" Dylan?"
Tubuh kecil itu yang sedang terisak di atas tubuh kaku ibunya, menoleh saat mendengar namanya di panggil.
" Ayo, nak.."
Dylan menggelengkan kepala, dan kembali memeluk ibunya.
Dylan Alvaro... Anak kecil berusia lapan tahun itu, berontak ketika di angkat paksa oleh pria tua itu.
" Mommy!" Dia menggapai tangan ibunya, namun tangan kecil itu di paksa untuk melepaskan dari tangan ibunya.
" Tidak...tidak, lepaskan.. ,Mommy!"
Dia di bawa ke dalam mobil, anak kecil itu terus berontak dalam pelukan pria tua itu.
" Aku mau sama mommy! Lepaskan aku.."
Dia memukul mukul d**a pria itu dengan tangan kecilnya.
" Tenang, nak, tenang.." pria itu berulang kali mencium kepala anak itu, agar dia lebih tenang.
" Tidak mau, Grandpa! Dylan sama mommy!"
Ya, pria tua itu adalah kakeknya dari sebelah ayah, pria itu terus menenangkan cucunya sehingga anak kecil itu lelah berontak dan menangis akhirnya tertidur.
" Ayo jalan.."
" Baik, tuan.."
***
Ketika Dylan sadar, dia sudah di sebuah rumah sederhana.
Dia memaksa tubuhnya untuk duduk sambil memegang kepalanya.
Kemudian terlihat seorang anak perempuan memasuki kamar itu.
" Hey.. kamu sudah bangun.."
Belum sempat Dylan menjawab, anak perempuan itu kembali berlari keluar sambil berteriak.
" Guru!"
Dan tak lama kemudian, terlihat kakeknya memasuki kamar itu.
" Kamu sudah bangun, Nak.."
Dylan yang selama ini terkenal anak ceria mendadak jadi pendiam itu, dia hanya memandang kakeknya dengan pandangan kosong.
Kemudian anak kecil itu alihkan pandangan kearah anak perempuan yang sejak tadi tersenyum padanya.
" Dia Sonya.."
" Hello Dylan, guru sudah bilang sama aku kalau nama kamu Dylan.." anak kecil yang muka tembam itu berceloteh panjang lebar dengan senyuman sumringah.
Namun Dylan hanya memandangnya tanpa kata kata, kemudian mengalihkan pandangan, seolah tak mendengar kata anak perempuan itu.
" Nak, ayo! Grandpa mau kenalkan kamu sama yang lain, pasti mereka menyukai akan ada teman ba—"
" Bagaimana Grandpa bisa setenang ini." Sela Dylan dengan suara serak. " Daddy adalah anak Grandpa tapi seperti Grandpa tak peduli.."
" Bukan seperti itu, Lan! Grandpa punya alasan sendiri melakukan ini.."
" Lalu apakah menurutmu aku akan mendengarnya.." jawab anak kecil itu dengan sengit.
Grandpa alias guru karate Dylan hanya menghela nafas panjang.
" Ya sudah, ayo keluar.."
Dylan yang masih berduduk atas ranjang merangkak turun.
Grandpa dan Sonya berpandangan melihat Dylan tak menghiraukan mereka sambil berjalan keluar.
" Lan.." sapa seorang anak perempuan yang sebetulan melihatnya.
Dylan terhenti seketika, lalu memandang anak gadis itu lalu pandangannya di alihkan kearah anak laki laki di sebelah gadis itu.
" Kamu ingat kita, kan?" Tanya anak laki laki itu pula sambil tersenyum lebar.
Dylan menyepitkan mata mencoba mengingat kedua orang itu.
Kemudian dia teringat dengan dua anak kembar di pasar malam waktu itu.
Ya, Dylan ingat, kedua orang di depannya itu yang terlihat sangat mirip pernah bertemu dengannya ketika dia dan keluarganya pergi ke pasar malam untuk terakhir kalinya.
Saat itu mereka sedang mengemis dan Dylan yang merasa kasihan memberi mereka uang dan makanan.
" Kamu mau kemana, biar kita berdua temankan.." kata anak perempuan itu membuyarkan lamunan Dylan.
Dylan hanya diam sambil melangkah meninggalkan kedua orang itu.
" Diam berarti iya kan.." tanya anak laki laki itu pada anak gadis di sebelahnya.
Gadis itu mengangguk dengan wajah lucunya
Kedua terus berlari mengejar langkah Dylan.
" Kita berdua tidak menyangka ternyata guru Davian itu grandpa kamu.." kata anak perempuan itu setelah berjalan beriringan dengan langkah Dylan.
" Setelah pertemukan kita di pasar malam itu, besok harinya, guru Davian menemukan kita lalu membawa kita ke sini, benar kan, Nata.."
Anak gadis itu mengangguk mantap mengiyakan.
" Oh ya . Aku Nick dan ini adik kembarku Natalie.."
" Hello Dylan.."
Dylan masih terdiam sambil memandang tangan yang di ulurkan kearahnya, tandanya gadis itu mau bersalaman dengannya.
" Sabar, bukan niatnya mengacuhkan kamu, hanya saja dia sedang sedih.." bisik Nick di telinga adiknya ketika melihat wajah tembam itu terlihat muncung.
" Lan, apa yang bisa kita berdua bantu.."
Tanya Nick sambil menghampiri Dylan yang mempunyai ketinggian yang sama dengannya.
" Lan.." panggil Grandpa sambil menghampiri mereka, namun Dylan terus menjaga jarak, detik berikutnya dia meninggalkan mereka.
***
Berapa hari kemudian Dylan berada di pulau tanpa menghuni itu.
Anak anak di dalam rumah itu yang seperti sudah memahami sifat dingin Dylan, semua memaklumkan, tidak mudah menerima kenyataan apalagi keluarga di bunuh dengan tradis.
Dylan yang sedang berjalan menuju kamarnya tiba tiba melihat Grandpa yang baru keluar dari satu ruangan.
Dia memandang Grandpa yang berjalan menuju dapur.
Dan karena penasaran dia memasuki ruangan itu, di dalam sana tidak ada apa apa yang menarik kecuali buku buku yang tersusun rapi dalam rak buku.
Dia tak menyentuh apa apa sambil menghampiri meja, dia lihat atas ada kaca mata putih disana dan kopi.
Namun yang menjadi perhatian anak itu adalah tablet atas meja.
Dia menggesek jarinya di atas tablet itu tanpa mengambil tablet tersebut, Dan untungnya tablet itu tidak ada kata laluan.
Dylan kembali melihat kearah pintu saat mendengar suara langkah kaki seseorang.
Namun perhatian anak itu kembali kearah tablet saat mendengar berita yang di siarkan hari ini.
Dada anak itu turun naik melihat berita itu, yang mengatakan keluarga Alvaro telah selamat di kebumikan.
" Dylan?"
Dengan mata menyala marah Dylan melihat kearah kakeknya.
" Apa maksudnya ini?" Dylan mengambil tablet itu lalu di banting ke lantai.
" Omong kosong apaan ini? Rumah keluargaku sudah di tempati oleh si membunuh.."
Grandpa Davian melihat dengan jelas cucunya itu sedang terluka, namun dia tak bisa buat apa apa selain melihat dari jauh.
" Apa maksudnya ini? Huh? Bagaimana bisa membunuh itu tinggal dirumahku.."
" Lan—"
" Tolong jelaskan padaku! Kenapa membunuh itu ada dalam rumahku.."
" Lan—"
" Kenapa? Kenapa?"
Dia menyapu habis semua barang barang atas meja dengan tangan kecilnya.
" Kenapa? Tolong jawab kenapa?"
Dia berlari kearah rak buku dan meluahkan semua kekesalannya disana.
Grandpa hanya memperhatikan bagaimana cucu kesayangannya itu mengamuk.
Tak lama kemudian, Grandpa melangkah keluar memberikan Dylan menenangkan diri.
Dia tahu lambat laun Dylan akan memahami semuanya.
***
Lewat tengah malam, Dylan yang lelah meluahkan semua kekesalan dan emosinya dalam ruangan itu, dia berlari keluar dari ruangan itu.
" Aaron.. Sudah.." terdengar bisik bisik dari arah dapur.
Dylan membawa langkahnya kearah dapur
Di ambang pintu dia melihat ada seseorang anak kecil atas kerusi sambil membuka kulkas.
" Aaron, kalau kita ketahuan guru kita bisa di hukum.."
Di ruangan itu ada empat orang yang satu berdiri depan kulkas semantara yang tiga orang lagi sedang terduduk sambil menyilangkan kaki atas kerusi.
" Aaron.." panggil yang satu, dia adalah yang memiliki kembar tempoh hari ingin berkenalan dengan Dylan namun tak di hiraukan.
" Kalau ketahuan guru bisa mati kita.." ucap yang satu sambil melihat sekeliling sehingga akhirnya dia melihat Dylan yang sedang memperhatikan mereka.
" Kalian terlalu banyak bicara tapi ikut makan juga.." ketus yang di panggil Aaron itu sambil membalikkan tubuh.
" Apa sih Lee.."
Anak kecil itu menyingkirkan tangan yang di panggil Lee itu dari bahunya.
" Kim.. itu.. itu.." tunjuk anak kecil itu kearah Dylan.
" Apa sih Kalian.." gerutu Aaron sambil memandang kearah ambang pintu. " Aduh! Mati kita.." dengan wajah di penuhi coklat membuat anak itu terlihat lucu dengan wajah bulatnya.
" Hey brother.." Aaron turun dari kerusi dengan susah payah lalu menghampiri Dylan.
" Apa kabar.." anak kecil tanpa rambut itu memainkan alisnya yang tinggal sebelah lagi sambil terkekeh tak jelas.
Kim, Lee dan Nick yang masih atas kerusi sambil menyilangkan kaki atas kerusi hanya memandang mereka.
Dylan memang beberapa kali melihat tanpa sengaja bocah botak itu sering membuat onar.
" Mau.." tanya Aaron dengan niat menggoda Dylan sambil menaikan alisnya yang tak botak.
Belum sempat Dylan menjawab, Aaron terus memasukkan coklat di tangannya ke dalam mulut Dylan membuat yang lain melongo tak percaya.
" Aku tahu kamu mau hanya saja masih malu malu.." kata Aaron tanpa dosa.
Dan saat yang sama lampu di ruangan dapur itu menyala.
" Guru!" Teriak mereka bersamaan kecuali Dylan yang tampak biasa saja.
Ketika turun Nick terjatuh dari atas kerusi.
" Aduh sakit.."
Aaron yang juga buru buru tanpa sengaja melanggar kaki Nick sehingga tubuh gendutnya itu menindih Nick.
" Arrhh...!!" Teriak Nick membangunkan seisi rumah sederhana itu.
Grandpa Davian memasuki ruangan itu dengan wajah galaknya, jujur saja itu pernah kali Dylan melihat Grandpa memasang wajah galak.
Kim dan Lee yang sudah hampir masuk ke dalam almari, tak jadi karena Grandpa Davian sudah terlanjur melihat mereka.
Semantara Dylan yang hanya terdiam di tempat mendongak memandang Grandpa -nya dengan mulut masih di penuhi coklat.
" Dylan itu coklat, Grandpa.." kata pria tua itu sambil menahan amarahnya.
" Lalu?" Tanya Dylan tanpa dosa walaupun kesulitan untuk membuka mulut.
" Benar guru dia mencuri coklatmu.." adu Aaron dengan wajah tanpa dosa.
Mendengar suara itu, Grandpa Davian tahu, Aaron adalah prasangka utama.
" Cepat masuk ruang latihan sekarang!"
Teriak Grandpa dengan kuat sehingga urat urat di batang lehernya terlihat.
Dan kini... Mereka sudah berada di ruangan latihan, kalau yang lain sibuk di ceramahi Grandpa Davian.
Maka beda hal dengan Dylan yang sedang memperhatikan semua alat latihan dalam ruangan itu, sempurna! Semua lengkap diruangan itu.
" Guru, alis Aaron tinggal sebelah masa mau di kasih botak juga.." kata Aaron dengan wajah sedih, tapi percayalah itu hanya aktingnya saja.
Pria tua itu hanya mengurut pelipisnya, dia sengaja membotakkan kepala salah satu murid nakalnya itu supaya sedikit berubah, namun sepertinya tidak ada yang berubah, malah semakin hari, semakin menjadi jadi.
" Dylan.." panggil Grandpa pada Dylan yang sudah sedia melihat kearah mereka.
" Berdiri disini.."
Dylan hanya menurut tanpa kata kata, di berdiri di sebelah Kim.
" Hey kamu.." Grandpa memandang Aaron yang terduduk di atas lantai. " Sini kamu.."
" Guru, tolonglah, alis Aaron tinggal sebelah masa mau di botakkan juga.."
" Sini Aaron.. jangan menguji kesabaranku.."
Ucap Grandpa dan berusaha menahan amarah yang sebentar lagi mungkin ada meledak.
" Baiklah... asal guru bahagia.."
Aaron lihat gurunya itu mengambil pisau tajam yang pernah membotakkan sebelah alisnya.
Grandpa mendekati Aaron sambil membawa pisau itu.
" Angkat wajahmu, Aaron.."
Dylan dan yang lain hanya memperhatikan, karena Aaron sedang membelakangi mereka, jadi mereka tak melihat dengan jelas.
Sehingga akhirnya Aaron membalikkan tubuh, dan serentak itu ketiga temannya tertawa terbahak bahak.
Dylan pun yang semula berusaha menahan senyuman, akhirnya tersenyum juga melihat Aaron bukan saja kepalanya yang licin namun kedua alisnya juga.
" Apa ketawa? Tidak pernah lihat orang tampan.." ketus Aaron dengan bibir maju ke depan.
~ Bersambung ~