Raya meremas jemarinya dan melirik sebuah jam yang terpajang di salah satu dinding. Gadis itu berkali-kali membuang napas, entah kenapa dia merasa ... Gugup?
Yuli memperhatikan gelagat putrinya dari tangga. Tidak biasanya Raya terlihat begitu rapi saat libur.
"Raya?" Panggilan Yuli membuat kedua bahu Raya tersentak pelan. "Kok kaget? Kamu mau ke mana? Tumben."
Raya diam. Gadis itu hanya menatap Yuli, tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Namun sebelum Yuli kembali angkat bicara, sebuah motor terdengar berhenti di depan rumah. Menyadari itu, Raya segera beranjak dan buru-buru menyalami tangan mamanya.
"A-aku pergi dulu, Ma." Raya segera berlari kecil menuju pintu. Kedua alis Yuli bertaut. Tingkah Raya sedikit berbeda dari biasanya. Yuli pun berjalan menuju pintu dan melihat Raya menaiki motor seseorang. Beberapa detik kemudian, Yuli tersenyum.
"Gue pikir lo bakalan nolak," ucap Angkasa tidak lama setelah motornya melaju. Dia melirik Raya lewat kaca spion.
"Bosen."
Kedua mata Angkasa mengerjap. "Oh, lo bosen nolak gue terus? Pantesan aja sekarang nurut." Angkasa tertawa.
Kening Raya berkerut. "Bosen di rumah."
Angkasa langsung menghentikan tawanya dengan bibir yang mencebik. "Ah, gak seru lo."
Raya menghela napasnya dan membuang muka ke arah lain. Bibirnya perlahan tersenyum.
"Lo mau pergi ke mana?" tanya Angkasa. Motornya berhenti tepat ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
"Terserah."
Jawaban Raya membuat kedua alis Angkasa bertaut. Namun lelaki itu langsung menyeringai.
"Beneran terserah, nih? Kalo gue ngajak lo ke KUA gimana?" Angkasa langsung tertawa, apalagi saat melihat ekspresi Raya lewat spion. Gadis itu tampak terkejut. Orang-orang yang berada di sekitar sontak menatap ke arah mereka berdua.
Merasa tidak nyaman, Raya langsung mencubit pinggang Angkasa hingga lelaki itu mengerang.
"Sakit, woi!" protesnya.
"Lampunya udah ijo."
Kedua mata Angkasa mengerjap. Dia baru menyadari saat beberapa pengendara di belakangnya membunyikan klakson. Akhirnya dia kembali melajukan motornya.
"Ternyata gombalin manusia kayak lo tuh susah, ya? Awww!!" Angkasa kembali berteriak begitu Raya mencubit pinggangnya lagi. "Abis nih pinggang gue. Bagus ya, sekarang maennya nyubit. Biasanya lo lemparin gue pake pasukan kerikil."
"Terserah."
"Eh buset. Ngomong yang agak panjang kek. Gue berasa bonceng patung nih."
"Mana ada patung bisa ngomong." Raya mendengus sebal dan membuang muka.
"Tapi ya, kalo patungnya cantik kayak lo sih gak apa-apa." Angkasa kembali tertawa. Namun lelaki itu langsung berteriak, kali ini lebih kencang.
?
Kedua mata Raya menatap sebuah cuton candy yang disodorkan padanya. Permen kapas besar berwarna pink itu hampir menyamai ukuran kepalanya.
"Lo gak mau?" ucap Angkasa begitu Raya tidak juga merespon. "Kalo lo gak mau, gue kasih aja buat anak—" dia tersenyum saat Raya mengambil permen kapas itu.
"Makasih," ucap Raya pelan. Dia menggigit permen kapas pemberian Angkasa.
Angkasa duduk di sebelahnya dan memperhatikan beberapa anak kecil yang sedang bermain tepat beberapa meter di depan mereka.
"Udah ngomong ke Tante Intan?" tanya Raya tiba-tiba. Kedua mata Angkasa mengerjap. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Be-belum. Gue lupa, nanti deh gue bakalan jelasin." Angkasa membuang mukanya ke arah lain.
Mama salah paham lebih lama lagi, gak apa-apa kan?
Lelaki itu mendadak tersenyum tanpa alasan. Namun di detik berikutnya dia langsung menutup mulutnya meskipun dia tidak bicara. Angkasa langsung menoleh pada Raya yang tampak tidak bereaksi sama sekali. Gadis itu bahkan terlihat sibuk memakan permen kapas yang tadi diberikannya.
"Kenapa?" Raya menatap Angkasa yang menatapnya aneh.
Kedua mata Angkasa mengerjap. "Lo, gak denger apa-apa? M-maksud gue, lo gak baca ... Pikiran gue, kan?" Angkasa memelankan volume suaranya di akhir kalimat. Dia takut Raya tersinggung.
Ekspresi Raya langsung berubah. Gadis itu langsung menjauhkan permen kapas yang dipegangnya dari bibir. Dia menatap lurus ke depan, tepat ke arah anak-anak tadi yang tampak masih asyik bermain. Wajahnya kembali terlihat murung, persis seperti yang Angkasa lihat saat di taman belakang sekolah kemarin.
"K-kenapa? Gue salah ngomong, ya?" ucap Angkasa. Dia benar-benar tidak bermaksud menyinggung Raya. Hanya saja akhir-akhir ini sikap gadis itu sedikit berbeda dari biasanya.
"Gue ... " Raya menatap permen kapas yang dipegangnya. "Gak bisa baca pikiran lagi."
Bagai petir di siang bolong, Angkasa benar-benar terkejut dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Raya. "M-maksud lo ... "
"Gue gak tahu apa yang lo pikirin." Raya kini mengalihkan atensinya pada Angkasa. "Gue gak tahu apa alasannya. Beberapa hari terakhir, kepala gue sering sakit. Awalnya semua terlihat buram, isi kepala orang-orang gak bisa terlihat jelas. Isi hati mereka juga gak terdengar jelas. Dan akhirnya, semuanya benar-benar hilang."
"Lo serius?" Kedua mata Angkasa mengerjap tak percaya. Namun tatapan Raya padanya seakan sudah menjelaskan semuanya. Gadis itu serius dengan ucapannya.
"Entah gue harus seneng atau sedih." Raya menundukkan kepalanya.
Aneh. Bagaimana bisa kemampuannya hilang gitu aja?
"Lo harus seneng dong. Itu artinya mulai sekarang lo gak bisa denger lagi isi hati setiap orang yang selalu nyakitin lo," ucap Angkasa. Sejujurnya dia merasa agak sedih mendengarnya, entah kenapa.
Raya tersenyum kecut. "Sa," panggilnya pelan.
"Hm?"
"Gue sekarang takut."
"Takut? Kenapa?" Kening Angkasa berkerut.
"Mama ... Mimpi ngelahirin gue."
Angkasa terdiam setelahnya. Dia seperti kehilangan kata-kata. Lelaki itu masih menatap Raya yang menunduk. Permen kapas yang dipegang oleh gadis itu bergerak pelan karena tangannya yang bergetar.
?
Angkasa menarik bahu Raya agar semakin dekat dengannya. Gadis itu hanya memasang muka datar seperti biasanya. Berbeda dengan Angkasa yang tersenyum semringah.
"Woi, senyum dong. Kaku amat kayak kanebo kering." Angkasa menyikut pelan lengan Raya hingga gadis itu mau tidak mau menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Sedikit.
"Mbaknya senyum lagi dong, jangan terlalu serius." Seorang lelaki yang memegang ponsel milik Angkasa tertawa pelan. Angkasa melirik Raya yang kini memasang tampang masam. Dia tertawa pelan, Raya memang seperti itu. Dia tidak suka dipaksa atau diatur.
Raya menarik kedua sudut bibirnya semakin ke atas— masih dengan paksaan. Angkasa kembali meliriknya dan semakin tersenyum lebar.
"Satu ... Dua ... Tiga!"
Angkasa segera mendekati lelaki di depannya. "Makasih banyak, Mas." Dia melihat hasil fotonya yang lumayan bagus.
"Nah, gini dong. Lo tuh kalo senyum kelihatan can— eh?" Ucapan Angkasa terhenti saat Raya menyodorkan ponsel padanya.
"Fotoin gue." Gadis itu sedikit membuang pandangannya ke arah lain, menghindari tatapan Angkasa. Lelaki itu tersenyum dan segera mengambil ponsel Raya.
"Senyum dong! Buset dah." Angkasa memperhatikan wajah Raya yang kembali datar.
Raya membuang napasnya dan menarik kedua sudut bibirnya, membuat Angkasa terdiam selama beberapa saat.
"O-oke. Satu ... Dua ... Tiga!"
Angkasa tersenyum.
Cantik.
?
"Salam buat Tante Yuli, ya." Angkasa mengacak pelan rambut Raya hingga gadis itu mengerjap. Angkasa terkekeh dan segera berpamitan pulang.
Raya menatap motor milik Angkasa yang menjauh. Dia tersenyum tipis. "Dasar."
Mamanya terlihat sedang menonton TV sembari memakan camilan, sesekali tertawa ketika ada adegan film yang lucu. "Eh? Baru pulang?"
"Iya." Raya melanjutkan langkahnya menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar. Mengabaikan senyuman aneh yang sudah terpasang di wajah mamanya. Gadis itu langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit. Tiba-tiba dia tersenyum tanpa alasan. Dia bahkan sampai lupa, kalau akhir-akhir ini dia lebih banyak tersenyum dari biasanya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Raya segera membaca sebuah panggilan yang masuk. Keningnya berkerut saat melihat nomor asing di layar ponselnya.
"Halo?"
Kedua matanya memicing, berusaha mengenali suara yang ada di seberang sana. Hingga akhirnya Raya menemukan jawabannya. Dia tahu siapa pemilik suara itu. Raya masih mendengarkan setiap kalimat yang didengarnya.
Kedua matanya membulat. Panggilan dimatikan secara sepihak. Tanpa berpikir panjang, Raya langsung berlari keluar kamarnya.
Yuli yang baru saja mengambil segelas air dari dapur langsung menoleh saat melihat Raya berlari menuruni tangga dengan tergesa. "Ra, kenapa?" Dia dengan cepat menahan lengan Raya.
"Ma, aku harus pergi." Raya berujar dengan wajah yang begitu khawatir.
"Kamu mau ke mana lagi? Ini sudah sore."
"Angkasa dalam bahaya, Ma."
"A-apa?"
Raya langsung melepaskan tangan Yuli dan berlari keluar rumah tanpa memedulikan panggilan mamanya.
"Raya—" Yuli memegang salah satu dadanya yang tiba-tiba terasa berdenyut hebat. Gelas yang tadi dipegangnya sampai jatuh ke permukaan lantai.
Sementara Raya terus berlari menuju tempat yang tadi disebutkan oleh si penelepon. Dalam hati dia berdoa supaya Angkasa baik-baik saja.
Namun begitu tiba, Raya tidak melihat keberadaan siapa pun. Termasuk Angkasa.
"Angkasa!" panggilnya, namun tidak ada sahutan.
"Angkasa?"
Tiba-tiba Raya mendengar suara langkah beberapa orang. Gadis itu berbalik dan mendapati beberapa pria berpakaian hitam.
"Siapa kalian?" tanya gadis itu menatap satu per satu pria di depannya.
Salah satu di antara mereka tampak menyeringai. "Tangkap dia."
Kedua mata Raya membulat. Dia baru saja hendak kabur namun kedua tangannya ditahan dengan cepat hingga dia tidak bisa bergerak. Seseorang membekap mulutnya dari belakang hingga bau yang begitu menyengat masuk ke dalam indera penciumannya. Pandangannya mulai mengabur. Saat itu, samar-samar dia melihat seseorang berjalan mendekat.
Dia—
Semuanya berubah gelap.