sakit. Karena tidak ingin kehilangan pekerjaan, jadilah Suka meminta bantuan Eve.
Tugas ini Eve kerjakan ketika pulang dari bekerja di butik. Ini sudah kali ketiga Eve membantu bibinya. Tugas ini tidaklah berat karena Eve sudah terbiasa. Dan sejauh ini, semuanya berjalan dengan lancar.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, Eve membuka sarung tangan yang digunakan selama membersihkan apartemen. Ia melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 9 malam.
“Untung yang punya lagi nggak ada. Jadi aku bisa membersihkan tempat ini tanpa ada gangguan atau pengawasan,” gumam Eve. Ia meregangkan otot-ototnya yang pegal akibat pekerjaan ini. “Sekarang waktunya pulang. Rasanya nggak sabar berbaring di atas kasur.”
Baru saja tangan Eve memegang gagang pintu toilet dan membukanya sedikit, tiba-tiba ia mendengar suara pintu apartemen dibuka. Tubuh Eve menegang dan diam di tempat semula. Bukan hantu yang ia pikirkan, melainkan siapa yang datang ketika ia masih di tempat itu.
“Gawat! Jangan-jangan yang punya sudah pulang,” Eve membatin.
Pelan-pelan Eve keluar dari toilet khusus tamu. Letaknya di sudut apartemen, sehingga tempatnya tidak terlalu terlihat. Jantungnya nyaris copot membayangkan jika bertemu pemilik apartemen. Karena ia menggantikan pekerjaan secara diam-diam, takut menyebabkan si pemilik tidak nyaman.
“Beb, jangan buru-buru. Malam ini, aku milikmu.”
“Aku sudah tidak sabar.”
“Baiklah, tubuhku hanya milikmu. Jadi silakan nikmati sampai kamu puas.”
Suara desahan seorang wanita berhasil membuat bulu kuduk Eve berdiri. Ia kembali ke dalam toilet sampai situasinya lebih aman. Meski tidak melihat siapa yang datang, Eve yakin jika orang itu adalah bos dari bibinya.
“Ya Tuhan, kenapa bosnya si bibi sudah pulang? Bukannya malam ini dia nggak pulang ke apartemen?”
Suara erangan dari seorang wanita yang membuat merinding terus terdengar meski samar. Eve ingin pergi tapi masih belum punya keberanian. Apa yang akan ia lakukan jika dua manusia yang sepertinya sedang memadu kasih, melihat keberadaannya. Sungguh tidak sanggup untuk dibayangkan.
“Aku harus cepat-cepat keluar dari sini. Bagaimanapun caranya,” gumamnya cemas.
Tidak lama, Eve mendengar suara pintu ditutup. Ia yakin jika dua orang itu sudah masuk kamar. Kesempatan ini digunakan Eve untuk pergi agar tidak ketahuan.
Hati-hati sekali kakinya melangkah. Ia mengambil tas miliknya yang diletakkan di meja makan. Tanpa membuang-buang waktu, Eve berlari kecil ke arah pintu, kemudian segera keluar dari tempat itu.
“Syukurlah aku bisa keluar tanpa ada yang tahu,” ucapnya lega.
Setelah keluar dari gedung megah itu, Eve mengalihkan pandangannya ke sana. Menatap bangunan tinggi itu, dengan perasaan kagum. Meski bukan pertama kali, tapi ia merasa takjub karena punya kesempatan masuk ke tempat yang dimiliki oleh orang-orang beruang banyak.
“Semoga bibi cepat sembuh. Setiap masuk ke tempat ini, perasaanku selalu deg-degan. Pemeriksaannya ketat banget, bikin takut padalah aku bukan penjahat.”
Sebelum memutuskan pulang ke kost tempatnya tinggal, Eve berencana untuk singgah ke rumah sang bibi. Sejak masuk bangku sekolah menengah pertama, ia dirawat dan diajak tinggal oleh bibinya – kakak dari ibu. Itu sebabnya, Eve akan melakukan apa saja, demi membalas kebaikan bibinya.
Hidup dalam keluarga yang tidak berlimpah kekayaan, Eve tetap merasa beruntung masih punya keluarga yang menerimanya. Ayahnya meninggal ketika ia masih SD dan ibunya kembali menikah. Namun, ibunya meninggal ketika ia masih SMP. Hanya bibi dan sepupunya sebagai orang terdekat yang dimiliki saat ini.
“Eve, kenapa malam-malam ke sini?”
Sambutan ini Eve terima dari kakak sepupunya bernama Dude. Pria yang memiliki perbedaan umur lima tahun dengannya. Sikapnya sedikit kasar dan juga ketus. Apalagi penampilannya seperti preman yang suka membuat onar.
“Aku mau ketemu bibi,” jawabnya. “Kamu mau ke mana? Judi lagi?”
Dude mengangkat bahunya ringan. “Cari angin. Sumpek ngurus ibu.”
Eve menggeleng pelan, sembari menghela napas panjang.
“Jangan sampai kamu menyesal sudah ngomong begitu,” sindir Eve.
Pria itu berdecak santai. “Eve, bagi duit dong. Buat beli rokok.
“Enggak ada!” sahut Eve lalu pergi ke dalam.
“Dasar pelit!”
Sesampainya di depan kamar bibinya, Eve melihat wanita itu berbaring di atas tempat tidur. Matanya masih terbuka dengan tatapan menerawang di bawah sinar lampu berwarna kekuningan. Entah apa yang sedang di pikiran bibinya.
“Bibi, kenapa belum tidur?”
Wanita paruh baya itu menoleh pelan. Sebuah senyum muncul di wajahnya yang pucat.
“Eve, kamu datang?”
Eve duduk di pinggir kasur, mencium tangan bibinya yang dingin.
“Iya aku datang. Kenapa Bibi belum tidur? Ini sudah malam, Bi.”
“Bibi kepikiran kamu. Gimana pekerjaannya, aman?”
“Aman kok. Semuanya sudah beres dan Bibi tenang saja,” jawab Eve.
“Syukurlah. Sekarang Bibi bisa tidur dengan tenang.”
Eve tersenyum. “Aku sudah tahu Bibi khawatir, makanya aku singgah ke sini sebelum balik ke kost.”
Sukma memegang tangan keponakan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Wajahnya yang lemas, berusaha untuk kembali tersenyum.
“Terima kasih ya, Eve. Kamu sudah membuang rasa malu kamu, dan mau mengambil pekerjaan kasar. Kalau bukan karena bantuan kamu ganti tugas Bibi, mungkin saat ini Bibi sudah kehilangan pekerjaan.”
“Bibi kenapa bahas ini lagi, sih? Aku nggak apa-apa, loh. Yang panting, Bibi istirahat yang cukup biar cepat sembuh.”
“Iya Eve. Semoga minggu depan sudah bisa kerja lagi. Nggak enak juga sama si bos karena pekerjaan bibi digantikan orang lain. Kalau ketahuan, pasti dia marah.”
Eve ingat dengan kejadian barusan. Namun ia sudah memutuskan untuk tidak cerita kepada bibinya.
“Apa Bibi nggak mau di rawat di rumah sakit? Aku takut, asam lambungnya makin parah. Sudah seminggu nggak ada perubahan, Bi.”
Sukma menggeleng pelan. “Kalau Bibi sampai di rawat, siapa yang mau ngurusin?”
“Aku dong. Tapi kalau aku kerja, yang jaga Dude. Memang siapa lagi.”
“Jangan mengharapkan apapun dari anak itu. Dia nggak minta uang saja, Bibi sudah bersyukur.”
Eve menghela napas pelan, merasa kasihan kepada bibinya.
“Jangan pikirin kelakuan dia, Bi. Akan sangat sulit berubah kalau bukan karena keinginannya.”
“Kamu benar. Bibi sendiri sebagai ibu sudah nggak tahu harus gimana menghadapi dia.”
“Ya sudah, sekarang Bibi istirahat dan cepat tidur. Ini sudah malam, jangan sampai begadang.” Eve beranjak dari duduknya. “Kalau ada apa-apa, telpon aku ya, Bi.”
“Iya Eve, kamu hati-hati di jalan ya.”
“Iya Bi.”
Sepanjang jalan menuju tempat tinggalnya, Eve merenungi keadaan bibinya. Wanita berhati baik dan juga pekerja keras, tengah terbaring sakit. Meski sudah terus dibujuk, tapi Sukma menolak untuk dirawat di rumah sakit.
“Maaf bi, aku belum bisa membalas semua kebaikan yang bibi berikan. Tapi aku akan berusaha, agar nanti bibi nggak usah bekerja sebagai cleaning service, di umur bibi yang sudah tidak muda lagi.”
Saat Eve sibuk dengan isi kepalanya, tiba-tiba ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Tanpa menoleh, kakinya melangkah panjang agar cepat sampai rumah. Jantungnya berdetak cepat, merasa takut dan juga was-was.
Ketika melihat gang tempat tinggalnya, seketika ia bisa bernapas lega. Lantas Eve mencoba menoleh ke belakang, namun tidak menemukan siapa-siapa.
“Trauma ini benar-benar menyiksaku,” gumam Eve.