13. Bersama Angkasa

1161 Kata
Meskipun Raya memiliki kemampuan 'spesial', tapi dia hanyalah gadis biasa. Dia adalah tipe orang yang tidak menyukai makanan pedas sejak dulu. Dan hari ini gadis malang itu harus menahan gejolak panas di dalam perut karena ulah anak-anak PMR yang tidak tanggung jawab. Berkali-kali punggung tangannya mengusap keringat yang bercucuran membasahi dahi. Berkali-kali pula dia harus meremas roknya hingga kusut. Sesekali mata Raya melirik jam dinding. Jam terakhir tinggal beberapa menit lagi namun terasa seperti berjam-jam lamanya. Beruntung Dewi Fortuna berpihak pada Raya. Bel pun berbunyi tidak lama setelahnya. Sang guru segera menutup materi dan semua murid segera membereskan peralatan tulis. Dengan susah payah Raya membereskan buku sembari sesekali memegangi perutnya. Dia benar-benar payah dalam urusan makanan pedas. "Heh! Lo kok diem aja? Emangnya lo gak denger obrolan mereka? Harusnya lo samperin mereka, terus lo lempar mangkuk—" Raya membuang napas begitu keluar kelas. Gadis itu memasang ekspresi sedatar mungkin. Orang-orang akan curiga jika sampai melihatnya meringis kesakitan. Mungkin hal itu akan dimanfaatkan oleh mereka untuk semakin mengerjainya. "Raya!" Tiba-tiba seseorang berlari ke arahnya tepat ketika kakinya menginjak anak tangga yang paling dasar. Raya kembali membuang napas dan mempercepat langkah. "Tungguin dong— eh?" Kayla terkejut begitu dia melihat wajah Raya yang penuh keringat. "Lo gak apa-apa?" Kayla mencoba menyentuh wajah Raya namun tangannya dengan cepat ditepis oleh gadis itu. "Gue gak apa-apa. Lo bisa pergi." "Nggak! Lo gak baik-baik aja, Ra. Muka lo pucat banget, sumpah. Keringetan juga. Lo sakit?" Raya menggelengkan kepala. Dia ingin sekali cepat-cepat pergi dari sana. "Lo pulang sama gue, ya?" tawar Kayla. Dia menatap Raya dengan raut khawatir. "Enggak usah. Gue bisa pulang sendiri." "Lo lagi sakit, Ra. Lo bisa pulang sama gue. Nanti gue sama bokap gue—" "Enggak! Lo ngerti gak sih?! Kalo gue bilang gak mau, ya nggak mau! Lo gak berhak maksa! Paham?!" Kayla terkejut begitu Raya membentaknya. Apalagi koridor masih cukup ramai, sehingga orang-orang kini memerhatikan mereka. Raya menatap mereka sekilas sebelum akhirnya berlari menjauh. "Raya! Raya!" Raya tidak memedulikan teriakan Kayla. Saat ini dia hanya perlu menjauh dari orang-orang. Tiiinnnn Raya terjatuh begitu dirinya hampir tertabrak motor yang baru saja keluar dari parkiran. "YA ALLAH GUSTI! LO NGAPAIN SIH LARI-LARI? SENGAJA MAU GUE TABRAK YA BIAR KAYAK DI ADEGAN n****+?" Tadi Kayla, dan sekarang Angkasa. Lengkap sekali beban Raya di sekolah. Dia selalu dikelilingi orang-orang cerewet nan menyebalkan. Raya mengabaikan ucapan Angkasa dan segera pergi menjauhi lelaki itu. Namun ternyata Angkasa diam-diam mengikutinya dari belakang menggunakan motor. "Heh! Lo gak apa-apa?" tanya Angkasa. Dia menyadari gelagat aneh Raya. "Perut lo sakit gara-gara tadi? Woi! Jawab dong! Makan pedes emang bisa bikin b***k, ya?" "Lo bisa diem gak sih? Lebih baik lo pergi." Angkasa mengerjap. Tiba-tiba dia tertawa. "Gue gak salah denger? Lo baru aja ngusir gue? Wow. Seorang Angkasa Danial yang gantengnya melebihi Manurios diusir sama mahluk penghuni pohon beringin. Ckckck." Ucapan Angkasa membuat isi perut Raya semakin bergolak tidak keruan. Keringat yang mengucur di dahinya semakin banyak. Wajah gadis itu juga semakin pucat. "Pergi!" Mendengar Raya yang tiba-tiba berteriak membuat Angkasa terperanjat. "Widihh ... Bisa teriak juga ternyata. Oke, oke. Gue pergi nih. Jangan nyesel ya. Bye!" Angkasa sedikit menaikkan kecepatan motornya hingga melewati Raya. Gadis itu langsung terduduk lemas begitu motor milik Angkasa melaju. Orang-orang yang melewati Raya sontak memperhatikan gadis itu, tanpa ada niatan membantu. Tidak jauh di depan, rupanya motor Angkasa tidak benar-benar pergi. Lelaki itu rupanya masih memerhatikan Raya lewat kaca spion. Lelaki itu berdecak dan memutar bola matanya melihat Raya yang tengah meringis kesakitan. Raya meremas perutnya. Sungguh, dia rasanya ingin sekali menghancurkan siswi-siswi yang mengerjainya hingga seperti saat ini. "Heh." Raya mendongakkan kepala dan melihat Angkasa yang entah sejak kapan berada di depannya. Lelaki itu tiba-tiba mengulurkan salah satu tangannya. "Gue anter lo pulang," ujarnya tanpa berani menatap Raya. Kedua alis Raya bertaut. Apa dia tidak salah dengar? "Kok diem? Gue serius nih. Gue gak bakalan nagih duit bensin kok. Lagian gue udah ngisi bensin tadi. Full." "Gak perlu. Mendingan lo—" Angkasa menarik salah satu tangan Raya agar melingkari lehernya. Lelaki itu membantu Raya berdiri dan berjalan menuju motornya. "Gue kan udah pernah bilang sama lo. Kalo sakit, bilang. Setidaknya pasang ekspresi. Jadi orang bisa tahu dan bisa nolongin lo," ujar Angkasa begitu Raya hendak melayangkan protes. Raya memerhatikan wajah Angkasa dari samping. Ini pertama kalinya mereka berada di jarak sedekat ini. Apalagi sampai melakukan kontak fisik, dengan tangan Angkasa yang masih memegangi tangannya agar tetap berada di leher tinggi lelaki itu. "Iya, gue tahu kok kalo gue ganteng. Biasa aja dong liatinnya. Ntar lo naksir. Bisa ribet ntar mahluk semacam lo naksir gue," celetuk Angkasa tanpa mengalihkan pandangannya. Hal itu membuat Raya langsung membuang pandangannya ke arah lain. Menyadari itu, Angkasa melirik Raya dengan ujung matanya. Lelaki itu tersenyum tipis. "Tinggal bilang aja rumah lo di mana. Asal jangan bilang kalo rumah lo itu di kuburan." Angkasa menaiki motornya. Dia menoleh ke belakang dan melihat Raya yang masih diam. "Kok diem? Perlu gue gendong?" Kepala Raya menggeleng pelan. Gadis itu segera naik ke motor milik Angkasa. "Pegangan," ujar Angkasa setelah memakai helmnya. Beberapa detik kemudian dia merasa ada sesuatu yang menarik pelan bagian belakang tasnya. Lagi-lagi lelaki itu berdecak. "Gue bilang pegangan." Ditariknya kedua tangan Raya agar melingkari pinggangnya. "Lo itu payah banget dalam urusan minta tolong. Lagi sakit aja tuh muka masih datar kayak talenan nyokap gue di dapur. Jadi, kalo lo jatuh pun kayaknya gue gak bakalan nyadar karena lo pasti cuma diem. Bahkan bayi aja bisa nangis kalo mereka sakit meskipun itu cuma karena gigitan semut. Sedangkan lo? Lo jatuh dari tangga aja ekspresi muka lo itu-itu aja kayak gak ada stok ekspresi lain." Raya terdiam mendengar celotehan Angkasa hingga dia tidak sadar kalau motor yang mereka tumpangi sudah melaju menjauhi area sekolah. Sejujurnya telinga Raya sampai berdengung mendengarnya, namun entah kenapa dia hanya diam saja. Raya baru saja hendak melepaskan tangannya namun Angkasa langsung menariknya kembali agar tetap berada di pinggangnya. "Gak usah dilepas. Ntar lo ketiup angin. Gue gak mau ntar pas nyampe di rumah lo, lo tinggal tengkorak doang." Bibir Raya sedikit mengerucut. Bagaimana pun, seorang Angkasa tetaplah Angkasa. Orang paling cerewet dan menyebalkan yang pernah dia temui. Tiba-tiba Angkasa menghentikan motornya di pinggir jalan. Lelaki itu melepas helm full face yang dia kenakan. "Nih." Angkasa secara tiba-tiba menyodorkan helm itu ke belakang, tepatnya pada Raya. Raya secara spontan menerimanya dengan kening yang berkerut. "Kenapa dilepas?" "Gue mau ngebut. Lo aja yang pake." "Hah?" "Udah, pake aja. Apa perlu gue pakein?" Kedua mata Raya mengerjap dan langsung memakai helm milik Angkasa yang agak kebesaran di kepalanya. "Kenapa lo kasih ke gue? Ini kan helm lo." Raya berujar pelan. Angkasa tersenyum tipis. "Gerah." Lagi-lagi kening Raya mengerut. "Pegangan." Kali ini Raya melingkarkan kedua tangannya di pinggang Angkasa tanpa harus dipaksa lelaki itu. Motor Angkasa mulai melaju. Dia semakin menaikkan kecepatan motornya dan mulai menyalip kendaraan lain. Sesekali Angkasa melirik ke arah spion, tepat ke arah Raya yang tengah memejamkan kedua matanya. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN