39. Penyelamat

1380 Kata
Raya yang baru saja datang langsung menghampiri salah satu meja teman kelasnya dan memberikan sebuah buku catatan yang beberapa waktu lalu dipinjamkan padanya. "Makasih." Raya tersenyum tipis. Namun reaksi gadis bernama Amanda itu sungguh diluar dugaan Raya. "Gue gak salah lihat? Lo barusan senyum? Eh, ya ampun, Ra. Sumpah lo senyum dikit doang cantik loh. Banyakin senyum dong." Amanda langsung heboh, membuat Raya kembali terdiam. Amanda terdiam saat teman sebangkunya manabok lengannya cukup keras. "Biasa aja kali, lo kayak baru liat apaan." "Gue serius. Ra, lo jangan terlalu kaku. Senyum aja deh. Gue yakin kalo lo banyak senyum—" "Ntar dia dikira gila njir." Amanda memelotot pada seorang murid laki-laki yang menyahut. "Bukan gitu maksud gue. Kalo banyak senyum, ntar cowok-cowok yang biasanya takut sama lo, mendadak klepek-klepek kek ayam." "Ya gak usah disebutin kek ayam juga kali, lebay," sahut yang lain. "Halah, lo juga waktu itu takut sama Raya, kan?" Amanda memelotot dan langsung memasang tampang songong. "Gue udah minta maaf sama Raya! Dia juga udah maafin gue kok! Blweee~" Gadis itu menjulurkan lidahnya. Salah satu sudut bibir Raya tertarik. Dia tidak ambil pusing soal ucapan teman-temannya. Sampai kapan pun dia akan tetap menjadi dirinya. Masalah bagaimana dia senyum atau tidak, tergantung perlakuan orang-orang terhadapnya. Raya lalu pergi ke tempatnya. Bersamaan dengan itu, ketua kelas datang dengan kedua tangan membawa buku paket. "Oi, sana lo turun bawain sisanya. Berat banget njir." Andre memelotot pada wakilnya yang terlihat duduk asyik bermain game di ponsel. "Kok gue? Biasanya juga lo nyuruh—" Kedua lelaki itu tiba-tiba menatap Raya yang juga tengah menatap pada mereka. Andre tertawa renyah. "Gue udah banyak dosa sama dia. Udah, lo aja sana. Gue mau ngerjain PR." Meskipun tampak kesal namun si wakil ketua kelas itu pun segera berjalan keluar kelas. "Lo bisa kok nyuruh gue," ucap Raya. Andre yang baru mendudukkan dirinya di bangku pun langsung menoleh padanya. "Gak usah. Lo udah keseringan gue suruh." Lelaki itu kembali tertawa dan langsung mengeluarkan alat tulis. "Baru nyadar, Pak?" Seorang gadis menyahut dengan nada menyebalkan. Diiringi tawa teman-temannya yang lain. "Heh, gak usah berisik lo!" Andre langsung memelototi mereka. Raya membuang napasnya pelan. Suasana kelasnya berangsur membaik. Teman-temannya perlahan memperlakukan dirinya seperti seharusnya. Raya cukup bersyukur akan hal itu. Meskipun di luar sana masih banyak yang memandangnya dengan sebelah mata, Raya tidak ambil pusing. Setidaknya sekarang dia merasa lebih baik saat berada di kelasnya sendiri. ? "Hoaamm ... " Angkasa menopang dagunya dan menatap Sam malas. "Beliin gue siomay dong. Ngantuk nih." "Enak aja lo nyuruh-nyuruh gue. Pergi aja sendiri. Kaki lo masih berguna, kan?" "Ah, males turun tangga." Angkasa kembali menguap. "Mending lo gangguin orang aja sana. Gue kesel liat muka lo." Kedua mata Angkasa langsung terbuka lebar. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan langsung menyeringai. "Pinter lo. Ya udah, gue pergi dulu. Bye!" Sam menatap Angkasa dengan mulut yang setengah terbuka. Tadi jelas-jelas lelaki itu seperti manusia yang kehilangan harapan hidup, tapi sekarang dia terlihat begitu semangat. "Gue jadi curiga. Si Angkasa itu emang ditakdirkan buat gangguin hidup orang kayaknya." Sam menggelengkan kepala. Lelaki itu beranjak dari bangkunya dan pergi keluar. Betapa terkejutnya dia saat melihat Angkasa tersungkur di lantai bersama Raya. Dia terlihat diomeli murid perempuan yang ada di sana. Bukannya menolong, Sam malah tertawa di tempatnya. "Makanya kalo mau lari-lari gak usah di sini! Pake dong tuh mata!" Seorang gadis membantu Raya berdiri dan memelototi Angkasa. "Pake kaki woy, mana ada lari pake mata!" Angkasa tidak mau kalah. Dia langsung berdiri dan balas memelotot. "Heh, beha kadal! Bocah TK juga tahu kalo lari tuh pake kaki! Emangnya lo lari sambil merem? Pake mata woy! Lo pakenya mata kaki sih." Gadis itu semakin sewot. Dia menyeringai, merasa menang. "Enak aja lo ngatain gue. Ngaca woy! Lo—" Angkasa mendadak bungkam saat menyadari kalau Raya menatapnya. Lelaki itu seketika menelan ludah. Sejujurnya dia masih kesal, apalagi gadis menyebalkan tadi kini memasang tampang mengejek dengan kedua ibu jari membentuk thumbs down. Raya langsung pergi dari sana. Namun Angkasa tidak tinggal diam. Dia langsung berlari mengejar Raya. Sementara Raya tidak melayangkan protes apa pun, toh meskipun dia protes karena Angkasa mengikutinya, hal itu percuma. "Lo mau ke kantin kan? Mau beli apa? Beli siomay aja biar ntar sekalian gue beliin. Gimana?" "Lo bisa diem gak?" Bibir Angkasa mencebik. Dia membuang muka ke arah lain. "Dasar bukan manusia." "Kedengeran." Angkasa tersentak dan langsung menutup mulut. Tiba-tiba langkahnya dan Raya terhenti saat bertemu Gavin. Angkasa berdecak. "Gak usah tatap-tatapan. Ini bukan di adegan n****+. Kelamaan, gue udah laper." Gavin mendelik dan beralih menatap Angkasa. "Lo bisa diem—" "Minggir." Angkasa dan Gavin secara serentak menatap Raya yang kini melayangkan tatapan dingin. Angkasa terkejut, terutama karena Raya menatap Gavin berbeda kali ini. Salah satu alis Gavin naik. "Kenapa? Gue tadinya mau gabung sama kalian." "Minggir," ulang Raya. Gavin segera menyingkir dan membiarkan Raya berjalan melewatinya. Keningnya tampak berkerut. Sementara Angkasa terlihat terkejut. Bukan karena ucapan Raya, tapi karena Raya yang tiba-tiba menyambar tangannya. ? Sebuah motor terlihat berhenti di depan rumah. Setelah mengucapkan terima kasih, Raya segera turun dan berjalan menghampiri pintu rumah yang berukuran besar. Sesekali gadis itu melihat sekelilingnya. Ini rumahnya Angkasa? Siapa sangka ternyata Angkasa memiliki rumah yang begitu megah dengan halaman yang luas. Raya segera menekan bel, namun tidak ada sahutan. Dia kembali menekan bel, dan tidak lama kemudian terdengar seseorang mendekat. Pintu pun perlahan terbuka. Namun yang terjadi adalah, Raya yang langsung terdiam begitu pun orang yang membuka pintu. "T-Tante ... " Kedua mata Raya mengerjap begitu melihat sosok wanita di depannya. "Ya ampun, kamu yang waktu itu nolong saya, kan?" Intan tertawa pelan. "Jadi kamu putrinya Bu Yuli?" Raya mengangguk. Gadis itu masih terlihat terkejut saat mengetahui kalau wanita yang pernah ditolongnya dari serangan preman adalah— "Siapa, Ma?" Seorang lelaki muncul dari balik tubuh Intan. Mamanya Angkasa. Raya membuang napas. Kedua mata Angkasa membulat. "R-Raya, lo ngapain ke sini?" Intan menatap kedua remaja itu bergantian. "Nah kan, jadi selama ini kalian saling kenal? Ya ampun. Sa, ternyata yang udah nolongin Mama waktu itu anaknya Bu Yuli." Angkasa terdiam. Ternyata beneran Raya orangnya. Ya Tuhan, kebetulan macam apalagi ini? "A-aku gak bisa lama-lama, maaf. Aku cuma disuruh nganterin pesanan sama Mama," ucap Raya begitu Intan mempersilakannya masuk. Dia menunjukkan sebuah bungkusan yang dibawanya dari rumah. "Mampir aja dulu, gak usah sungkan. Apalagi kamu orang yang nolongin Tante. Tante bener-bener berterima kasih sama kamu." Intan langsung mengambil bungkusan itu dan menarik tangan Raya. Sementara Angkasa hanya melongo di tempatnya. "I-iya, sama-sama. Tapi—" "Tangan kamu waktu itu berdarah. Udah gak apa-apa, kan?" "Enggak kok. Udah sembuh." "Duduk dulu ya, Tante siapin minum sama camilan." "Eh? Enggak usah, Tante." "Enggak apa-apa, santai aja. Kamu juga kan temennya Angkasa," ucap Intan. "Ma, kita gak temenan." Lelaki itu memprotes. Jangankan dianggap teman, dianggap manusia oleh Raya saja Angkasa ragu. Ucapan Angkasa membuat Intan terdiam. Dia lalu menatap kedua remaja itu bergantian. "Kalian gak temenan?" Keduanya mengangguk secara serentak. Wanita itu terlihat terkejut. "Jadi kalian pacaran? Ya ampun, kenapa gak bilang dari tadi? Jarang loh, Angkasa deket sama cewek begini." Angkasa dan Raya langsung membulatkan mata. "M-Ma, bukan itu maksudnya. Dia—" "Ya sudah, anggap aja rumah sendiri ya. Ya ampun Angkasa, kenapa gak pernah bilang sama Mama?" Intan langsung melangkah ke dapur. Kedua bahu Angkasa merosot dan menatap Raya yang kini memijit pelipisnya. "Bukan salah gue, oke? Gak usah salahin gue. Ini namanya salah paham." Angkasa segera angkat bicara. Raya hanya membuang napas. "Ya lagian lo ngapain ke sini? Lo kan bisa nyuruh gue yang ke sana!" Raya menatap lelaki itu sebal. "HP lo gak aktif." Angkasa terdiam. Dia baru ingat kalau baterai HP miliknya habis dan belum dicas. Dia menepuk keningnya. "Pantes aja Angkasa sering ke rumahnya Bu Yuli. Ternyata ada pacarnya." Intan tertawa. "Mama salah paham. Aku gak pacaran sama dia." Ucapan Angkasa sama sekali tidak didengar oleh Intan. "Jadi, siapa nama kamu?" tanya Intan lembut. Raya mengerjap sebelum menjawab, "Raya Avisha." "Nama yang cantik. Persis orangnya." "M-makasih." Angkasa mengacak rambutnya dan segera mendudukkan dirinya di sofa yang berseberangan dengan Raya, tepat di sebelah mamanya. "Ma, dengerin aku." "Diem kamu. Punya pacar cantik begini gak pernah dikenalin ke Mama." Kedua mata Raya mengerjap. "T-Tante, sebenarnya—" "Jadi, sejak kapan kalian pacaran?" Dan di detik itu rasanya Angkasa ingin menangis. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN