Bibir Yuli terangkat begitu melihat sebuah motor berhenti di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu.
"Akhirnya," gumamnya sebelum bergegas menghampiri dua remaja yang menaiki motor itu.
"Ini .... Rumah lo?" tanya Angkasa sembari mengedarkan pandangannya. Rumah Raya yang bercat putih memang tidak terlihat menyeramkan, apalagi banyak tumbuh bunga dan pohon rindang. Namun tetap saja, auranya berbeda bagi seorang Angkasa Danial.
"Lo takut?" ujar Raya begitu melepas helm milik Angkasa yang dipakainya. Entah kenapa rasa sakit di perutnya sedikit berkurang, hanya saja dia tetap merasakan panas.
Angkasa mengerjap. "APA? GUE? TAKUT? HAHAHA. SORI, SEORANG ANGKASA DANIAL BUKANLAH ORANG YANG PENAKUT!" Lelaki itu bertolak pinggang dengan memasang ekspresi muka yang sok.
Melihat itu, Raya hanya menggelengkan kepala.
"Padahal lo udah jelas banget takut. Isi otak lo itu mudah banget kebaca."
Angkasa langsung merebut helm miliknya dari tangan Raya.
"Udah, ah. Gue cabut. Mau nganter nyokap arisan di—"
"Eh, kamu udah pulang, Ra. Diantar sama Angkasa. Tumben banget." Tangan Yuli bergerak membuka pagar.
Angkasa yang semula hendak memakai helm pun mengurungkan niat dan segera menyalami Yuli.
"Hehe. Apa kabar, Tante. Saya pamit—"
"Lho, kok buru-buru? Mampir dulu, Sa. Bentar lagi hujan."
Angkasa mengernyit, "Hujan? Perasaan langit lagi cerah deh."
Lelaki itu melirik langit yang berwarna biru, merasa janggal dengan kalimat yang dilontarkan mamanya Raya.
"Masuk, Sa. Tante baru bikin puding," ujar Yuli.
"Eh ... I-iya, Tan." Tangan Angkasa yang hendak memutar kunci motor mendadak berhenti. Tubuh lelaki seakan membatu.
"Bentar deh. Kok, nyokapnya dia bisa tahu nama gue?"
Angkasa menelan ludahnya. Dia langsung menatap Yuli yang masih tersenyum padanya. Lalu tatapannya beralih pada Raya. Gadis itu kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia menatap mamanya sejenak dan pergi begitu saja menuju rumahnya.
Bulu kuduk Angkasa seketika meremang.
"Jangan-jangan psikopat? Kalo gue masuk, mereka bakal bunuh gue terus organ tubuh gue dijadiin opor habis itu mata gue—"
"Yuk, Sa," ajak Yuli. "Kapan lagi kamu bisa ke sini."
"Eh? Mm ... Anu, aku harus—"
Tes.
Angkasa mendongakkan kepala dan kedua matanya mengerjap saat mendapati langit yang sudah dihiasi awan kelabu. Bahkan tetesan air mulai berjatuhan. Baiklah, sekarang Angkasa tengah dilanda dilema. Jika dia masuk, dia akan dibunuh. Jika dia pulang, dia akan habis basah kuyup karena jarak menuju rumahnya tidaklah dekat.
"Udah gerimis. Taruh aja motor kamu di garasi, di sebelah motornya Raya."
Angkasa membuang napas.
"Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini."
Angkasa memutar kunci dan langsung menghidupkan motornya. Dia memasukkan motor kesayangannya itu ke garasi, sesuai perintah Yuli.
"Lah, padahal dia ada motor. Kenapa naik angkot? Sialan. Gue merasa tertipu. Gue pasti kayak tukang ojek." Angkasa meletakkan helmnya dan segera menyusul langkah Yuli masuk ke dalam.
"Duduk dulu, Sa. Tante ambil minum dulu."
"Eh, enggak usah. Aku—"
"Udah, gak usah sungkan gitu. Anggap aja rumah sendiri." Yuli tersenyum dan berlalu ke dapur.
"Rumah sendiri? Hiiiii ogah. Di rumah gue aman damai tentram sejahtera. Enggak mistis kayak di sini!"
Tepat ketika Angkasa duduk di sofa, hujan deras turun. Lelaki itu sampai membelalakkan kedua matanya. Dia pasti benar-benar habis jika tadi pulang. Tapi .... Dari mana mamanya Raya tahu kalau bakalan turun hujan? Bahkan langit masih cerah saat Angkasa datang.
Angkasa menggelengkan kepala. "Positif thinking, Sa. Mungkin nyokapnya dia tuh direktur BMKG. Iya, pasti." Angkasa mencoba menyamankan posisi duduknya.
"Tapi dia kok bisa tahu nama gue, ya? Gue bahkan baru pertama kali ke sini. Ya Allah, cobaan macam apalagi ini." Angkasa mengedarkan pandangannya ke seisi sudut ruangan rumah Raya.
Memang tidak sebesar rumahnya, namun rumah milik Raya terlihat begitu nyaman meskipun sederhana.
Kedua mata Angkasa memicing saat melihat beberapa foto yang terpajang di sebelah televisi. Angkasa bangkit dan berjalan semakin dekat agar bisa melihat foto itu dengan jelas. Salah satunya adalah foto sepasang anak kecil yang tengah bergandengan tangan.
Angkasa menatap lekat-lekat anak kecil itu. Sepertinya wajah itu tidak asing ....
"Ini si cewek mistis?" ujarnya memerhatikan si anak perempuan yang tersenyum lebar.
"Gue yakin ini pasti terakhir kali dia senyum." Angkasa lalu memerhatikan anak laki-laki di sebelah Raya kecil. Matanya mengerjap selama beberapa kali, sebelum akhirnya membelalak.
"Mereka kembar?" ujarnya tak percaya dan kembali memerhatikan kedua wajah anak itu.
"Astaga. Apalagi ini? Tuh cewek punya kembaran? Fix, rumah ini dihuni manusia mistis semua." Angkasa menelan ludahnya. Hingga dia merasa ada yang aneh dengan si anak laki-laki.
"Bentar. Kayaknya ada yang aneh. Kayaknya mukanya gak asing. Kayak mirip seseorang." Dia tampak berpikir, berusaha mengigat seseorang yang mungkin memiliki wajah yang mirip dengan anak itu.
Dan di detik berikutnya tubuh Angkasa membatu. Napasnya seakan tercekat. Wajahnya ....
Angkasa menutup mulut. Wajahnya .... Mirip gue?!
"Kenapa? Kaget?" Raya tiba-tiba muncul di belakangnya hingga tubuh Angkasa terperanjat.
"I-ini ... Elo? T-terus anak ini k-kembaran lo?"
"Iya."
Kaki Angkasa seketika lemas. Satu Raya saja sudah membuat hidupnya kelam. Apalagi jika ada dua? Meskipun mereka berbeda jenis kelamin, tapi tetap saja. Habislah dia.
"M-mukanya ... Heh! Gue salah lihat apa gimana? Mukanya kok mirip—"
"Dia mirip kamu, Sa. Kamu kaget, ya?" Yuli terkekeh pelan sembari meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja. Angkasa langsung mendekat dan duduk kembali di sofa.
"Jadi aku gak salah lihat?"
Yuli tertawa. "Enggak kok. Wajahnya emang mirip kamu. Namanya Rama. Iya, dia kembarannya Raya. Dia—"
"Dia udah meninggal," potong Raya cepat. "Jadi lo gak perlu takut hidup lo berubah mistis. Lagipula Rama itu manusia normal, sama kayak yang lain."
Mendengar ucapan Raya, Angkasa langsung terdiam. Lelaki itu terlihat terkejut.
"Meninggal?"
"Iya, Rama udah meninggal. Dia kecelakaan beberapa tahun lalu," ujar Yuli.
Raya pergi meninggalkan Angkasa dan mamanya begitu saja. Dia paling lemah jika sudah membahas soal Rama. Angkasa yang melihat itu pun mendadak merasa prihatin.
"Gue rasa dia bener-bener butuh teman. Pantesan dia tiap hari murung. Gak ada satu pun orang yang mau berteman sama dia di sekolah. Mungkin jika saudara kembarnya masih ada, dia gak bakalan kayak sekarang."
"Jadi, maaf ya kalo Raya suka bertingkah aneh di depan kamu. Mungkin setiap Raya lihat kamu, dia seperti lihat Rama karena wajah kalian yang mirip. Dulu Raya gak seperti sekarang. Dia dulu anak yang ceria, bahkan dia cerewet." Yuli tersenyum getir.
"Dia susah sekali berteman dengan orang lain, entah memang orang lain yang tidak mau berteman dengannya. Banyak yang sering mengerjainya, Tante pernah melapor sama kepala sekolah tapi tidak pernah digubris."
Ucapan Yuli membuat Angkasa teringat dengan tingkah laku orang-orang di sekolahnya yang selalu mengerjai Raya, seperti tadi.
Angkasa kembali melirik foto tadi. Sekarang dia paham. Selama ini Raya pasti kesepian sekali. Angkasa pernah memergoki gadis itu menangis saat di taman belakang sekolah. Raya juga pernah menatapnya dengan pandangan yang berbeda, mungkin itulah saat dia melihat sosok Rama pada diri Angkasa. Seketika Angkasa merasa menjadi orang yang begitu jahat. Jika saja dia bersikap lebih baik pada Raya. Dia kini sedikit menyesal.
Bagaimana pun bentuknya, apa pun alasannya, perpisahan memang tidak pernah menyenangkan. Jarak yang jauh, memang bukanlah halangan. Berbeda kota, berbeda negara, memang masih bisa dihadapi dan diterima. Namun bagaimana bila sudah berbeda dunia? Bahkan sosok malaikat pun tidak akan pernah bisa membantu.
Hanya hati yang lapang dan doa-lah yang menjadi jalan keluarnya.
—tbc