21. Razia

1260 Kata
Katanya, masa SMA adalah masa paling indah. Momen-momen yang dilewati akan terasa begitu berharga. Semua itu tidak akan dengan mudah dilupakan, dan akan terus dikenang. Namun bagi sebagian lainnya, masa SMA adalah masa yang sulit. Tak ada kenangan manis, yang ada hanya kenangan pahit. Raya menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang tampak berwarna biru tanpa adanya awan yang menghiasi. Tidak ada senyum pada wajahnya, bibirnya seakan seperti benar-benar melupakan bagaimana caranya tersenyum. Dia tidak bisa berbohong, namun dia juga tidak pandai jujur. Baginya, semua terasa sama saja. Ketika dia mengutarakan kebohongan, dia terluka sendiri. Ketika dia jujur, dunia seperti menuduhnya berbohong. Bahkan ayahnya sendiri. "Eh? Besok pergi nonton, yuk! Gue denger katanya ada film baru." "Serius? Jam berapa? Gue bosen di rumah terus. Besok samper gue ya!" Raya memperhatikan dua siswi yang baru saja berjalan melewatinya. Salah satu sudut bibirnya tertarik. Dia bahkan tidak memiliki satu pun teman di sekolahnya. Di mana masa SMA yang katanya menyenangkan itu? Payah. Raya membuang napasnya. Ketika dia hendak berjalan melewati tangga, terlihat banyak murid laki-laki yang berkumpul di sana. Mereka sibuk menggoda para siswi yang lewat, namun ketika melihat dirinya, mereka langsung terdiam. Raya tidak menghiraukannya dan tetap melangkahkan kaki. "Kok lo lewat sini?" Salah satu dari mereka menghadang Raya. "Gue pikir lo ... Terbang," lanjutnya. Teman-temannya tertawa. "Minggir," ujar Raya pelan tanpa menatap mereka. Mendadak tawa mereka berhenti. "Punya nyali juga lo." Salah satu dari mereka menatap Raya. "Heh, jangan main-main lo. Emangnya lo gak inget kejadian pas di perpustakaan itu? Nih cewek bisa celakain orang." Temannya tampak berkata pelan, namun Raya masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Justru itu. Gue pengen lihat secara langsung. Ayo lawan gue!" Raya membuang napas. Dia lalu menatap mereka semua. Namun bukannya semakin menantang semua siswa laki-laki itu langsung tampak ciut dan membuang muka. Kaki Raya kembali bergerak dan menaiki satu per satu anak tangga. "Heh! Mau ke mana lo?!" Raya sama sekali tidak menghiraukannya dan terus melangkah menuju kelas. Namun sesampainya di sana, semua mata langsung menatap tidak suka padanya. "Yah, gue pikir dia gak berangkat." "Bisa gak sih dia gak masuk sehari? Sebel gue liat mukanya." Raya mendudukkan dirinya di bangku dan mencoba menenangkan diri. "Gue denger katanya pagi ini OSIS bakal ngadain razia. Mampus gue. Gue baru aja beli lipstik baru." Murid-murid perempuan mendadak panik. Mereka berbondong-bondong mengeluarkan beberapa alat rias dari dalam tas dan mencoba menyembunyikannya. Namun Raya tampak tenang, toh selama ini dia tidak pernah membawa benda-benda aneh ke sekolah jadi hal itu tidaklah masalah baginya. Biasanya OSIS akan mengadakan razia pada jam pertama. Mereka akan menyita semua alat make up juga benda-benda yang sekiranya tidak layak dibawa oleh pelajar. "Eh, gue nitip ini dong!" Tiba-tiba seorang siswi menyodorkan bedak dan sisir pada Raya. Mau tidak mau gadis itu mendongak. "Gue baru pake seminggu. Awas kalo ketahuan sama OSIS! Lo harus sembunyiin—" "Itu gak ada hubungannya sama gue," ujar Raya. "Berani banget lo!" Tiba-tiba siswi itu membuka tas Raya tanpa permisi dan langsung memasukkan benda-benda tadi. Tidak lama kemudian beberapa siswi lain juga mengikutinya dan memasukkan barang-barang mereka ke dalam tas milik Raya. "Pokoknya jangan sampe ketauan sama OSIS! Lo kan deket sama Kak Gavin. Nah, lo nanti bujuk dia biar gak periksa tas lo. Bisa kan?" Kening Raya berkerut. "Gue gak bisa." "Lo harus bisa! Lo tinggal bujuk Kak Gavin. Awas aja kalo barang-barang kita semua sampe kena razia, lo bakalan kena akibatnya!" Seorang siswi menunjuk tepat ke arah wajah Raya. Bersamaan dengan itu, seorang guru masuk diikuti oleh beberapa orang siswa. Semua orang di kelas mendadak panik, apalagi ketika mereka melihat Gavin benar-benar ada di sana, termasuk wakil OSIS yang tidak lain adalah Juna. Beberapa murid melirik ke arah Raya dan memberi kode kepada cewek itu agar segera menyembunyikan tasnya. Namun Raya memilih diam, dia hanya menatap lurus ke depan tanpa ada niat sama sekali untuk menuruti keinginan teman-temannya. "Pokoknya bagi kalian yang membawa barang-barang yang tidak ada kaitannya dengan keperluan sekolah, mau tidak mau akan mereka sita," ucap guru mereka. "Silakan, Gavin." Gavin hanya menganggukkan kepala dan memberi kode kepada tiga orang rekannya agar segera menggeledah satu per satu tas milik semua murid. Ada beberapa yang belum sempat menyelamatkan barang-barangnya, yang pada akhirnya mau tidak mau harus beralih tangan kepada para anggota OSIS. Gavin melangkahkan kakinya dan mulai memeriksa satu per satu tas. Hingga langkahnya terhenti di salah satu meja paling belakang. Cowok itu menatap Raya. "Boleh gue lihat isi tas lo?" tanya cowok itu. "Kenapa minta izin? Bukannya tujuan lo ke sini emang untuk itu?" Salah satu sudut bibir Gavin naik. Tangannya dengan segera membuka resleting tas milik Raya, membuat beberapa siswi menatap Raya tajam, antara cemas barangnya ketahuan dan kesal karena Raya hanya diam. Namun ada pula yang menyeringai, menanti momen di mana Raya diomeli oleh sang Ketua OSIS bahkan guru, dan mendapat hukuman. Kedua mata Gavin sedikit membulat. Dia menatap Raya, namun cewek itu masih saja enggan menatapnya dan memilih untuk menatap ke arah lain. Gavin menatap satu per satu murid, dan dia langsung bisa membaca situasi yang terjadi. Akhirnya cowok itu memanggil Juna agar mendekat. "Ini gak salah?" tanya Juna seraya menatap Gavin dan tas milik Raya bergantian. "Bawa itu ke ruang OSIS," ucap Gavin tanpa mengalihkan tatapannya pada Raya. Cowok itu menghela napasnya sebelum melanjutkan, "dan lo, ikut gue." Raya menatap punggung Gavin yang menjauh. Perlahan cewek itu bangkit dari tempatnya dan mengikuti langkah Gavin. Seperti yang dia duga, teman-temannya yang lain justru terlihat begitu senang saat melihatnya maju ke depan. "Hanya satu orang, Bu. Maaf, saya harus izin memberi dia sanksi terlebih dahulu, sebagaimana aturan yang berlaku." Guru itu tampak menatap Raya tidak percaya. "Kamu yakin?" Gavin menunjuk tas milik Raya yang berada di tangan rekannya. "Dia melanggar aturan." Wanita yang biasa dipanggil Bu Imas itu hanya menggelengkan kepala. Antara percaya dan tidak kalau Raya akan terkena razia. Pasalnya Raya dikenal sebagai murid yang cukup teladan di kalangan guru, meskipun tak ayal kalau rumor-rumor tak menyenangkan tentang cewek itu juga sampai ke telinga mereka. Setelah memberikan izin, Gavin dan anggota OSIS lain segera keluar, bersama Raya tentu saja. Sepanjang perjalanan menuju ruang OSIS, tak ada satu pun yang berbicara. Kecuali teman-teman Gavin yang sesekali menatap Raya tidak percaya. "Lo yakin ini make up semuanya punya nih cewek?" Salah satu anggota OSIS itu tampak berbisik satu sama lain. "Gue gak yakin sih. Tapi—" "Lo semua ke kelas lain. Biar gue yang handle." Gavin mengambil tas milik Raya yang berada di tangan Juna. "Lo yakin, Vin?" Temannya yang lain tampak tidak yakin sembari sesekali menatap Raya. "Iya. Kasih tahu anak-anak lain. Kumpulin semua murid yang kena razia di ruang OSIS." "Oke." Juna dan yang lainnya segera berjalan memasuki kelas lain. Kini hanya ada Gavin dan Raya di koridor. Cowok itu menatap Raya sebelum berkata, "ke ruang OSIS." Raya membuang napas. Demi apapun rasanya dia ingin sekali menghajar semua teman-teman kelasnya yang sudah berbuat sampai sejauh ini. Mereka seakan seperti bersekongkol agar dirinya benar-benar terkena razia hingga dihukum. "Kenapa cuma gue yang dipanggil?" tanya Raya begitu Gavin menutup pintu. Cowok itu berjalan menuju sebuah meja. Dia kembali menatap Raya. "Karena cuma lo yang paling fatal," ucapnya seraya memuntahkan semua isi tas milik Raya hingga berantakan. Semua buku-buku dan alat tulis yang dibawa Raya berjatuhan ke atas meja bahkan lantai. Tidak terkecuali benda-benda laknat titipan teman-temannya. Bedak, lipstik, sisir, cermin, semuanya berhamburan. "Dan gue tahu ini semua bukan punya lo," lanjut Gavin membuat kening Raya mengerut. "Terus kenapa gue disuruh ikut sama lo?" Gavin meletakkan tas yang sudah kosong itu ke atas meja. "Sekali aturan tetaplah aturan. Lo, harus dihukum." —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN