Kedua mata Raya menyipit begitu penutup mata itu dibuka oleh seseorang. Dia melihat Gavin yang sudah berdiri di depannya. Wajahnya terlihat terluka di beberapa bagian dan lebam.
Gavin menyentuh puncak kepala Raya namun gadis itu langsung menjauhkan kepalanya, membuat Gavin tertawa pelan.
"Masih marah, ya?"
"Brengsek."
Gavin langsung meraih rahang Raya dan mencengkeramnya kuat. "Lo gak pantes buat ngatain gue," ucapnya dengan penuh penekanan.
Raya menatapnya nyalang. Entah kenapa topeng busuk Gavin baru sepenuhnya terkuak sekarang. Raya tidak mengerti, isi pikiran Gavin seolah tidak mudah terbaca dan lelaki itu dengan apik menyembunyikan kebohongannya. Mungkin ini yang dimaksud mamanya, dan alasan kenapa mamanya tidak menyukai Gavin walau pun mereka tidak pernah bertemu. Dan Raya menyesal karena dia sempat menginginkan Gavin yang muncul di mimpi mamanya saat itu, bukan Angkasa.
"Jangan pernah sentuh mama!"
Salah satu sudut bibir Gavin naik ke atas. "Nyokap lo aman kok. Tenang aja. Dia tadi datang ke sekolah dan membuat keributan. Dia membuka semua kebusukan Pak Anthony di hadapan semua orang, termasuk rencana licik yang sudah direncanakan jauh hari. Dan gara-gara lo, semuanya kacau!" Gavin menghempaskan rahang Raya dengan kasar.
"Lo emang sudah jahat sejak awal," ucap Raya.
Gavin tertawa mendengarnya. "Bukannya lo sendiri tahu? Lalu kenapa lo gak langsung menghindar?" Dia tersenyum licik.
Brakk!!
Semua orang menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka secara paksa.
"A-Angkasa!" Wajah Angkasa terlihat terluka. Gavin dan Angkasa pasti berkelahi. Raya sudah bisa menduganya. Kemarin itu, sudah pasti dia dijebak oleh Gavin. Dan Raya masih ingat, siluet seseorang yang terakhir dilihatnya sebelum pingsan, memanglah Gavin Reynand.
Kedua mata Angkasa menatap Raya yang berada di sebelah Gavin. "Raya," lirihnya. Dia baru saja ingin menghampiri Raya namun lima orang pria berbadan besar yang ada di sana langsung menghadangnya. Salah satu di antara mereka tampak memegang sebuah balok kayu, bahkan sebuah tongkat besi. Angkasa memasang kuda-kuda. Dia harus sangat berhati-hati karena dia bahkan sudah kalah dari jumlah.
Salah seorang pria itu langsung maju melayangkan pukulan ke Angkasa, namun beruntung Angkasa bisa menangkis dan lebih dulu memukulnya. Namun rupanya tidak sampai di situ, tubuh Angkasa terpelanting ke depan begitu seseorang menendang punggungnya dengan kuat.
"Angkasa!"
?
Suasana kelas benar-benar kacau. Murid perempuan sedari tadi merapalkan doa, berharap situasi kembali pulih dan teman mereka bisa kembali dengan selamat. Sementara beberapa murid laki-laki tampak berusaha menenangkan ketua kelas mereka yang menggila.
Andre berkali-kali menendang bangku hingga membuat murid perempuan semakin ketakutan. "Kita gak bisa diam aja di sini! Kita harus ke sana dan membantu!" Lelaki itu kini menendang pintu kelas yang tak kunjung terbuka karena sengaja dikunci dari luar. Beberapa guru ikut mencari Raya, dan sisanya melakukan rapat.
Semua kelas sengaja dikunci agar tidak ada satu pun murid yang kabur. Pagar ditutup serta dikunci. Setiap sudut sekolah dijaga dengan begitu ketat oleh beberapa penjaga sekolah. Semua kelas diberikan tugas namun ada beberapa kelas yang membangkang, salah satunya kelas XI IPA 5 yang sedari tadi membuat keributan.
"Dre, mereka ngelakuin ini juga demi kebaikan kita semua. Di luar sana terlalu bahaya, kita hanya akan menyulitkan mereka." Salah seorang murid berujar, membuat Andre langsung menatapnya penuh.
"Tapi Raya masih bagian dari kelas ini! Dia teman kita! Kita gak bisa terus mengandalkan cowok kelas IPA 2 itu! Dia pergi sendirian ke sana tanpa tahu jumlah musuh!" Andre kembali menendang pintu. "Sial! Semua orang bahkan tertipu sama tampang sialan ketua OSIS itu!"
"Mungkin kita gak bisa bantu, Dre." Amanda terisak. "Tapi di sini, kita bisa berdoa buat keselamatan Raya."
Andre terdiam. Tubuhnya perlahan merosot ke bawah. "Gue harap Pak Anthony dihukum seberat mungkin."
?
Raya berusaha melepaskan dirinya namun dia benar-benar terikat kuat. Dia tidak bisa terus berdiam diri menyaksikan Angkasa yang dihajar membabi buta oleh beberapa orang. Gavin yang sudah turun tangan berulang kali memukul rahang Angkasa hingga lelaki itu tumbang karena kehilangan keseimbangan.
Berusaha mencari jalan, Raya mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dia merutuk saat tidak mendapat benda yang bisa membantunya. Lalu pandangannya terarah pada sebuah jendela yang berada di langit-langit, tepat beberapa meter di atasnya. Raya menelan ludah. Kemampuannya membaca pikiran memang hilang, namun tidak dengan telekinesisnya.
Kumohon ...
Sedikit demi sedikit kaca itu mulai retak. Salah satu sudut bibir Raya terangkat dan kembali memusatkan fokusnya. Dia harus bisa membebaskan diri dan membantu Angkasa. Bunyi gemertak semakin jelas terdengar hingga— Raya menundukkan kepalanya cepat dan kedua matanya memejam. Kaca jendela itu pecah dan pecahannya menimpa dirinya.
Semua orang menoleh saat mendengar suara nyaring itu dan terkejut melihat Raya yang sedang berusaha memotong tali dengan pecahan kaca.
"Sial. Hentikan dia!" titah Gavin. Dua orang pria berlari ke arah Raya namun gadis itu langsung bertindak cepat. Dia memotong tali itu tanpa mempedulikan tangannya yang berlumuran darah.
Brukk!
Raya melemparkan kursi ke dua pria itu dan berhasil meloloskan diri.
"Angkasa, awas!" Raya berteriak begitu melihat seorang pria yang hendak memukul Angkasa dengan balok kayu. Beruntung Angkasa dapat menghindar dan langsung memukulnya. Raya berlari menghampiri Angkasa. Mereka berdiri saling membelakangi, menatap musuh yang mengelilingi mereka. Sesekali Angkasa melirik tangan Raya yang mengeluarkan banyak darah.
"Ra, tangan lo—"
"Jangan lengah!" Raya berkata dengan tegas, membuat Angkasa semakin khawatir.
"Raya ... "
"Menghindar!"
Angkasa spontan berjongkok saat melihat beberapa pecahan kaca melayang ke arahnya. Benda-benda itu melesat cepat dan menggores kulit musuh-musuh mereka. Raya langsung menyambar tangan Angkasa dan mereka berlari menuju pintu. Gavin melihatnya geram. Dia menyeka darah yang mengalir dari pelipisnya yang terluka karena pecahan kaca barusan. Lelaki itu lalu menatap tumpukan kayu yang berada di sana.
"Jangan harap kalian bisa keluar!" Diraihnya tongkat besi yang dipegang anak buah Anthony dan langsung dilemparkannya pada penyangga tumpukan itu.
Menyadari ada bahaya yang mengancam, Raya langsung mendorong tubuh Angkasa menjauh hingga terpelanting.
"Raya!" Kedua mata Angkasa membulat begitu tumpukan kayu itu menimpa Raya. Dia lantas berlari, berusaha menyelamatkan gadis itu. Namun tubuhnya ditarik dengan cepat ke belakang dan langsung ditinju oleh Gavin dan beberapa orang lain.
"R-Raya!" Angkasa berteriak parau.
"Semuanya sudah selesai. Cewek itu, sekarang mati." Gavin menyeringai.
Kedua mata Angkasa memanas saat tumpukan kayu itu tidak bergerak sama sekali.
Bersamaan dengan itu, suara sirine terdengar mendekat. Gavin menghempaskan tubuh Angkasa dan dia bersama orang-orangnya panik dan berusaha menyelamatkan diri. Namun belum juga mencapai pintu, beberapa balok kayu berukuran besar itu secara tiba-tiba menghantam tubuh mereka hingga terpental. Kedua mata Angkasa melihat Raya di sana. Sebagian tubuhnya masih tertimpa kayu-kayu berukuran besar. Setidaknya gadis itu selamat, Angkasa begitu bersyukur. Dengan cepat dia berusaha berlari menghampirinya. Wajah Raya terlihat lebih pucat dari biasanya. Dahinya berkeringat hebat dan napasnya memburu. Darah terus menerus keluar dari luka di tangan gadis itu, bahkan luka di kepalanya kembali terbuka. Angkasa berusaha sekuat tenaga menyingkirkan kayu yang masih menimpa tubuh Raya.
"S-Sa, pergi." Raya berucap parau. Gadis itu hampir kehabisan suaranya. Matanya menangkap siluet seseorang yang berusaha mendekat ke arah mereka dengan murka dan tangan yang menyeret sesuatu.
Angkasa melihat ke sekitarnya begitu mendengar suara gemertak. Dinding-dinding itu perlahan retak, dan mulai terbelah hingga ke langit-langit. Angkasa langsung menatap Raya. "Ra, lo gak bisa lakuin ini! Bahaya. Lo harus segera pergi!" Angkasa menarik tangan Raya namun gadis itu menahannya. Dia tersenyum, namun kedua sudut matanya berair.
"Terima kasih buat semuanya, Angkasa."
Kedua mata Angkasa memanas. Dia menggelengkan kepalanya. "Nggak! Lo harus ikut sama gue!"
"Sa, pergi."
Angkasa kembali menggeleng. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. "ENGGAK!!" Dia berusaha menarik tubuh Raya dari sana.
Gavin sudah melayangkan tangannya ke udara. Dengan tertatih dia berusaha berlari dan mengayunkan tongkat besi di tangannya.
"ANGKASA!"
Tubuh Angkasa terhempas dan terpental jauh ke luar. "RAYA!!"
Bangunan di depannya rubuh seketika. Angkasa berteriak dengan suara yang hampir habis. Kedua tangannya mengepal begitu kuat. Dengan terseok-seok dia menghampiri bangunan yang telah berubah menjadi rata itu. Kedua kaki Angkasa tidak bisa menahan beban tubuhnya hingga akhirnya dia berlutut di sana. Lelaki itu menangis.
Beberapa mobil polisi datang dan mereka terkejut melihat kekacauan di sana. Guru-guru yang datang terdiam di tempat mereka, terkejut begitu melihat seorang laki-laki yang menangis hebat dengan seseorang yang tidak sadarkan diri di dekapannya.
—tbc