40. Membaca Pikiran

1308 Kata
"Pacaran?" Kening Yuli berkerut. Bersamaan dengan itu, sebuah motor terlihat berhenti di depan pagar. "Ternyata Raya itu gadis yang nolongin saya sewaktu saya dihadang sama preman. Ehh tahu-tahunya dia pacarnya Angkasa. Kebetulan banget." Yuli tersenyum simpul. Dia merasa seperti ada sesuatu yang salah. Jelas dia pun tahu kalau Angkasa dan Raya tidak pacaran. Jangankan pacaran, berteman saja Yuli ragu mengingat Raya selalu acuh tak acuh pada lelaki itu. Pasti ada sesuatu yang membuat Intan salah paham. "Lo tenang aja, ntar gue jelasin semuanya ke nyokap gue," ucap Angkasa. Raya membuang napas. Jujur dia merasa kesal karena mamanya Angkasa malah salah paham. Dia sendiri tidak tahu harus menyalahkan siapa. Tapi di sisi lain, gadis itu merasa ... Entahlah. Seperti ada sesuatu yang menggelitik perutnya. "Makasih," ucap Raya seraya mengangkat sebuah paper bag. "Iya. Kalo gitu gue pulang." "Hm." Setelah motor Angkasa menjauh, Raya pun segera masuk ke rumah. Tepat di ambang pintu, Yuli tampak bersidekap sembari memasang senyum aneh. "Tante Intan udah cerita semuanya." Raya membuang napas. "Salah paham. Ucapannya gak bener kok." "Tapi kayaknya dia seneng kalo kamu sama Angkasa beneran pa—" "Ma!" Yuli langsung menutup mulutnya dan menahan tawa. Dia menatap sebuah paper bag yang dibawa Raya. "Itu apa, Ra?" "Tadi Tante Intan kasih ini. Katanya oleh-oleh dari kerabatnya yang baru pulang dari Malaysia." "Wah, baik banget. Oh, iya. Katanya kamu pernah nolong Tante Intan, ya?" Raya mengangguk. "Hm. Udah lama banget sih. Ternyata dia mamanya Angkasa." Yuli terkekeh. Lagi-lagi kebetulan. Tuhan memang tidak pernah kehabisan akal. ? Kayla baru saja selesai membersihkan tubuhnya. Gadis itu segera turun menuju meja makan. "Papa belum turun, Ma?" tanyanya. "Belum, lagi ada tamu." Kening Kayla berkerut. "Tamu? Malam-malam begini? Kok enggak ngobrol di ruang tamu aja?" "Mama gak tahu. Mungkin penting banget." "Sepenting itu, ya?" Kayla langsung menarik salah satu kursi dan mendudukkan tubuhnya. "Tamunya Papa ganteng loh kak." Tasya yang duduk di sebelahnya tiba-tiba berucap. "Ganteng?" Mamanya tertawa pelan. "Masih muda, kayaknya salah satu murid di sekolah kamu juga. Beberapa kali ke sini." Satu sekolah? Jangan-jangan ... Kayla langsung beranjak dari kursinya dan meninggalkan meja makan, membuat sang mama menatapnya bingung. "Makan malam dulu, Vin." "Hehe. Nggak usah, Pak. Saya ada janji sama temen-temen." Langkah Kayla terhenti saat itu juga. Dia melihat Gavin yang berjalan menuju pintu rumahnya. "Ngapain kamu diem di situ?" tanya Anthony. "Kenapa Kak Gavin akhir-akhir ini sering ke sini?" tanya Kayla menghadang langkah Anthony yang hendak ke dapur. "Memangnya kenapa? Dia cuma mau minta tanda tangan sama diskusi pemilihan ketua OSIS." "Emangnya di sekolah juga gak bisa? Lagi pula harusnya dia diskusi sama pembina OSIS, bukan sama kepala sekolah." "Kamu kenapa sih? OSIS juga tanggung jawab Papa." Kedua mata Kayla memicing. "Sebelumnya Kak Gavin gak pernah ke sini. Kenapa sekarang dia tiba-tiba jadi sering datang?" "Kayla, kamu terlalu banyak bicara. Sudahlah, bukan urusan kamu." Anthony berujar seraya berjalan melewati Kayla. Sementara Kayla masih terdiam di tempatnya, dengan salah satu tangan mengepal. Tanpa mereka sadari, seseorang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka dari balik pintu. Dia belum benar-benar pergi. Salah satu bibirnya kini terangkat. ? Bel istirahat berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Kantin-kantin mulai ramai, murid-murid mulai ramai berlalu-lalang di koridor, serta lapangan juga diisi oleh beberapa murid yang memilih menghabiskan waktu dengan olahraga ringan. Namun ada pula yang memilih menghabiskan waktu di dalam kelas. Di antara banyaknya aktifitas tadi, ada satu orang yang memilih menyendiri di sebuah taman yang sudah tidak terpakai di belakang sekolah. Raya menengadahkan kepalanya ke atas seraya memejamkan kedua mata. "Oi!" Raya tersentak dan sontak membuka kedua matanya. Dia langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Angkasa yang tertawa. "Gue gak salah lihat, kan? Lo barusan kaget? Biasanya juga gue udah babak belur duluan sebelum berhasil megang lo," ucap Angkasa di sela-sela tawanya. Namun lelaki itu mendadak diam saat Raya menatapnya dengan tatapan aneh. Sesekali kedua mata gadis itu menyipit. "Kenapa sih?" Angkasa langsung mendudukkan tubuhnya di sebelah Raya. "Nggak." Raya membuang muka ke arah lain. Kini gadis itu terlihat murung, entah kenapa. Angkasa menghela napas pelan dan mengikuti arah pandangan Raya ke atas, tepat ke arah dedaunan pohon beringin yang bergerak karena sapuan angin. "Sebenarnya lo itu ... Dapat kemampuan kayak gitu dari mana?" tanya Angkasa tiba-tiba. Keduanya masih menengadahkan kepala. Raya menghela napas. "Mungkin lo gak akan percaya. Tapi gue udah begini sejak lahir. Mama bilang, gue selalu nangis kenceng tiap kali ada yang natap meskipun dari kejauhan. Kata mama, dulu mama pengin punya anak yang kuat. Katanya mama gak mau anaknya diganggu orang, terutama sama yang punya niat jahat. Dulu sewaktu masih sekolah, mama sering diganggu. Dia gak punya temen, bahkan dia juga dijauhi. Mama marah, dia murka sama Tuhan kenapa dia harus dilahirkan lemah dan gak bisa melawan sama sekali. Dia ngerasa Tuhan gak adil." "Berarti Rama juga sama?" Angkasa tidak menyangka kalau ternyata Yuli juga memiliki masa lalu yang cukup memilukan. Dan hal itu justru terulang kembali oleh putrinya. Raya menggelengkan kepalanya. "Rama sama kayak manusia normal lainnya. Dia sering bikin bangga Papa, banyak yang mau berteman sama dia. Sementara gue, yang semula bangga sama kemampuan sendiri, mulai capek. Papa mulai nuduh yang enggak-enggak. Termasuk kematian Rama. Akhirnya gue diusir dari rumah. Orang-orang yang terhasut omongan papa langsung ikut ngusir gue sama mama." Tangan Raya terangkat dan menyingkap sebagian poninya. Dia menatap Angkasa yang terlihat terkejut. "Itu ... " "Gue dilemparin batu sama orang-orang." Kedua mata Angkasa membulat. Ya Tuhan, setega itu Pak Anthony sama anak kandungnya sendiri. "Dan mama, sebenarnya dia juga punya kemampuan." Kedua mata Angkasa mengerjap. "Tante Yuli juga? Maksud lo dia bisa baca pikiran sama gerakin benda gitu?" Raya menggeleng. "Mama bisa baca masa depan." Angkasa terdiam dengan mulut yang setengah terbuka. "Jadi maksud lo— ya ampun. Kalian bener-bener ajaib." Angkasa memijit pelipisnya. "Mama udah tahu semuanya lewat mimpi." Sekarang Angkasa paham. Kenapa Yuli bisa tahu namanya saat dirinya baru pertama kali ke rumah Raya, bahkan dia bisa tahu waktu itu akan turun hujan walau pun cuaca sedang panas. Dan sekarang dia yakin, kalau Yuli juga sudah tahu tentang pertemuannya dengan Raya. "Berarti nyokap lo bisa tahu kematian seseorang?" tanya Angkasa. Raya kembali menggeleng. "Kecuali itu. Tuhan bener-bener merahasiakan itu. Mama cuma dikasih petunjuk lewat mimpi. Dan itu hanya berupa gambaran. Mama gak bisa tahu kematian siapa pun. Baik itu kematiannya sendiri, kematian aku, termasuk kematian Rama. Sebelum Rama meninggal, mama beberapa kali mimpi tentang Rama. Dia mimpi melahirkan Rama, mimpi waktu pertama kali Rama bisa manggil mama, pas pertama kali bisa jalan, sampai akhirnya mama lepas Rama buat pergi ke sekolah sendirian untuk pertama kali." Angkasa menatap Raya yang kini menunduk. Hidup gadis itu pasti berat sekali. Angkasa benar-benar paham sekarang. Andai saja dia tahu lebih awal, dia pasti akan memperlakukan Raya lebih baik lagi. Apalagi wajah dirinya mirip dengan kembaran gadis itu. "Sebelum MOS, mama bilang kalo dia mimpi ketemu anak kecil yang mukanya mirip sama Rama." Kedua mata Angkasa menyipit, mencoba mencerna ucapan Raya. Anak kecil yang berwajah mirip dengan kembarannya tidak lain adalah ... "Namanya Angkasa." Raya menolehkan kepalanya pada Angkasa. Lelaki itu terdiam hingga pandangan mereka berdua bertemu. ? Raya merebahkan tubuhnya di ranjang dan menatap keluar jendela, mengamati beberapa burung yang tengah bercengkerama di salah satu dahan pohon di dekat rumahnya. Entah kenapa setelah menceritakan semuanya pada Angkasa, Raya merasa ada sesuatu dalam dirinya yang hilang. Dia merasa lega, namun dia tidak mengerti kenapa. Gue rasa dia berhak tahu. Kedua mata Raya teralih pada sebuah foto yang menampakkan dua orang anak kecil yang berada di sebuah meja makan. Mereka terlihat tengah bercanda satu sama lain. Tiba-tiba dia merasa ponselnya bergetar. Raya langsung membuka tasnya dan melihat ada sebuah pesan yang diterimanya. From : Tuan Tampan Besok libur, kan? Jam sepuluh pagi, gue ke rumah lo. Raya hendak membalas namun sebuah pesan kembali masuk. From : Tuan Tampan Gue mau ngajak lo pergi. Raya terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN