19. Ayah

1135 Kata
Pintu ditutup ketika Raya baru saja hendak turun dari ranjang. Gadis itu mengumpat dalam hati, antara menyesal karena mengusir Angkasa dan dirinya malah berdiam diri di sana. Alhasil dia memilih untuk menyandarkan punggungnya pada headboard dan membuang pandangannya ke jendela yang sebelumnya telah dia buka kembali. "Akting kamu tadi cukup bagus. Pura-pura pingsan di hadapan semua orang agar ada yang bersimpati tapi ternyata?" Kekehan terdengar setelah kalimat itu dijeda. Rahang Raya mengeras seketika. Akting katanya? Untuk apa Raya melakukannya? Anthony memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan mendekati Raya yang masih enggan menatapnya. "Tapi gak seburuk itu kok. Buktinya ada pangeran yang menyelamatkan kamu. Iya kan?" "Sebaiknya Anda pergi." Salah satu sudut bibir Anthony naik. "Kamu beruntung karena masih aku beri kesempatan untuk bersekolah di sini. Lihat saja, suatu saat nanti kamu akan aku depak dari sini. Murid seperti kamu itu bisa mencemarkan nama baik sekolah!" Tangan Raya mengepal. "Lalu bagaimana dengan Anda? Apakah Anda sudah menjadi Kepala Sekolah yang pantas dihormati dengan sikap yang seperti ini? Jika pun saya tahu Anda berada di sini, saya tidak akan pernah sudi bersekolah di Cakrawala." "Berani sekali kamu berkata begitu! Lantas kenapa tidak pindah saja dari sini? Kamu harus sadar diri kalau kamu tidak pantas berada di sini! Harusnya kamu pergi! Kenapa? Mama kamu tidak punya uang? Mama tercinta kamu gak mampu pindahin kamu?" Kini Raya menatap Anthony nyalang. Segelas air yang berada di atas nakas terlihat bergetar pelan, bersamaan dengan kedua matanya yang memanas. "Kenapa? Marah karena aku mengejek mama kesayanganmu? Kalian itu sama! Kalian penyihir! Hidup Rama waktu itu menderita bersama kalian dan anak malang itu justru kehilangan nyawanya. Jika saja kamu waktu itu tidak ikut, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi." "Tapi waktu itu Papa justru lupain Rama! Papa sibuk menyelamatkan diri sementara Rama masih ada di mobil! Harusnya Papa—" "Jangan pernah memanggilku dengan sebutan Papa! Aku sudah tidak sudi lagi mendengarnya dari mulut kamu!" tunjuk Anthony tepat di depan Raya. Rahangnya terlihat mengeras. "Dan satu lagi. Jangan pernah mengganggu putriku! Kamu tidak akan pernah pantas bersanding dengan Kayla!" Setetes cairan bening berhasil lolos dari salah satu pelupuk mata Raya bersamaan dengan kalimat itu. Gelas yang tadi bergetar di atas nakas kini berhenti. Raya menahan napasnya. P-putriku? "Berhentilah menangis karena aku tidak akan pernah iba. Dan harus kamu ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau aku ayahmu. Atau kamu akan benar-benar aku lenyapkan dari sini." Anthony pergi dari sana. Dia bahkan menutup pintu UKS dengan kasar hingga terdengar bunyi nyaring. Raya masih menatap kepergian Anthony. Kedua pipinya kini telah basah, hatinya terasa begitu sakit ketika Anthony dengan terang-terangan menghina dirinya dan juga mamanya. Dia bahkan berkata tidak sudi lagi dipanggil papa olehnya. Tapi aku juga putrimu. Aku anakmu. Bahu Raya bergetar. Sebenci apa pun dia kepada Anthony, namun jauh di dalam hatinya masih tersimpan kerinduan yang teramat pada pria itu. Bagaimana pun, Anthony akan tetap menjadi sosok ayah baginya. Namun kini kebencian semakin mengurung Raya. Gadis itu menutup hatinya. Bagaimana tidak, sosok ayah yang seharusnya menjadi cinta pertama putrinya, justru berubah menjadi sosok pertama yang menyakitinya. Luka itu akan terus ada, tanpa bisa dengan mudah hilang begitu saja. ? Suasana kantin masih terlihat ramai di jam istirahat terakhir. Antrean masih terlihat di sana. Bahkan beberapa murid perempuan mengeluh ketika ada murid laki-laki yang menerobos begitu saja ke posisi paling depan. "Matematika ada tugas gak?" tanya Sam dengan mulut yang sibuk mengunyah nasi goreng. Angkasa yang sibuk dengan game di ponselnya hanya menggelengkan kepalanya. "Nggak ada," jawabnya. "Eh iya, tadi lo—" Ucapan Sam terhenti sejenak. "Nolongin Raya?" lanjutnya. Angkasa terdiam selama beberapa saat sebelum kembali menjawab, "kenapa emang?" "Nggak sih, cuma aneh aja. Satu kelas langsung ngomongin lo tadi." Kini Angkasa menatap Sam. "Kenapa? Salah ya gue nolongin dia? Setidaknya gue berniat baik, nggak kayak temen-temennya yang cuma diem kayak orang b**o. Gue curiga mereka titisan patung berhala semua." Sam tersentak. Dia tidak menyangka kalau Angkasa akan berkata begitu. Meskipun Angkasa sering berkata pedas, tapi kali ini berbeda. Sam baru saja hendak kembali bersuara, namun Angkasa dengan cepat menyelanya. "Gue baik-baik aja. Gak kena kutukan atau semacamnya. Yang gak baik-baik aja tuh elo semua." Angkasa memasukkan ponselnya ke dalam saku dan beranjak dari sana, meninggalkan Sam yang masih terdiam karena ucapannya. "Tunggu!" Angkasa menoleh tepat ketika dirinya berjalan melewati koridor. Seorang siswi tampak berlari ke arahnya. "Apaan?" Angkasa menatapnya datar. "Lo Angkasa, kan?" "Ya. Kenapa? Mau minta tanda tangan? Sori, lagi gak bawa pulpen." Angkasa kembali melangkahkan kakinya. Kening Kayla mengerut. Pulpen? "Eh, tunggu!" Kayla kembali mengejar Angkasa yang sudah cukup jauh hingga cowok itu dengan terpaksa berhenti. "Apaan lagi?" "Gue mau minta bantuan lo. Boleh?" Kini Angkasa yang dibuat bingung. Kayla adalah anak kepala sekolah. Untuk apa meminta bantuan padanya? "Bantuan apa?" "Gue ... Mau deket sama Raya. Lo bisa bantuin gue kan?" Salah satu alis Angkasa naik. "Lo lesbi?" Kayla tersentak mendengar ucapan Angkasa. Kenapa rumit sekali bicara dengan cowok itu? "B-bukan itu maksud gue. Gue mau temenan sama Raya. Soalnya dia sering banget cuekin gue padahal niat gue tulus," ucap Kayla yang membuat Angkasa terdiam. Ya pantes aja sih dia cuekin lo. Orang bokap kalian aja sama. Apalagi hubungan Raya sama Pak Anthony kacau banget. Ya jelas lah dia gak mau temenan sama Kayla. "Gimana? Bisa kan?" Angkasa mengerjap ketika lamunannya buyar. Cowok itu melipat kedua tangannya. "Nih, ya. Gue kan udah pernah bilang sama lo. Kalo dia itu gak suka temenan sama manusia. Sampe sini paham?" Kayla langsung memasang tampang bingung. Dia menatap Angkasa dengan kedua alis yang bertaut. "Kan lo juga manusia," ucapnya. Helaan napas keluar dari mulut Angkasa. "Gue bukan temennya." "Hah? Tapi kalian—" "Deket bukan berarti temenan. Gak percaya? Tanya aja sama orangnya. Sengeyel apa pun lo, dia gak bakalan bilang kalo gue temennya. Ya itu kalo dia jawab ucapan lo. Kadang bibirnya lagi sariawan jadi dia males banget ngomong. Ada lagi yang mau ditanyain? Gak ada? Kalo gitu gue mau ke kelas." "Eh? Tapi—" Kayla terbengong-bengong dengan ucapan Angkasa. Cowok itu kini sudah berjalan menjauhinya. "Kok malah begini sih? Susah banget ngomong sama mereka berdua." Kayla mengacak rambutnya. Sementara itu Angkasa berjalan menuju kelas. Dia tidak mengerti mengapa Kayla tiba-tiba berkata seperti itu. "Ngajak Raya temenan? Nggak salah? Semut aja dia depak apalagi elo," gumamnya. "Gue rasa dia gak tahu kalo bokap mereka sama." Ketika Angkasa berjalan melewati kelas Raya, dia menolehkan kepalanya dan melihat ke dalam saat melewati pintu. Bisa dilihatnya ada bangku kosong di barisan paling belakang. Itu tempat Raya. Cewek itu duduk di sana sendirian. Bukan dia yang ingin duduk sendiri, melainkan karena tidak ada yang mau duduk dengannya. Angkasa membuang napas dan kembali meluruskan pandangannya ke depan. Tuh cewek ke mana, ya? Apa masih di UKS? Angkasa menggelengkan kepalanya. "Apaan sih, Sa? Ntar kalo dia muncul tiba-tiba, lo sendiri yang repot." —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN