Yuli menatap Raya yang tengah meminum segelas s**u buatannya dengan pandangan khawatir. Sejak kemarin, Raya tidak banyak bicara dan memilih untuk berdiam diri di kamarnya. Gadis itu bahkan belum makan sama sekali.
"Kamu yakin mau sekolah? Wajah kamu lebih pucat dari biasanya, Ra. Atau nggak sarapan dulu," ucap Yuli pada akhirnya. Namun wanita itu tahu kalau Raya tidak akan menghiraukan ucapannya.
"Aku baik-baik aja, Ma. Berangkat dulu, ya." Raya menyalami tangan Yuli dan segera pergi. Gadis itu sempat melirik motor miliknya yang berada di garasi. Dia menghela napasnya. Satu-satunya kendaraan yang ada di rumahnya adalah motor miliknya. Dulu Raya sering menggunakannya untuk pergi ke sekolah. Namun semenjak dia pindah rumah, dia terpaksa memberikan itu untuk keperluan mamanya selama berada di rumah. Dia tidak ingin mamanya berdesak-desakan dengan orang lain di angkutan umum.
Cukup lama Raya berdiri menunggu angkot lewat. Sudah hampir sepuluh menit dan dia belum juga menemukan angkot yang masih kosong. Semuanya penuh, padahal jam bel jam pertama masih setengah jam lagi.
Karena tidak ingin terlambat, akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki sembari dirinya mencari angkot atau taksi. Namun di tengah perjalanannya, tiba-tiba sebuah motor mengikutinya dari belakang secara diam-diam. Raya yang menyadari itu pun segera mengambil tindakan.
Pletak!
Sebuah batu melayang ke arah helm si pengendara motor. Orang itu terkekeh dari balik helm full face yang dia kenakan.
"Dari pada kaki lo patah, mending lo ikut gue," ucapnya.
Pletak!
Lagi-lagi batu melayang yang menjadi responnya. Orang itu lagi-lagi terkekeh. Dalam hatinya dia bersyukur karena memakai helm.
"Ra—"
"Mendingan lo pergi," ucap Raya saat motor itu melaju sejajar dengannya. Tidak lama setelah itu, sebuah angkot berhenti tepat di depannya. Namun ketika Raya hendak pergi, orang itu langsung mencekal tangannya.
"Lo ikut gue."
Raya menatap orang itu tajam. "Lepas."
"Jadi naik nggak, Neng?" Sang sopir angkot tampak melirik ke arah dua remaja di belakang mobilnya.
"Ja—"
"Nggak, Pak. Dia pergi sama saya."
Kedua mata Raya membulat. Kini angkot itu sudah melaju kembali. Raya membuang napas kasar melihat itu dan kembali menatap orang yang masih mencekal tangannya.
"Lo—"
"Naik, atau ketemu Pak Agung di gerbang."
Mau tidak mau, Raya segera naik ke atas motor milik Gavin. Dia tidak ingin memperumit paginya jika benar-benar bertemu dengan salah satu guru BK sekolahnya itu apalagi jika sampai dihukum.
"Lo sakit?" Pertanyaan Gavin memecah keheningan di antara mereka berdua. Sesekali lelaki itu melirik wajah Raya yang terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Nggak."
"Mau gue anterin pulang?"
"Gue baik-baik aja."
Gavin menghela napas. "Ini bukan gara-gara ulah anak PMR kemarin, kan?"
"Lo gak perlu tahu. Dan itu bukan urusan lo."
"Kalo iya, biar nanti gue bilang sama Sena—"
"Gak usah sok peduli. Lo gak berhak ikut campur urusan gue."
Helaan napas kembali terdengar dari mulut Gavin. "Lo tahu? Lo itu gak banyak berubah. Gue masih inget waktu pertama kali lihat lo di barisan paling depan di hari pertama MOS. Lo jarang ngomong, dan gue gak pernah lihat lo ngobrol sama murid lain atau sekadar senyum. Dan gue—"
Gavin tiba-tiba bungkam. Lelaki itu menatap pantulan wajah Raya dari spion. Gadis itu juga terlihat menatapnya.
Raya mengerutkan dahi melihat perubahan ekspresi wajah Gavin. Dia melihat ada sesuatu yang aneh dengan lelaki itu.
"Kamu lihat anak ini?"
"Iya. Dia di kelas X-6. Ada apa ya, Pak?"
"Kamu awasi dia. Jika dia berulah, beri dia hukuman yang berat."
"T-tapi—"
Napas Raya tercekat. Kepalanya mendadak pening. Apa dia tidak salah? Kenapa ada Anthony di sana?
"Lo—"
Ucapan Raya terhenti ketika melihat ke sekelilingnya. Semua orang menatapnya ketika dia dan Gavin melewati gerbang.
"Itu Gavin? Ngapain sama—"
"Gue gak salah lihat, kan?"
"Itu .... Raya?" Kayla yang baru saja turun dari mobil Anthony langsung menatap motor milik Gavin yang melaju ke arah parkiran.
"Mereka beneran pacaran?" gumamnya. Sementara Anthony yang juga melihat itu terlihat tersenyum miring.
"Persis seperti ibunya."
"Kamu jangan deket-deket sama dia."
Kayla langsung menatap ayahnya. "Kenapa? Raya orangnya baik, Pa. Dia gak seperti apa yang dibicarain orang-orang."
"Tahu dari mana kamu? Pokoknya jangan deket-deket sama dia."
Kayla menatap punggung papanya yang menjauh. Entah kenapa dari semua orang yang ada di sekolahnya, papanya hanya akan melarangnya dekat dengan Raya. Bahkan Kayla pernah dimarahi habis-habisan ketika dirinya ketahuan tengah mengajak Raya bicara.
Sementara itu tidak jauh dari posisi Kayla, seorang siswa tampak berdiri dengan tas yang masih tersampir di salah satu bahunya. Matanya masih memerhatikan dua orang yang baru saja keluar dari parkiran.
Angkasa membuang napas dan langsung pergi dari sana.
?
"Satu! Dua! Tiga!" Semua murid menghitung dengan serempak ketika sang guru meniup peluit sebagai tanda pemanasan dimulai. Semuanya mengikuti gerakan ketua kelas yang berada di barisan paling depan.
Pemanasan dilakukan selama sepuluh menit sebelum praktek dimulai. Raya membuang napasnya berkali-kali dan mengusap peluh yang terus membanjiri keningnya. Panas matahari yang begitu terik membuat kepalanya sedikit berdenyut namun selalu ditahannya.
Satu per satu murid mulai melakukan pasing ketika sang guru melemparkan bola. Setiap bola yang berhasil melewati net akan dihitung poinnya.
Beberapa murid perempuan berteriak ketika temannya gagal melakukan pasing. Sementara murid laki-laki terlihat mengejek murid perempuan.
Di seberang lapangan voli, terdapat lapangan basket yang saat ini tengah diisi oleh kelas lain yang juga tengah melakukan praktek.
Salah satu di antara mereka tampak memerhatikan ke arah lapangan voli dengan tangan yang sibuk melakukan dribling. Dia melihat seorang gadis yang kini tengah menahan tubuhnya agar tidak limbung. Berkali-kali dia menelan ludah dengan kedua tangan yang mengepal. Kakinya bergerak dengan begitu pelan saat guru memanggil namanya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, dia memegang bola dan mencoba memfokuskan pandangannya pada net.
Peluit ditiup, namun yang terjadi adalah tubuh gadis itu tergeletak di atas permukaan lapangan dengan bola yang langsung terlepas begitu saja dari tangannya. Dia berlari, mengabaikan teriakan teman-teman dan gurunya.
"Raya!" Bola itu dipantulkan begitu saja entah ke mana.
Semua murid terkejut, begitu pun dengan guru mereka. Pasalnya tadi Raya masih tampak biasa saja.
"Bawa Raya ke UKS!" titah Pak Juan yang merupakan guru olahraga mereka. Namun tidak ada satu pun yang mendekat, mereka hanya mengerubungi Raya tanpa adanya niat membantunya sama sekali.
"Kenapa diam? Cepat bawa Raya ke UKS!" Pak Juan mulai geram dengan murid-muridnya. Dia pun langsung melirik tajam ketua kelas. Ketua kelas pun segera maju, namun sebelum dia benar-benar mendekati Raya, seseorang tiba-tiba datang hingga teman-temannya menyingkir untuk memberikan jalan.
"Raya!" Orang itu menepuk-nepuk pipi Raya, namun gadis itu tidak bereaksi sama sekali.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Pak Juan. Dia terkejut saat mendapati Angkasa, apalagi lelaki itu masih mengenakan kaos basketnya.
Angkasa langsung mengangkat tubuh Raya. "Saya ke sini berniat menolong, bukan hanya diam menonton layaknya orang bodoh," sarkasnya sembari melirik murid-murid yang ada di sana. Mereka semua tampak terkejut dengan ucapan Angkasa, namun tidak berani melayangkan protes.
Angkasa langsung membawa Raya ke UKS. Sepanjang perjalanan, semua orang terlihat memerhatikannya. Namun Angkasa tidak peduli. Wajah Raya begitu pucat dan keningnya dipenuhi oleh peluh.
Dibaringkannya tubuh Raya di atas salah satu ranjang. Angkasa segera membuka salah satu laci dan mencari minyak angin. Setelah menemukannya, dia mendekatkan benda itu ke hidung Raya berharap gadis itu segera membuka mata namun hasilnya nihil. Kedua matanya bahkan tidak mengerjap sama sekali.
Angkasa belum beranjak sama sekali bahkan ketika bel istirahat telah berbunyi. Itu artinya, dia berada di sana lebih dari satu jam. Sedari tadi dia hanya diam memandangi Raya yang masih menutup matanya. Dalam keadaan seperti saat ini, Angkasa bisa dengan jelas melihat bagaimana beratnya kehidupan gadis itu. Wajahnya tampak lelah, bibirnya seakan melupakan salah satu perannya untuk tersenyum.
Helaan napas terdengar ketika Angkasa melihat kedua mata Raya perlahan terbuka.
"Lo udah sadar?"
Raya mencoba mendudukkan tubuhnya namun kepalanya kembali berdenyut.
"Lo pingsan. Sekarang lo di UKS."
Raya merutuk dalam hati ketika menyadari semuanya. Semua orang di kelas pasti akan membicarakannya. Pandangannya teralih pada Angkasa yang duduk di sebuah kursi di sebelah ranjang. Lelaki itu masih mengenakan kaos basketnya.
"Lo ... Ngapain di sini?"
"Nungguin lo."
kedua mata Raya mengerjap. Lelaki itu menunggunya?
Angkasa melipat kedua tangannya di depan d**a. "Gue yang bawa lo ke sini. Kenapa? Karena gak ada yang mau nolongin lo kecuali Pak Juan. Bahkan ketua kelas lo. Dan sekarang gue paham kenapa dia selalu nyuruh-nyuruh lo bawa buku paket ke ruang guru."
Raya terdiam mendengar ucapan Angkasa. Sejujurnya dia tidak ingin mendengarkan apa pun tentang teman-teman kelasnya.
"Gue prihatin sama kelas lo yang isinya bukan manusia semua," lanjut Angkasa.
Raya membuang pandangannya ke luar jendela di sebelahnya.
"Gak seharusnya lo nolongin gue."
"Lagi-lagi kalimat itu. Gue paling gak suka setiap kali lo ngucapin kalimat itu di depan gue."
"Karena lo emang seharusnya gak ngelakuin semua ini."
"Kenapa? Apa yang gue lakuin ini salah? Denger, ya. Lo udah narik diri lo terlalu jauh."
Tangan Raya mengepal. Dia tidak ingin lagi mendengar segala kalimat yang keluar dari mulut Angkasa.
"Keluar."
"Lo nggak salah, tapi orang-orag juga gak salah. Lo nggak seharusnya jauhin semua orang yang bahkan—"
"GUE BILANG KELUAR!!"
Jendela yang berada tepat di sebelah Raya menutup dengan kencang hingga menimbulkan bunyi nyaring. Melihat itu, Angkasa beranjak dari tempatnya.
"Oke, gue keluar sekarang juga." Lelaki itu mengalah dan memilih untuk menuruti ucapan Raya. Dia pergi keluar dari UKS dan membiarkan Raya sendiri di dalam sana.
—tbc