Debu-debu berterbangan ketika Raya membersihkan permukaan rak dengan sebuah kemoceng. Cewek itu lalu mengangkat setumpukkan buku yang sebelumnya sudah dia rapikan dan menyimpannya kembali di rak seperti semula. Namun ketika dia hendak kembali mengangkat tumpukan yang lain, sepasang tangan langsung mengangkatnya lebih dulu.
"Lo duduk aja."
Raya menatap Gavin yang kini tengah merapikan susunan buku.
"Gue tahu lo ada tujuan lain nyuruh gue bersihin perpustakaan."
Gavin tersenyum miring. "Udah gue duga. Lo bisa dengan mudah baca isi kepala gue."
"Pikiran lo mudah kebaca. Apa yang mau lo omongin?" tanya Raya.
Gavin membalikkan badannya. Cowok itu lalu mendekat ke arah Raya. Sementara cewek itu sama sekali tidak bergeser dari posisinya barang sesenti pun, bahkan ketika ujung sepatu milik Gavin hampir menyentuh ujung sepatu miliknya.
Mereka bertatapan satu sama lain. Di detik berikutnya Gavin tiba-tiba terkekeh.
"Lo gak takut? Di sini cuma ada lo sama gue."
"Gue tahu lo gak akan berbuat macam-macam," ucap Raya tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua mata milik Gavin.
Cowok itu lalu tersenyum miring. "Oh, ya? Kalo misalnya gue beneran macem-macem sama lo, gimana?"
"Lo gak akan lakuin itu."
Gavin kembali terkekeh begitu mendengar jawaban Raya. "Kalo gitu, harusnya lo juga tahu apa yang bakalan gue omongin."
Kini Raya membuang pandangannya. Kemoceng yang berada di tangannya diambil oleh Gavin begitu saja.
"Sori, waktu itu gue cuma disuruh." Gavin melangkahkan kakinya menuju rak buku yang lain.
"Gue gak peduli."
"Gue awalnya gak ngerti. Tapi pas gak sengaja baca data punya lo, gue mulai paham. Dan sejujurnya gue ngerasa miris. Di dunia ini, ternyata ada sosok ayah yang kayak gitu. Gue ngerti lo pasti sakit hati sama bokap lo sendiri."
"Lo gak bakalan ngerti, dan lo gak bakalan tahu."
"Gue tahu, Ra. Gue tahu apa yang lo rasain."
"Lo gak akan pernah tahu. Apa yang udah dirasain gue sama mama selama ini. Dan lo, gak perlu tahu."
Gavin menoleh tepat ketika melihat Raya menghapus air matanya. Cowok itu terhenyak, untuk pertama kali dia melihat sisi lain dari seorang Raya Avisha. Di balik wajah dingin itu, Gavin bisa melihat bagaimana luka yang Raya rasakan. Pasti hari-hari yang dilaluinya terasa begitu sulit. Dengan kehadiran Anthony, dan juga Kayla. Padahal pada kenyataannya Raya adalah anak kandung Anthony.
"Berhenti kasihan sama gue," ucap Raya tanpa menatap Gavin.
"Setelah gue pergi nanti, semuanya selesai," lanjutnya dan menoleh pada Gavin. Di detik berikutnya tubuh cewek itu tersentak pelan ketika menyadari Gavin sudah berada di dekatnya dan secara tiba-tiba memeluknya.
"Lo gak akan pergi ke mana pun. Lo bisa hadapin semua ini, gue percaya itu," ucap Gavin tanpa melepaskan tangannya. "Lo bisa tumpahin semua air mata lo di sini. Lepasin semuanya."
Entah kenapa kedua mata Raya kembali memanas dan bahunya kembali bergetar. Cewek itu terisak pelan dan meremas pinggiran seragam milik Gavin. Baru kali ini dia merasa ada yang mau menerimanya, selain mamanya.
Raya menangis di sana.
?
Angkasa melupakan tujuan awalnya. Guru Biologi menyuruhnya ke perpustakaan untuk mengambil buku paket. Namun yang dia lakukan justru malah berdiri di ambang pintu, menatap dua murid yang berada di dalam sana.
Perlahan cowok itu berjalan ke dalam, menuju salah satu rak buku.
"Ekhem! Lagi di sekolah nih! Tahan dikit kek!" ucapnya lantang membuat Gavin dan Raya saling menjauh.
Diam-diam Angkasa melirik Raya yang tampak mengusap kedua matanya.
Dia nangis.
"Lo bisa gak sih ketuk pintu dulu?!" semprot Gavin.
"Idih, ngapain juga gue mesti ketuk pintu? Ini perpustakaan woi, bukan rumah lo!" balas Angkasa geram. Gavin mendadak bungkam karena ucapannya.
"Ketua OSIS apaan lo, berduaan di tempat sepi begini? Gue laporin Pak Agung tahu rasa lo!"
"Gak usah macem-macem lo!" Gavin berjalan ke arah Angkasa dan menatap cowok itu tajam.
"Berisik! Udah, sana terusin. Mumpung cuma gue yang ke sini. Lagian bukannya OSIS lagi ngadain razia, ya? Lo malah pacaran di sini."
"Gue lagi kasih dia hukuman," ucap Gavin seraya membersihkan buku-buku.
Angkasa menoleh pada Raya yang sedari tadi tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Heh, yang dihukum itu elo apa dia?" tunjuk Angkasa pada Raya. "Lo juga, kenapa bisa dihukum? Lo kan murid kesayangan semua guru."
"Dia ngelanggar aturan." Gavin melirik Raya menggunakan ekor matanya. "Gue nemu banyak make up di dalem tasnya."
Ucapan Gavin sukses membuat Angkasa terbengong-bengong.
"Make up apaan anjir, muka pucet begitu juga. Lo gak percaya itu punya dia, kan?" Angkasa tertawa begitu melihat wajah Raya yang terlihat begitu natural, tanpa adanya make up sedikit pun. Angkasa bahkan ragu apakah Raya memakai lipbalm atau tidak.
"Ya enggak lah. Gue yakin itu ulah teman-temen kelasnya."
Angkasa memutar kedua matanya. "Kalo lo tahu itu bukan punya dia, kenapa malah dia yang dihukum? Lo tuh harusnya tadi suruh mereka semua ngaku. Bukannya malah begini." Tiba-tiba dia menatap Gavin curiga. "Gue jadi curiga. Jangan-jangan lo sengaja ya, biar bisa berduaan sama dia di sini?"
"Gak usah ngawur lo!"
"Halah, ngaku aja!"
Mendadak kepala Raya terasa pening. Kedua cowok itu selalu saja meributkan hal-hal yang tidak penting.
Angkasa dan Gavin itu pada dasarnya memiliki sifat yang hampir sama. Yang membedakan hanyalah tampilan luar. Jika Angkasa bersifat petakilan, cerewet, dan tidak mau diam, maka Gavin bersifat sebaliknya.
"Mama lihat lho, kamu bakalan akrab sama dia."
Kedua alis Raya bertaut. Akrab ... Sama dia? Angkasa? Atau Gavin?
Raya tidak bisa berpikir. Penglihatan mamanya menunjukkan Angkasa, namun Raya sendiri dia merasa kalau Gavin-lah orangnya. Meskipun dulu dia memang berharap kalau orang yang dimaksud mamanya adalah Gavin, namun entah kenapa kini terasa berbeda. Pada akhirnya dia memang semakin dekat dengan cowok itu, tapi—
Bagaimana dengan Angkasa?
Pada dasarnya manusia tidak bisa meramalkan takdirnya sendiri. Ada pula yang diberi kelebihan, namun tidak selalu benar dugaannya. Baik takdir yang bisa dia ubah sendiri atau pun bukan, tetaplah hanya Tuhan yang bisa menentukan.
?
"Sa, kamu mau kue gak?"
Angkasa yang baru saja sampai menolehkan kepala ketika mamanya bertanya.
"Kue?"
"Iya, Mama gak sengaja nemu postingan di grup. Kayaknya masih baru, kelihatannya juga enak." Ditunjukannya sebuah foto Blueberry Cheesecake kesukaan putranya.
Air liur Angkasa hampir saja menetes. Sejak dulu dia paling lemah kalau dihadapkan dengan bluberi. "Enak tuh. Beli dong, Ma. Ada tokonya gak? Nanti biar Angkasa yang ke sana."
"Orangnya jualan di rumah, online aja. Ini ada alamatnya. Kamu ke sana, ya? Agak jauh sih kayaknya. Mama kirim alamatnya ke kamu. Ganti baju dulu."
"Oke, Ma!" Angkasa langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Selesai mengganti bajunya dengan kaus pendek berwarna hitam dan jaket jeans, cowok itu langsung pergi menuju alamat yang sudah dikirimkan oleh mamanya.
Motor Angkasa berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Di saat yang bersamaan, ingatan ketika dirinya melihat Gavin memeluk Raya di perpustakaan kembali menghampiri.
"Mereka sedekat itu, ya?" gumam Angkasa. "Atau Gavin punya tujuan lain?"
Bahu Angkasa tersentak ketika beberapa kendaraan di belakangnya membunyikan klakson. Cowok itu langsung tersadar dan kembali melajukan motornya.
Hampir membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai di alamat yang ditunjukkan mamanya tadi.
"Apa gue salah alamat?" Kening Angkasa berkerut. Dia lalu mengecek ponselnya dan membaca kembali alamatnya.
"Bener kok. Tapi ini kan ... "
Seorang gadis tampak membuka pagar rumahnya dan terkejut melihat kedatangan Angkasa. Dia tampak bingung, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang keluar dari bibirnya.
"Eh—"
"Lo gak salah alamat kok," ucap Raya ketika Angkasa baru saja membuka mulut.
"Yailah, belom juga nanya." Angkasa mendengus sebal. Cowok itu lalu melepas helm yang dikenakannya dan turun dari motornya.
"Apa nyokap salah kasih alamat, ya? Masa tempatnya di sini?" Kedua mata Angkasa lalu menatap sesuatu di tangan Raya.
"Itu apa?"
"Kue. Punya pelanggan."
"P-pelanggan? Lo jualan kue?" Kedua alis Angkasa bertaut.
Please, semoga dugaan gue salah, Ya Tuhan.
"Mama yang jualan. Gue cuma nganterin pesenan."
"Oh, kebetulan kalo gitu. Nyokap gue tadi beli kue juga di nyokap lo. Gue disuruh ngambil pesenan."
Kini giliran Raya yang dibuat bingung. Apalagi sekarang? Angkasa adalah salah satu pelanggan mamanya?
"Gue bisa sendiri. Tapi— jujur gue gak tahu alamatnya. Mama lagi sibuk bikin kue di dalem."
"Oh, mana coba gue lihat. Mungkin aja gue tahu." Angkasa mengambil secarik kertas yang diberikan oleh Raya.
Kedua bahunya mendadak merosot. Dia membaca alamat yang tertulis di sana berulang-ulang.
"Lo ... Yakin ini alamatnya?" tanya Angkasa dan menatap Raya. Cewek itu mengangguk.
"Kenapa emang?" tanya Raya.
"Ini ... Alamat rumah gue."
Raya langsung menatap bungkusan yang dibawanya.
"Yang lo bawa itu, pesenan gue," ucap Angkasa.
Mereka bertatapan satu sama lain. Kebetulan memang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Namun, di dunia ini pada dasarnya tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya sudah diatur dengan sedemikian rupa.
Di ambang pintu rumah, seseorang tampak berdiri. Yuli bersandar di pintu dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Wanita itu tersenyum simpul.
"Seperti dugaanku."
—tbc