1. Penghuni Pohon Beringin
Suasana taman belakang SMA Cakrawala terasa begitu hening ketika pulang sekolah. Sebagian besar murid sudah pulang, hanya menyisakan beberapa anggota organisasi yang mengadakan rapat.
Di bawah pohon beringin tua, seseorang duduk di sebuah kursi panjang. Daun-daun kering yang berjatuhan berterbangan di sekitarnya. Pandangannya menerawang kosong ke atas, memerhatikan daun-daun yang melayang itu.
"Penyihir tidak pantas berada di rumahku! Kalian pembawa sial!"
"Kalian pembunuh! Penyihir!"
Helaan napas terdengar setelahnya.
"Hei!"
Tubuhnya tersentak saat mendengar seseorang berteriak. Seketika dedaunan tadi berjatuhan begitu saja mengikuti pergerakan angin seperti seharusnya.
Kepalanya menoleh dan mendapati sesosok siswa dengan sebuah bola basket di tangannya.
"Kamu akan ketemu sama dia."
"Siapa dia, Ma?"
"Namanya Angkasa."
Kedua mata elang itu masih menatap lurus ke arahnya.
"Woi! Lo denger gak sih? Gue tahu lo manusia!" Lelaki itu melemparkan bola di tangannya.
Tidak perlu bersusah payah menghindar. Bola itu melayang melewati kepalanya begitu saja. Membuat lelaki itu terbengong-bengong karena merasa sudah benar membidik sasarannya. Seketika bulu kuduknya meremang. Angin yang berembus di sekitar terasa berbeda dari sebelumnya.
"Hiii ... jangan-jangan dia set—"
"Gue manusia. Sama kayak lo." Gadis itu beranjak dari tempatnya dan berjalan menjauh.
Tubuh Angkasa tersentak. Isi pikirannya seperti dengan mudah ditebak. Dia masih memerhatikan gadis yang kini semakin menjauh itu.
"Heh! Ngapain lo? Kesambet penghuni di sini tahu rasa lo!" Seorang siswa berambut cepak menepuk pundak Angkasa.
Angkasa menoleh. "Sembarangan! Tadi tuh ada cewek— eh?"
"Cewek spesies mana yang lo maksud? Semua murid udah balik." Lelaki di sebelahnya menyilangkan kedua tangan di depan d**a.
Angkasa mencari-cari keberadaan gadis tadi yang ternyata sudah menghilang. Dia langsung mengelus tengkuknya. Apa tadi dia berhalusinasi?
"Sam, sumpah. Tadi gue liat ada cewek di—"
"Di mana? Fix, itu setan pohon beringin. Mampus lo ntar malem tidur sama emak!" Sam berjalan mengambil bola yang tadi dilemparkan Angkasa. "Lagian lo ngapain juga ke sini? Kan tadi Pak Juan nyuruh lo balikin bola ke ruang olahraga," lanjutnya seraya menarik bahu Angkasa.
Tempat di belakang sekolahnya itu memanglah sudah lama tidak dipakai. Pohon beringin yang semakin hari tumbuh besar itu membuat atmosfir di sana sedikit berbeda menurut kebanyakan orang, karena itulah murid-murid berhenti menggunakan tempat itu.
Angkasa mengernyitkan dahi. Dia tidak mungkin salah lihat. Gadis tadi memakai seragam yang sama dengannya. Meskipun auranya agak aneh, tapi Angkasa yakin kalau gadis itu manusia. Hanya saja ....
"Lo tunggu di sini. Gue ke dalem dulu." Sam pergi ke ruangan olahraga, sementara Angkasa menunggu di luar. Lelaki itu masih bertanya-tanya soal kejadian tadi.
Ponsel yang berada di dalam saku celananya tiba-tiba bergetar. Rupanya mamanya menelepon.
"Halo, Ma?"
"Udah pulang, Sa?"
"Ini baru mau pulang. Kenapa?"
"Mama nitip belanjaan ya. Gak banyak kok. Mama lagi bikin kue, tanggung. Ditinggal ntar malah gosong." Mamanya terkekeh pelan di seberang sana.
"Nanti Mama kirim daftar belanjaannya."
"Iya."
Sambungan telepon ditutup setelahnya. Untung saja hari ini Angkasa membawa mobil, jadi dia tidak akan kerepotan membawa belanjaan.
"Siapa?" tanya Sam yang sudah keluar.
"Nyokap."
Sam hanya mengangguk. Mereka berdua segera pergi dari sana.
"BTW, Sa. Lo jangan pernah dateng lagi ke taman belakang sekolah."
Salah satu alis Angkasa naik. "Kenapa dah?"
"Lo emang gak tahu? Tempat itu kan angker, Sa. Beberapa murid udah ada yang pernah kesurupan di sana. Katanya sih mereka pada ngeliat yang gituan," jelas Sam. Pemuda itu mendadak merinding saat mengatakannya.
"Masa? Gue biasa aja si tadi."
"Tapi kan tadi lo liat cewek, kan?"
"Lah? Itu kan cewek beneran," ujar Angkasa. Dia yakin sekali dengan penglihatannya tadi, terutama karena gadis yang ia temui tadi tidak lain adalah gadis yang sedikit berbeda dari kebanyakan gadis yang ada di Cakrawala. Bahkan atmosfir di sekitar tadi itu memang sedikit berbeda, sempat membuatnya agak merinding juga terlebih karena gadis itu berkulit putih pucat.
***
Angkasa mendorong troli sembari melihat daftar belanjaan yang dikirimkan sang mama.
"Ah, sial. Banyak banget." Dia mengambil dua kaleng tuna dan meletakkannya dengan asal ke dalam troli. Lelaki itu berjalan menuju bagian makanan ringan dan mengambil beberapa bungkus camilan berukuran besar.
"Apalagi ya? Stok buat nonton Avengers nih." Angkasa bermonolog seraya memerhatikan deretan camilan dengan merk ternama kesukaannya.
"Wih ... rasa baru nih." Tepat ketika Angkasa mengambil camilan, kedua matanya menangkap sosok yang ditemuinya tadi di taman belakang sekolah. Gadis itu berjalan menuju ke arahnya. Hingga langkahnya terhenti tepat di sebelah Angkasa.
Cantik juga kalo dilihat dari deket.
Sontak gadis itu langsung menatap ke arahnya. Angkasa terkejut dan mengerjapkan kedua matanya, merasa tertangkap basah.
Tangan gadis itu mengambil sebungkus camilan yang berada di sebelah tempat camilan yang tadi Angkasa ambil, sebelum akhirnya kembali berlalu.
Namun ada yang menarik perhatian Angkasa. Dia melihat noda merah yang berada di salah satu punggung tangan gadis itu.
"Darah?" Dia bergumam sembari masih memerhatikan tangan gadis itu . Terlihat dengan jelas kalau punggung tangannya terluka dengan darah yang mengering di sana. Rasanya tadi dia tidak melihat itu. Atau dia tidak menyadarinya?
Lalu dengan tiba-tiba Angkasa dengan cepat mengambil semua belanjaan yang dititipkan mamanya. Dia dengan cepat pergi ke kasir begitu melihat gadis tadi masih berada di antrean.
Gadis itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya, atau memang tidak peduli. Seketika Angkasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal begitu menyadari apa yang dilakukannya. Kenapa juga dia tiba-tiba berlari menghampirinya?
Satu per satu orang mulai meninggalkan meja kasir. Kini giliran gadis itu. Angkasa memerhatikan barang belanjaan yang dibelinya. Hanya dua cup mie instan dan sebungkus camilan yang tadi. Begitu simpel. Tidak seperti dirinya yang justru terlihat seperti ibu-ibu.
"Mas? Kok diem?"
Angkasa berkedip ketika suara kasir menyapa telinganya. Dia melihat gadis tadi yang ternyata sudah pergi. Seketika dia terbengong-bengong sendiri.
"Jangan-jangan ucapan Sam bener? Jangan-jangan tuh cewek setan penghu—"
"Mas? Belanjaannya .... " Sang kasir menatap isi troli milik Angkasa.
"Eh? I-iya, maaf." Angkasa memberikan barang belanjaannya dengan canggung. Apalagi saat beberapa orang di belakangnya menatap dirinya dengan tatapan aneh. Dia jadi malu sendiri.
Setelah membayar, Angkasa keluar dari supermarket dengan kedua tangan yang penuh. Demi kulit kerang ajaib, dia sangat bersyukur karena hari ini membawa mobil. Sebenarnya di aturan sekolahnya tertulis kalau siswa tidak boleh membawa mobil, tapi hal itu tidak dipedulikan oleh Amgkasa.
Tiba-tiba bayangan gadis itu kembali menghampiri memori otaknya.
"Itu cewek kok aneh banget ya? Dia lupa apa tadi ketemu sama gue di sekolah? Gelagatnya kayak gak kenal gitu." Angkasa berjalan menghampiri mobilnya dan memasukkan kantung kresek yang dibawanya ke jok belakang.
"Gue gak pernah lihat dia di sekolah. Atau gue yang gak nyadar kali ya?" Angkasa segera menghidupkan mesin mobil dan memutar musik.
Tanpa disadari, seseorang memerhatikan mobil milik Angkasa yang kini melaju menjauh.
—tbc