Angkasa berjalan gontai memasuki rumahnya. Intan yang semula berada di ruang tamu langsung bergegas menghampirinya.
"Sa, Mama udah lihat artikelnya di internet." Wanita itu terkejut melihat penampilan Angkasa. Wajah putranya terlihat lebam-lebam, ada bekas air mata yang telah mengering di sana. Seragamnya yang semula berwarna putih bersih kini terlihat kotor dengan noda berwarna cokelat dan juga darah di beberapa bagian.
"Sa," panggilnya. Angkasa menatap mamanya dengan tatapan kosong. Tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari bibirnya. Perlahan Angkasa menunduk dan menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu, sebelum akhirnya terisak pelan.
Intan segera memeluk Angkasa dan mengusap punggungnya. Kedua matanya berkaca-kaca. "Kamu sudah melakukan yang terbaik."
Sudah empat tahun Intan tidak melihat Angkasa menangis. Terakhir kali lelaki itu menangis di saat ayahnya meninggal dunia, dan ia tak menyangka kalau kini ia harus melihat Angkasa menangis lagi, membuatnya ikut merasakan sakit di dadanya.
Kedua bahu Angkasa mulai bergetar hebat saat Intan semakin memeluknya erat. Setetes cairan bening berhasil merembes keluar dari salah satu matanya, seolah rasa sedih yang tengah dirasakan oleh putranya itu merambat padanya.
"Angkasa gagal, Ma," lirih Angkasa dengan suara bergetar. "Angkasa gagal menyelamatkan Raya."
Kalimat itu begitu terdengar pilu, membuat Intan semakin mendekap tubuh putranya.
"Kamu enggak gagal, Angkasa. Kamu sudah melakukan yang terbaik, tapi Raya memang tetap memilih pergi."
***
Sementara itu di tempat lain, Yuli tampak duduk di sebuah ranjang dengan sebuah foto yang berada di dekapannya. Dia menatap foto yang menampakkan dirinya dan dua orang anak kecil. Bibirnya perlahan membentuk sebuah lengkungan ke atas, namun dengan air mata yang mengalir deras. Wanita itu terluka untuk ke dua kalinya. Hatinya terluka.
Sekali lagi, Tuhan kembali mengambil miliknya yang paling berharga.
Yuli memeluk foto itu erat dengan derai air mata. Bahunya bergetar hebat. Isakannya menggema memenuhi penjuru kamar putrinya yang kini kosong.
Tangan Yuli meraih tas sekolah milik Raya. Dia mengelusnya dengan tangan yang bergetar sebelum akhirnya mendekapnya. Putrinya kini sudah tenang. Dia sudah bersama dengan Rama dan bahagia di atas sana.
"Raya." Suaranya bergetar.
"Rama sayang sama Mama."
"Raya juga sayang sama Mama."
Kedua buah hatinya kini sudah tak lagi bisa ia dekap. Raya, satu-satunya yang Yuli miliki, pada akhirnya menyusul kepergian Rama, meninggalkannya seorang diri di sana.
?
"Kayla," panggil seseorang. Kayla menoleh pada mamanya dan segera menghapus air matanya. Gadis itu berdiri setelah meletakkan sebuket bunga di atas sebuah gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga di atasnya.
"Maafin gue," lirihnya dengan nada bergetar. Kemudian dia berjalan menghampiri mamanya dan memeluk wanita itu erat dengan tangis yang kembali pecah.
Setelah semua yang terjadi, Kayla jadi semakin merasa bersalah. Bagaimana pun, Raya akan tetap menjadi temannya walau gadis itu selalu menolak keberadaannya. Kini Kayla mengerti mengapa Raya selalu menjauh. Gadis itu pasti selalu teringat papanya yang selalu memperlakukannya buruk, dan Raya tidak ingin melampiaskannya pada Kayla. Namun meskipun begitu, Raya pernah menolongnya. Kayla sangat berterima kasih, Raya tidak benar-benar membenci dirinya.
Terima kasih, Ra.
Dan dia tahu alasan mengapa Gavin sering datang ke rumahnya. Lelaki itu bekerja sama dengan papanya. Dia jahat. Jika saja Kayla tahu, dia pasti akan menjauhkan mereka bagaimana pun caranya. Termasuk menjauhkan Gavin dari Raya.
?
Situasi sekolah mulai stabil. Murid-murid mulai aktif lagi meramaikan setiap sudut sekolah. Di jam istirahat seperti saat ini, kantin-kantin terlihat penuh seperti biasanya.
Jabatan Anthony kini sudah dicabut dan pria itu mendekam di dalam sel tahanan. Kini jabatan kepala sekolah SMA Cakrawala sudah digantikan oleh wakil kepala sekolah sebelumnya. Gavin mengalami luka parah dan dirawat di rumah sakit karena kritis. Lelaki itu akan menyusul Anthony yang sudah berada di balik jeruji besi ketika dia sudah sembuh nanti. Lelaki itu sudah resmi di-drop out oleh pihak sekolah. Sementara semua anak buah Anthony tewas di tempat karena tertimpa reruntuhan bangunan.
Rumah Kayla dan mamanya terpaksa disita untuk menutup semua hutang Anthony. Mereka pergi ke rumah kerabatnya yang berada di luar kota. Kayla masih bisa bersekolah di Cakrawala karena gadis itu tidak terlibat. Namun sang mama tetap memilih untuk memindahkannya.
Kelas XI IPA 5 terlihat dalam keadaan kosong. Mereka bersama wali kelas pergi ke rumah Raya untuk mengucapkan bela sungkawa. Amanda tidak berhenti menangis setibanya di sana. Gadis itu memeluk Yuli erat dan berulang kali meminta maaf. Disusul oleh Andre dan juga yang lainnya.
Sementara itu di taman belakang sekolah, di bawah pohon beringin tua, seseorang duduk sendirian di bangku yang ada di sana. Tangannya memegang sebuah ponsel yang kini ditinggalkan oleh pemiliknya. Angkasa mengusap layar ponsel milik Raya yang basah karena air matanya. Di sana terdapat foto mereka berdua saat pergi bersama, untuk terakhir kali. Lalu tangannya menggeser slide, menampakkan foto Raya yang diambil olehnya. Senyuman gadis itu tampak begitu cerah, terlihat cantik dengan pakaian berwarna merah muda.
Angkasa mematikan layar benda tipis itu dan segera menghapus air matanya. Dia menengadahkan kepalanya ke atas, tepat ke arah dedaunan yang menari tersapu angin.
"Woi! Lo denger gak sih? Gue tahu lo manusia!"
"Gue manusia. Sama kayak lo."
Dia masih mengingatnya. Angkasa masih ingat saat pertama kali dia bertemu dengan Raya di sana. Angkasa yang semula ketakutan setiap kali melihat Raya, perlahan mulai peduli pada gadis itu setelah mengetahui banyaknya luka di hidupnya.
Di tempat itu, Raya biasa menghabiskan waktunya sendirian. Di sana, untuk pertama kalinya mereka bertemu, pertama kalinya dia melihat Raya menangis, dan di sana mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Raya yang semula selalu menolak kehadirannya, mulai terbuka seiring berjalannya waktu.
"Terima kasih buat semuanya, Angkasa."
Angkasa kembali menitikkan air mata. Bahkan di akhir hidupnya, Raya masih bisa menyelamatkan hidup orang lain. Gadis itu kelelahan setelah semua yang dia lakukan. Dia mengerahkan semua kekuatannya demi menyelamatkan Angkasa, dan justru mengorbankan dirinya sendiri. Gadis itu selalu bertindak sendirian.
"Harusnya gue yang bilang makasih, Ra," lirih Angkasa. Dia menunduk, meremas ujung seragamnya hingga kusut. Setelah semua luka yang diterimanya, pada akhirnya gadis itu tetap memilih pergi, tidak peduli bagaimana Angkasa menahannya. Tuhan sayang padanya dan tidak membiarkannya merasakan sakit lagi. Raya sudah melakukan yang terbaik, sampai dia bisa melewati semuanya. Berkali-kali merasa lelah, berkali-kali ingin menyerah, namun gadis itu tetap memilih melangkah.
Sekarang semuanya selesai. Raya sudah pergi. Gadis itu kini bisa beristirahat dengan damai.
Semua yang datang, pada akhirnya akan pergi. Namun semua yang pergi, belum tentu akan kembali.
Terima kasih, Raya.
- SELESAI -