—Extra Part—

1010 Kata
Suasana di taman belakang sekolah yang sudah tak terpakai itu masih saja sama dari hari ke hari. Pohon beringin besar di sana semakin tua dan daunnya kian rindang, sesekali berjatuhan begitu dilewati oleh sapuan angin. Salah seorang murid laki-laki terlihat duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Ia yang semula menunduk menatap ponsel di tangannya perlahan menengadah. "Gimana kabar lo sekarang, Ra?" lirihnya. Napasnya mendadak terasa berat. Ia ingat, di tempat itulah ia pertama kali bertemu dengan Raya. Gadis yang dikenal misterius dan ditakuti oleh orang-orang di sekolahnya itu sering menyendiri di sana. Gadis yang tak memiliki seorang teman pun itu beberapa kali terlihat menangis sendirian. Tempat yang ditakuti oleh semua orang justru ia gunakan sebagai tempat favorit untuk menyendiri sekaligus melepaskan nyeri di hati. Dari situlah Angkasa sadar kalau kehidupan Raya begitu berat. Malangnya, gadis itu tak memiliki satu orang pun di sampingnya. Meskipun awalnya Raya sama sekali tak menganggap keberadaan Angkasa, namun gadis itu perlahan mau bicara dengannya walau hanya percakapan singkat. Raya adalah gadis yang baik. Meskipun ia ditakuti oleh teman-temannya, namun ia tetaplah memiliki prestasi. Guru-guru mengenalnya sebagai salah satu murid teladan, walaupun murid lain tidak demikian. "Angkasa?" Derap langkah kaki terdengar mendekat tidak lama setelahnya. Si pemilik nama segera mengusap kedua sudut matanya yang lembap begitu namanya dipanggil. "Lo ngapain? Bel bentar lagi bunyi. Lo kan disuruh nyimpen bola." Sam mengambil bola basket yang ada di sebelah Angkasa sebelum akhirnya ia ikut duduk di sana. "Lo duluan aja," ujar Angkasa pelan. Sam yang tengah memainkan bola di tangannya itu berhenti lalu menoleh pada Angkasa. Ia juga menatap ponsel yang berada di tangan sahabatnya itu. Sam membuang napas pelan sebelum akhirnya berujar, "udah hampir setahun dan lo ... masih belom bisa lupain Raya?" Angkasa tersenyum samar. "Gue gak mungkin bisa lupain Raya dengan begitu mudah. Bagaimana pun, dia yang udah nyelamatin gue waktu itu." "Apa yang bisa lo harapkan dari orang yang udah gak ada, Sa? Raya udah pergi sekarang. Dia mungkin udah bahagia di sana, lalu gimana sama lo?" "Gue belom sempet ngucapin makasih ke dia." Angkasa berkata lirih. "Sa, gue yakin Raya di sana gak mau lihat lo yang kayak sekarang. Dia pasti mau lihat lo bahagia kayak dulu lagi." "Kalau bahagia yang lo maksud dengan cara seperti ini, gue gak akan pernah mau, Sam. Ini terlalu berat buat gue." Ponsel milik Raya yang berada di genggaman Angkasa pun diremas kuat. Satu-satunya benda milik Raya yang ia miliki hanya ponsel itu. Di sana, foto Raya masih tersimpan dengan baik. Gadis itu tampak manis dengan pakaian berwarna merah muda seraya memamerkan seulas senyuman yang pertama sekaligus terakhir kali yang Angkasa bisa lihat. Namun Angkasa tak pernah membayangkan kalau pakaian merah muda yang dikenakan Raya di hari itu ternyata akan berubah menjadi warna merah sepenuhnya. Di hari itu, Raya menangis untuknya untuk pertama kali. Di hari itulah Raya mengakhiri semuanya. Gadis itu menyerah akan hidupnya dan menutup kedua matanya di dalam rengkuhan Angkasa yang rapuh. Sam membuang napas pelan. "Gue bahkan gak tahu kalo lo sama Raya sedekat itu. Gue benci bilang ini, tapi di saat Raya udah nerima keberadaan lo, Tuhan justru punya rencana lain. Meskipun gue gak deket sama Raya, tapi gue ikut ngerasa bersalah. Hari-hari dia pasti terasa berat di sini, masa SMA yang harusnya paling bahagia, justru sebaliknya. Gue bahkan gak nyangka kalau sosok Pak Anthony yang merupakan kepala sekolah itu bakal setega itu sama anak kandungnya sendiri. Dia bahkan ngelibatin ketua OSIS buat ngejalanin rencana busuknya. Bukankah secara gak langsung dia merencanakan pembunuhan anaknya sendiri?" Angkasa kembali menengadah, menatap dedaunan yang tengah menari begitu angin datang menyapa. Seraya menahan sesak di dadanya ia berkata, "dan lo tahu apa yang menakjubkan? Gak peduli sebusuk apa ayah kandungnya, Raya gak pernah benci sama Pak Anthony. Dia sengaja ngambil semua dokumen Pak Anthony dengan harapan ayahnya itu bakalan sadar, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Asal lo tahu, Sam. Raya gak benci Pak Anthony meskipun dulunya dia diusir secara paksa bersama ibunya, dia gak benci walau dicap pembunuh dan penyihir oleh ayah kandungnya, dia gak benci Kayla yang selalu dapat perlakuan lebih baik meskipun hanya anak tiri ayahnya, dan Raya gak benci sama orang-orang yang jauhin dia. Dia ... hanya benci takdirnya. Dia benci dengan jalan hidup yang Tuhan pilihkan untuknya." Sam menoleh saat Angkasa memalingkan wajahnya ke arah lain. Selama ia mengenal Angkasa, tak pernah sekali pun ia melihat sahabatnya itu sesedih sekarang. Ia tak bisa membayangkan sesakit apa perasaan Angkasa selama ini dan ia juga gak bisa membayangkan serindu apa Angkasa pada sosok yang bahkan sulit ditemui di dalam mimpi. *** Angkasa berjalan mendekati salah satu nisan. Ia akan meluangkan waktunya untuk pergi ke sana beberapa kali dalam seminggu. Angkasa ingat, dulu ia cukup sering menemani Raya pergi ke makam kembaran gadis itu, namun kali ini situasinya berbeda. Kini Angkasa datang sendirian mengunjungi makam Raya. Sebuah plot yang sama sekali tak ia inginkan. Sudah hampir setahun dan rasa kehilangan itu seperti tak berniat pergi sama sekali. "Hari yang gue pikir selamanya itu, ternyata gak bertahan lama." Dengan susah payah Angkasa menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia berlutut, meletakkan sebuket bunga di atas permukaan tanah di hadapannya. Menatap ukiran nama itu masih saja membuatnya cengeng hingga saat ini. "Maaf karena gue gak bisa kasih sesuatu yang lo suka. Semoga lo bahagia di sana ya—" Kalimatnya terputus saat sebuah isakan pelan keluar dari bibirnya. "—Raya." Angkasa tersenyum. Selang beberapa detik kemudian ia membuang pandangannya ke langit, menatap mentari yang bersinar terik. Terlalu terik, hingga sesuatu yang berada di salah satu ujung matanya mencair. Ia masih saja lemah. Angkasa sepenuhnya bersimpuh di sana. Dengan penuh penyesalan ia berulang kali mengucapkan permintaan maaf. Untuk ke sekian kali, ia menangisi Raya. Permintaan maaf untuk kegagalannya dalam melindungi Raya, lalu ucapan terima kasih karena gadis itu senantiasa menyelamatkan nyawanya saat di akhir hidupnya. Memanglah benar, tak semua yang pergi akan datang kembali. Raganya mungkin menghilang, namun kenangan bersamanya tak akan pernah hilang. Melepas kepergian seseorang memang terasa sulit, namun akan terasa semakin sulit jika kita tak mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya. — SELESAI —
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN