Suasana kelas hening selama guru menjelaskan materi di papan tulis. Beberapa murid terlihat serius belajar, namun ada pula yang terlihat menguap berkali-kali sembari melirik jarum jam yang terasa begitu lama berputar.
"Ada yang bisa mengerjakan ini?" tunjuk guru mereka pada sebuah contoh soal yang baru saja ditulisnya. Kedua matanya menelusuri setiap orang, namun tidak ada satu pun yang mengangkat tangan.
"Kalian belum mengerti? Rumusnya sudah Ibu tulis di sini. Kalian hanya tinggal-"
"Mungkin Raya bisa, Bu," ucap seorang siswa laki-laki. Semua orang sontak menatap ke arah Raya. Sementara yang ditatap tidak bereaksi. Dia bahkan tidak balas menatap mereka semua.
"Kamu bisa, Raya?" tanya guru mereka. Siswa laki-laki tadi tersenyum miring, begitu pula dengan yang lain. Mereka menantikan detik-detik ketika Raya terdiam di depan papan tulis karena kebingungan mencari jawaban.
"Akan saya coba, Bu." Raya bangkit dari kursinya dan berjalan ke depan. Dia menerima spidol yang diberikan oleh gurunya dan menatap soal itu. Sejujurnya Raya memang benci Fisika, tapi di harus tetap mencobanya. Sesulit apa pun soal Fisika, itu masih bisa dipecahkan dan dicari jalan keluarnya lewat rumus yang ada. Berbeda dengan masalah hidupnya.
"Sudah, Bu." Raya mengembalikan spidol itu. Gurunya langsung melihat jawaban yang ditulis Raya dan tidka lama kemudian tersenyum tipis.
"Kamu benar. Silakan duduk."
Setelah menggumamkan terima kasih, Raya segera kembali ke tempatnya. Semua orang menatapnya tidak percaya. Soal sesulit itu bisa diselesaikannya dengan mudah.
"Dasar caper."
"Sok banget dih."
"Biasalah, otaknya pinter tapi pura-pura b**o biar gak ada yg nyontek."
"Besok suruh kerjain tugas aja kalo ada guru gak masuk."
Raya membuang napasnya. Dia menatap permukaan halaman buku paket miliknya tanpa minat sama sekali. Kedua telinganya seakan memanas. Dia mencoba memfokuskan kembali ke depan ketika materi dilanjutkan.
Beruntung bel jam terakhir segera berbunyi dan Raya segera membereskan bukunya. Dia ingin sekali cepat-cepat kembali ke rumah. Mengurung diri di dalam kamar, tanpa ada satu pun yang mengganggu.
"Ketua Kelas, tolong bantu Ibu bawa buku paket ke ruang guru," titah guru mereka.
"Iya, Bu." Seorang murid laki-laki menjawabnya lantang. Tepat ketika gurunya keluar, dia berjalan ke barisan paling belakang.
"Lo aja yang bawa, ya? Gue buru-buru." Dia menepuk pelan bahu Raya dan langsung pergi.
Raya terdiam. Setelah memakai tas, cewek itu langsung mengambil setumpukan buku paket Fisika di meja guru dan membawanya keluar.
"Kasihan. Butuh bantuan gak?" tanya salah seorang murid perempuan. Temannya tampak terkekeh geli dan langsung mendorong bahunya hingga membentur tubuh Raya.
"Eh! Sori, gak sengaja." Mereka berdua tertawa melihat buku-buku yang sudah berhamburan.
"Lo jahat ih. Nanti dimarahin Kak Gavin loh."
"Hiiii ... Takut. Kabur ah." Cewek itu langsung menarik tangan temannya dan berlari meninggalkan Raya yang kini sibuk membereskan buku.
Tahan, Ra. Lo bisa.
Raya kembali membawa buku-buku itu ke ruang guru.
"Gak usah ngikutin gue. Lo pulang aja," ucap Raya tanpa menghentikan langkahnya.
Siswa yang berjalan di belakangnya tersentak. "Siapa juga yang ngikutin lo? Arahnya aja yang sama. Gak usah kepedean!"
"Lo gak bisa bohong dari gue."
Angkasa menelan ludah. Sejak melihat Raya dijahili tadi, cowok itu memang berniat mengikutinya hingga ke ruang guru. Dia berjaga-jaga jika ada lagi yang berbuat lebih pada Raya. Entah kenapa, namun dia merasa kalau dia harus melakukannya. Meskipun pada dasarnya dia sendiri tahu kalau niatnya akan dengan mudah dibaca oleh cewek yang hampir tidak pernah tersenyum itu, dan akan langsung ditolaknya mentah-mentah meskipun niatnya baik.
Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, tidak banyak mengoceh seperti biasanya. Kedua matanya sesekali memperhatikan rambut sebahu milik Raya. Sontak Angkasa langsung memegang bibirnya. Mendadak beberapa kejadian saat bibirnya bersentuhan dengan permukaan halus rambut milik cewek itu kembali teringat di memorinya.
Angkasa menepuk-nepuk bibirnya serata merutuk pelan. Hingga dirinya tidak sadar kalau Raya menghentikan langkahnya, membuat Angkasa terkejut dan langsung menghentikan langkahnya juga secara mendadak. Namun beruntung kali ini cowok itu bisa bernapas lega karena bibirnya bisa diselamatkan.
"Lo kok hobi banget sih berhenti mendadak?" semprot Angkasa dari belakang. Namun Raya tidak merespon.
Angkasa mengikuti pandangan Raya dan di detik berikutnya cowok itu mendengus ketika melihat Gavin yang sudah berdiri di depan mereka.
Kini giliran Raya yang merutuk dalam hati. Cewek itu kini terjebak bersama dua manusia yang paling tidak ingin dia temui.
"Sini gue bantuin." Saat tangan Gavin hampir berhasil mengambil tumpukan buku di tangan Raya, tangan lainnya berhasil membawanya terlebih dulu.
"Gue duluan yang disuruh. Lo pulang aja, udah di tungguin sama mama di rumah," ujar Angkasa.
Kedua mata Gavin mengerjap dan menatap Angkasa tidak suka. "Lo punya masalah apa sih sama gue? Ngajak ribut mulu. Inget, gue kakak kelas lo! Yang sopan dikit!"
Angkasa mencebikkan bibir. "Iya, Kakak." Dia terkekeh geli dengan ucapannya sendiri.
"Lo aja sana yang pulang." Gavin segera merebut buku di tangan Angkasa. Dia lalu tersenyum pada Raya. "Gue aja yang bawain, ya. Kalo dia yang bawa, ntar lo malah kena malapetaka."
Angkasa melotot. "Heh! Pala lo malapetaka! Yang ada tuh-" Ucapan Angkasa terhenti ketika menyadari kalau Raya berjalan mendahului mereka. Kedua cowok itu sontak menoleh.
"Lah? Malah pergi. Elo sih!" tunjuk Gavin pada Angkasa.
"Hih, bodo. Ya udah gue pulang duluan. Sampai jumpa lagi, Kak Gavin." Angkasa tersenyum meledek. Namun sebelum dia benar-benar pergi, Gavin dengan cepat menarik bahunya.
"Enak aja lo main pergi aja. Bantuin gue!" Gavin memberikan separuh dari tumpukan buku pada Angkasa.
"Dan gak usah protes!" lanjutnya ketika melihat Angkasa yang hendak bersuara. Mau tidak mau cowok itu mengikuti langkah Gavin.
?
"Jangan pernah memanggilku dengan sebutan Papa! Aku sudah tidak sudi lagi mendengarnya dari mulut kamu!" tunjuk Anthony tepat di depan Raya. Rahangnya terlihat mengeras.
Helaan napas terdengar dari bibir Raya. Cewek itu menatap pemandangan di luar jendela kamarnya. Rasa sakit itu masih membekas di dalam dirinya. Luka yang sudah tertimbun selama bertahun-tahun lamanya kini kembali muncul ke permukaan dengan robekan yang lebih besar. Sang ayah benar-benar sudah membencinya. Haruskah Raya membencinya juga?
"Dan satu lagi. Jangan pernah mengganggu putriku! Kamu tidak pernah akan pernah pantas bersanding dengan Kayla!"
Raya tertawa pelan, namun air mata mengaliri kedua pipinya.
"Kayla, ya? Dia putri Papa?" Napasnya tertahan. "Lalu aku ini siapa?"
Jendela kamar Raya perlahan menutup, menghalangi angin yang hendak masuk ke kamarnya. Tirai pun secara perlahan bergeser hingga kini ruangan itu berubah menjadi gelap. Kedua mata Raya terpejam. Bibirnya tertawa, dengan air mata yang terus mengalir.
Dia merasa dibuang.
Kedua tangan Raya memeluk erat sebuah frame foto. Yuli, Anthony, Rama, dan juga dirinya terlihat di sana. Tersenyum lebar ke arah kamera, terlihat begitu bahagia.
Masa-masa yang selalu dia rindukan, sebelum kejadian nahas itu menimpanya. Sejak saat itu hidupnya berubah kelam. Hatinya yang semula berwarna putih bersih, berubah menjadi abu-abu, dan perlahan menghitam. Dia membenci takdirnya.
-tbc